Oleh: Omar Ahmed
Hidayatullah.com | Pengadilan administrasi tertinggi Turki, Dewan Negara akhirnya mengumumkan pengembalian status Hagia Sophia dari museum menjadi masjid. Sebuah langkah yang memutar balik dekrit berumur 86 tahun Dewan Menteri di bawah kepresidenan pendiri sekular Mustafa Kemal Ataturk.
Dulunya merupakan katedral terbesar dan terpenting di dunia, Situs Warisan Dunia UNESCO itu pada awalnya adalah gereja Kristen Ortodoks selama hampir seribu tahun atas perintah kaisar Bizantium, Justinian, di Istanbul hari ini, bekas Konstantinopel, dinamakan sesuai dengan kaisar Constantine. Penaklukan Konstantinopel oleh umat Islam telah dinubuatkan oleh Nabi Muhammad ﷺ dan tentara Muslim berturut-turut telah berusaha untuk memenuhi ramalan ini, dimulai dengan Kekhalifahan Umayyah pada awal abad ke-7.
Sebagai bagian dari sejarah yang bergejolak, Hagia Sophia bahkan diubah menjadi Katedral Roma selama hampir 60 tahun selama pendudukan Tentara Salib pada tahun 1204 selama Perang Salib ke-4.
Namun, penaklukan kota itu diatur oleh Sultan Mehmet II pada tahun 1453, Hagia Sophia diubah menjadi masjid kekhalifahan di ibukota baru, di mana masjid itu beroperasi selama 500 tahun sebelum runtuhnya kekhalifahan pada tahun 1924 pasca Perang Dunia Pertama.
Sejalan dengan dorongan Ataturk untuk sekularisasi di republik Turki yang baru lahir dan sebagai isyarat niat baik kepada dunia Kristen Ortodoks, gereja diubah menjadi museum. Namun, meskipun Turki secara teknis adalah negara sekuler, Turki juga merupakan negara mayoritas Muslim, yang juga sangat nasionalistis.
Oleh karena itu tidak mengherankan bahwa telah ada kampanye selama beberapa dekade untuk mengembalikan bangunan kuno itu menjadi masjid. Ada juga putusan yurisprudensi Islam untuk mempertimbangkan izin mengubah statusnya.
Petisi sebelumnya yang meminta agar Hagia Sophia, dikenal secara lokal sebagai Ayasofya, sekali lagi difungsikan sebagai tempat sholat, ditolak pada tahun 2016. Namun pengadilan akhirnya memutuskan mendukung langkah yang didukung oleh Presiden Recep Tayyip Erdogan, yang tahun lalu menyebut pengubahan masjid menjadi museum sebagai “kesalahan yang sangat besar”.
Seorang pejabat Turki telah mengungkapkan kepada Reuters bahwa keputusan Dewan Menteri awalnya diperkirakan akan dibatalkan, sementara seorang pejabat partai AKP juga menegaskan hal ini. Menurut kolumnis Hürriyet, Abdulkadir Selvi, pengadilan telah membuat putusan pembatalan dan akan dipublikasikan pada hari Jumat.
Asosiasi yang berkomitmen untuk mengembalikan fungsi masjid, didukung oleh tim pengacara, mengajukan argument berpengalaman bahwa keputusan untuk mengubah masjid menjadi museum adalah melanggar hukum karena negara tidak memiliki wewenang untuk mengubah status Hagia Sophia, seolah-olah dikelola oleh badan Islam yang dikenal sebagai badan Wakaf, mirip seperti Masjid Al-Aqsha di Baitul Maqdis, Masjid Babri yang sekarang dihancurkan di Ayodhya (India) dan Masjid Cordoba di Spanyol, yang saat ini menjadi museum.
Berdasarkan yurisprudensi Islam, sebagian besar sepakat bahwa masjid adalah milik Allah dan tidak dapat dijual atau ditutup. Meskipun menjadi bekas gereja memiliki konsekuensi tersendiri.
Menurut Studi dalam Tradisi Awal Islam, cendekiawan klasik Zarkashi memutuskan untuk mendirikan sebuah masjid di tempat yang dulunya adalah tempat sembahyang non-Muslim. Perlu juga dicatat bahwa Masjid Umayyah di Damaskus dibeli dari orang-orang Kristen pada saat itu, namun Hagia Sophia yang berubah menjadi masjid sebagai hasil penaklukan dapat menyebabkan perbedaan pendapat. Seorang Mufti yang berbasis di Yunani menyatakan itu masih sebuah gereja dan akan menjadi provokatif untuk mengubah statusnya.
Namun, diyakini bahwa dengan preseden hukum yang baru terjadi, kali ini keputusan akan berbeda. Tahun lalu pengadilan yang sama mencabut status Museum Kariye, bekas gereja Bizantium, mengembalikan fungsinya menjadi masjid. Bahkan selama dekade terakhir empat situs telah dibuka kembali.
Pembacaan al-Quran pada tanggal 29 Mei di Hagia Sophia untuk menandai peringatan kemenangan Mehmet atas Istanbul juga merupakan pertanda hal-hal yang akan terjadi.
Langkah yang akan terjadi tentu saja tidak terlepas dari kritik, tidak hanya kritik yang datang dari para sekularis Turki namun juga dari Yunani, yang melihat dirinya sebagai pewaris budaya Gereja Bizantium, selain Rusia yang juga Ortodoks, yang menganggap langkah Turki sebagai ancaman bagi agama Kristen dan memecah belah. Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo juga mendesak agar Hagia Sophia tetap dapat diakses semua orang.
Namun, Erdogan di tengah meningkatnya ketegangan yang telah ada dengan Yunani, menanggapi dengan mengatakan: “Apakah kalian yang mengelola Turki atau kami?” menekankan hak kedaulatan Turki untuk memutuskan urusan internalnya sendiri. Namun, dia meyakinkan kekhawatiran akan agama minoritas dengan menyatakan bahwa ada sekitar 400 gereja dan sinagog aktif di negara ini. Kekhawatiran aksesibilitas tidak menjadi masalah bagi Masjid Sultan Ahmet atau “Masjid Biru”, yang menarik wisatawan dan juga umat Muslim. Tidak ada alasan mengapa ini tidak bisa ditiru dengan Hagia Sophia.
Seorang juru bicara Kementerian Luar Negeri Turki juga mengeluarkan pernyataan menyusul pernyataan Pompeo, “Hagia Sophia, yang terletak di tanah kami adalah milik Turki, seperti semua aset budaya kami,” katanya. Setiap masalah tentang Hagia Sophia adalah “urusan internal kami sebagai bagian dari hak kedaulatan Turki”.
Simbolisme kuat dari Erdogan yang mampu melakukan shalat di Hagia Sophia, berabad-abad setelah penakluk besar Ottoman Mehmet di hadapannya, disesuaikan dengan ulang tahun keempat kudeta 15 Juli yang gagal juga merupakan salah satu yang tidak boleh dilewatkan. Faktanya adalah, langkah seperti itu menyentuh basis pendukung Erdogan yang relijius, konservatif dan ultra-nasionalis.
Pada akhirnya, keputusan tentang status Hagia Sophia adalah di tangan Turki sebagai negara yang berdaulat, pengembalian kembali fungsinya menjadi masjid akan mengecewakan banyak kaum liberal dan Kristen Ortodoks namun juga akan disambut gembira tidak hanya oleh para pendukung Erdogan dan banyak populasi Muslim Turki, tetapi oleh mereka yang jauh melampaui perbatasan Turki di dunia Islam yang lebih luas.*
Artikel dimuat di Middle East Monitor (MEMO)