Oleh: Muladi Mughni
LEBIH tiga pekan sudah –mulai tanggal 14 Agustus 2014- demonstrasi dengan aksi jalan panjang (long march) melewati kota dan provinsi menuju titik Islamabad berlangsung di Pakistan.
Aksi protes yang dikoordinir oleh Pakistan Tehreek-i-Insaf (PTI) pimpinan Imran Khan dan Pakistan Awami Tehreek (PAT) pimpinan Dr. Tahirul Qadri saat ini telah berhasil menduduki “red zone” dimana gedung Parlemen, Istana Presiden, Mahkamah Agung dan kedutaan asing berada. Protes yang diikuti oleh sekitar 50 ribu pendukung PTI dan PAT yang mengusung aksinya dengan “Azadi March dan Revolution March,” diprediksi akan terus berlangsung sampai dengan tuntutan mereka tercapai yaitu turunnya Nawaz Sharif dari kursi Perdana Menteri.
Selama ini aksi protes yang di antaranya mengangkat isu kecurangan dalam pemilu tahun 2013 berlangsung damai. Namun tepat pada hari ke-18 (31/8/14), ketika massa mulai mencoba meringsek untuk memasuki area sekretariat PM yang dijaga ketat oleh aparat, barulah terjadi bentrokan yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dan ratusan terluka. Awalnya pemerintah lebih memilih bersikap defensif dengan menambah jumlah aparat keamanan, sehingga total jumlah personil keamanan yang diterjunkan hampir sama dengan peserta demonstran.
Long March sebagai alat penggulingan kekuasaan
Kalau kita mencermati peristiwa politik long march di Pakistan, bukanlah yang kali pertama terjadi. Dalam rekam jejak peristiwa politik di Pakistan, setidaknya long march telah dilakukan berkali-kali sebagai alat penggulingan kekuasaan sejak tahun 1992 dengan hasil dan konsekuensi politik yang berbeda-beda. Dapat diasumsikan bahwa kesuksesan maupun kegagalan proses perubahan yang diusung oleh kalangan oposisi melalui long march, ditentukan oleh faktor “kesepahaman” antara politisi oposan dengan kalangan militer.
Sebut saja pada tahun 1992, ketika long march dari kota Lahore dan Larkana (Karachi) menuju Islamabad yang dikoordinir oleh mendiang PM Benazir Bhutto dan Ibunya Begum Nusrat Bhutto untuk misi menjatuhkan pemerintahanan yang pertama Nawaz Sharif. Sejarah mencatat aksi long march tersebut berujung dengan kegagalan, massa dihalau oleh aparat keamanan dan Benazir Bhuto mengalami luka parah sehingga harus dilarikan ke rumah sakit. Sementara massa yang dipimpin oleh Ibunya dari Karachi pun dipukul mundur oleh aparat dan Beghum Bhutto harus menjalani tahanan rumah akibat aksinya tersebut. Belakangan diketahui bahwa aksi long march tersebut tidak mendapatkan ‘restu’ dari kalangan militer. Sebaliknya justru secara cerdik PM Nawaz Sharif telah melakukan kesepahaman mutualisme dengan Chief of Army Staff (COAS) Jenderal Asif Nawaz saat itu.
Lalu pada tahun berikutnya (1993) Benazir Bhutto kembali melakukan aksi long march, namun konstalasi politik dan dukungan militer terhadap long march kali ini berubah. Militer sepenuhnya merestui dan bahkan telah meratakan jalan bagi mulusnya proses penggulingan pemerintahan Nawaz Sharif. Terseruak kabar disharmonisasi antara PM Nawaz Sharif dengan COAS, Jenderal Abdul Waheed Kakar kala itu, sehingga langkah politik Benazir Bhutto untuk menggulingkan PM Nawaz Sharif menemukan momentumnya. Lalu militer mengambil alih kekuasaan dan berjanji akan segera melangsungkan pemilu dalam waktu 90 hari. Walhasil Benazir Bhutto sukses melenggang menjadi Perdana Menteri.
Selanjutnya pada tahun 1996 untuk kedua kalinya Nawaz Sharif menjadi PM setelah Benazir Bhutto diberhentikan oleh Presiden Farooq Ahmad Sardar Leghari yang ditunjuknya. Namun belum genap dua tahun memerintah, kembali Benazir Bhutto melakukan aksi menentang pemerintahan Nawaz Sharif dengan membetuk aliansi demokrasi 1998 yang menghimpun 11 partai politik oposisi.
Militer yang saat itu dipimpin oleh Jenderal Pervez Musharraf merestui upaya pendongkelan kekuasaan tersebut. Namun nampaknya Nawaz Sharif mengetahui upaya persekongkolan antara beberapa pimpinan parpol dengan militer tersebut. Lalu dengan cepat Musharaf dipecatnya, namun naasnya justru berujung pada kudeta militer tanpa berdarah. Setelah berhasil mengambil alih kekuasaan, Musharaf yang awalnya berjanji akan mendukung Benazir Bhutto dan melaksanakan pemilu dalam waktu 90 hari ingkar janji. Musharaf justru lebih memilih rangkap jabatan sebagai Presiden dan COAS sampai selama 10 tahun. Pada saat itulah Pakistan berada dalam sistem pemerintahan militer dan seolah konstitusi berubah dari parlementer menjadi presidensil.
Terlepas dari kemajuan yang dicapai selama kepemimpinan Musharaf, nampaknya penentangan terhadap pelanggaran konstitusi dan sistem pemerintahan yang dilakukan oleh rezim Musharaf mencapai klimaksnya. Sehingga pada tahun 2008 Musharaf pun dituntut mundur dan kemudian pemerintahan kembali di tangan sipil yang dipimpin oleh partai mendiang Benazir Bhutto (PPP). Dan yang terakhir pada tahun 2009, Nawaz Sharif yang baru keluar dari pengasingannya (exiled) di Arab Saudi, berhasil memanfaatkan momentum protes long march para ahli hukum/hakim dalam menuntut restorasi judiciary dan pengangkatan kembali Iftikhar M. Choudry sebagai Hakim Agung. Lagi-lagi yang terlihat mencolok saat itu adalah restu COAS, Jenderal Ashfaq Pervez Kiani terhadap aksi long march tersebut. Sehingga pada tahun 2013 ketika dilaksanakan pemilu, partai Nawaz Sharif (Pakistan Muslim League-Nawaz) berhasil memenangkan pemilu legislatif dan Nawaz terpilih untuk ketiga kalinya menjadi PM.*/bersambung Disharmoni Nawaz Sharif dan militer