Sambungan artikel PERTAMA
SEMENTARA Prancis mendapatkan wilayah Suriah, Libanon, dan selatan Turki modern. Status Palestina diputuskan nanti, dengan ambisi kelompok Zionis untuk mengambil-alih daerah tersebut. Daerah-daerah tersebut memberikan ruang bagi beberapa area untuk dikontrol sendiri oleh bangsa Arab, meski ada control dari Eropa atas kerajaan Arab. Di daerah lainnya, Inggris dan Prancis menjanjikan control total.
Meskipun awalnya perjanjian tersebut dirahasiakan, namun pada akhirnya perjanjian itu diketahui oleh banyak orang pada 1917 saat pemerintahan Bolshevik di Rusia mengungkapkannya. Perjanjian Sykes-Picot bertolak belakang dengan apa yang dijanjikan Inggris kepada Sherif Hussein dan menyebabkan ketegangan antara Inggris dan Arab. Tetapi ini bukan perjanjian bermasalah terakhir yang dibuat Inggris.

Deklarasi Balfour
Kelompok lainnya yang ingin berada dalam peta politik daerah Timur Tengah adalah Zionis. Zionisme merupakan sebuah gerakan politik yang menginginkan berdirinya sebuah negara Yahudi di Tanah Suci Palestina. Dimulai pada 1800-an sebagai gerakan untuk mencari rumah jauh dari Eropa bagi para penganut Yahudi (yang sebagian besar tinggal di Jerman, Polandia, dan Rusia).
Pada akhirnya Zionis memutuskan untuk menekan pemerintahan Inggris selama Perang Dunia II, menyebabkan mereka dapat tinggal di Palestina setelah perang usai. Di dalam pemerintahan Inggris sendiri, banyak yang merasa simpatik kepada gerakan ini. Salah satunya adalah Arthur Balfour, Sekretaris Luar Negeri untuk Inggris. Pada 2 November 1917, dia mengirim surat kepada Baron Rothschild, pemimpin komunitas Zionis. Surat tersebut mendeklarasikan dukungan resmi Pemerintahan Inggris terhadap tujuan gerakan Zionis untuk mendirikan negara Yahudi di Palestina:
“Pemerintahan Yang Mulia Raja mendukung berdirinya sebuah rumah nasional bagi kaum Yahudi di Palestina, dan akan mengerahkan usaha terbaiknya untuk memfasilitasi pencapaian tersebut, dan dengan jelas mengerti bahwa tidak ada yang akan dilakukan untuk mendiskriminasi hak-hak asasi dan beragama komunitas non-Yahudi yang telah ada di Palestina, atau hak-hak dan status politik yang disandang oleh para Yahudi di negara manapun.”
Tiga Perjanjian Bertolak Belakang
Pada 1917, Inggris telah membuat tiga perjanjian berbeda dengan tiga kelompok yang berbeda pula, serta menjanjikan tiga sckenario politik masa depan yang berbeda atas Dunia Arab. Gerakan Arab bersikeras untuk mendapatkan Kerajaan Arab yang dijanjikan lewat Sharif Hussein. Prancis (dan Inggris sendiri) mengharapkan untuk dapat membagi tanah tersebut untuk mereka sendiri. Dan Zionis berharap mendapatkan Palestina seperti yang dijanjikan oleh Balfour.
Perang berakhir pada 1918 dengan kemenangan untuk Sekutu dan luluh lantaknya Kekaisaran Ottoman. Meskipun nama Ottoman masih ada hingga 1922 (dan khalifah masih ada sampai 1924), semua bekas daerah kekuasaan Ottoman kini dipegang Eropa. Perang telah usai, namun masa depan Timur Tengah masih diperebutkan oleh tiga pihak yang berbeda.

Pihak manakah yang menang? Tidak ada yang mendapatkan apa yang benar-benar mereka inginkan. Pasca Perang Dunia I, Liga Bangsa-Bangsa (pendahulu PBB) didirikan. Salah satu tugasnya adalah membagi daerah bekas pendudukan Ottoman. Mereka membuat mandat untuk dunia Arab. Masing-masing mandat harusnya dijalankan oleh Inggris atau Prancis “sampai mereka bisa mandiri.” Liga tersebut-lah yang menggambar perbatasan-perbatasan yang kini kita lihat di peta Modern Timur Tengah. Perbatasan tersebut ditarik tanpa mempertimbangkan keinginan orang-orang yang tinggal di sana, ataupun pertimbangan etnis, geografis, atau perbedaan agama. Perbatasan tersebut benar-benar sewenang-wenang. Perlu diperhatikan bahwa bahkan hari ini, perbatasan politik di Timur Tengah tidak mengindikasikan perbedaan kelompok. Perbedaan antara orang Iraq, Suriah, Yordania, dsb. Sepenuhnya diciptakan oleh penjajah Eropa sebagai usaha untuk membagi Arab antara satu dan yang lainnya.
Melalui sistem mandat tersebut, Inggris dan Prancis dapat mengontrol apa yang mereka mau di Timur Tengah. Untuk Sharif Hussein, anak-anaknya diperbolehkan untuk memerintah daerah-daerah tersebut di bawah “perlindungan” Inggris. Pangeran Faisal menjadi Raja Iraq dan Suriah dan Pangeran Abdullah daingkat sebagai Raja Yordania. Tetapi secara prakteknya, Inggris dan Prancis memiliki otoritas di daerah-daerah tersebut.
Sementara itu, para Zionis diperbolehkan oleh pemerintah Inggris untuk mendiami Palestina, dengan sejumlah batas-batas. Inggris tidak ingin membuat marah orang-orang Arab yang telah tinggal di Palestina, jadi mereka mencoba untuk membatasi jumlah Yahudi yang pindah ke Palestina. Namun tindakan Inggris tersebut justru membuat marah para Ziois, yang mencoba menempuh cara ilegal untuk berimigrasi sepanjang 1920-an hingga 1940-an. Orang Arab-pun marah karena memandang imigrasi tersebut sebagai pelecehan terhadap tanah yang telah mereka miliki sejak diberikan oleh Salah al-Din pada 1187.
Akibat dari kekacauan politik yang diciptakan oleh Inggris setelah Perang Dunia I masih ada sampai sekarang. Perjanjian yang saling bertolak belakang dan negara-negara yang terbentuk untuk memecah-belah antar sesama Muslim mengiring kepada ketimpangan politik di Timur Tengah.
Bangkitnya Zionis diiringi dengan terbaginya Muslim di wilayah tersebut berakibat pada pemerintahan yang korup serta penurunan ekonomi di Timur Tengah secara keseluruhan. Batas-batas yang diciptakan oleh Inggris masih ada sampai sekarang, meski terjadinya telah 100 tahun yang lalu.*/Tika Af’ida, sumber ostislamichistory.com