DALAM gerakan islamisasi ilmu, orang tak bisa melupakan nama Prof Dr Wan Mohd Nor Wan Daud. Dialah salah satu pelopornya, setelah tokoh utamanya, Prof Dr Syed Muhammad Naquib al-Attas.
Ada yang menarik dari cendikiawan asal negeri jiran ini. Ia pernah penjadi murid dua cendikiawan besar yang alirannya berlawanan. Mereka adalah Prof Dr Fazlur Rahman dan Prof Dr Syed Muhammad Naquib al-Attas. Dua pemikiran ini saling “bertarung” meperebutkan pengaruh.
Lalu, bagaimana dengan Wan Daud? Apakah ia “mati” seperti pepatah gajah bertarung dengan gajak, pelanduk mati di tengah-tengah?
Fazlur Rahman dikenal sebagai tokoh utama pemikiran Neomodernisme. Pemikiran ini kemudian melahirkan gerakan sekulerisasi dan liberalisasi dalam Islam. Di Indonesia pemikiran Fazlur Rahman sudah dikenal sejak awal 1980. Ia sering menjadi rujukan para aktivis liberal. Salah satu murid langsung adalah Nurcholis Madjid dan Syafi’i Maarif. Nurcholis populer sebagai lokomotif liberalisasi Islam di Indonesia.
Pria kelahiran 23 Desember 1955 di Kelantan ini, pertama kali bertemu dengan Fazlur pada awal Februari 1979. Ketika itu Wan hendak mengambil S3 mengkaji sistem pendidikan Islam di Universtiy of Chicago, AS. Sedangkan Fazlur adalah pengampu studi Islam di universitas yang terkenal di negeri Paman Sam itu.
Pada akhirnya, Wan tak hanya menjadi mahasiswa pemikir kelahiran Pakistan itu. Mereka bergaul akrab. Wan cukup mengenal kehidupan pribadi gurunya itu. “Kesan saya, beliau seorang yang ramah dan baik hati. Tidak pernah menunjukkan rasa marah, benci, dan dendam kepada seseorang,” tulis Wan Mohd Nor Wan Daud dalam buku Rihlah Ilmiah Wan Mohd Nor Wan Daud: Dari Neomodernisme Ke Islamisasi Ilmu Kontemporer.
Yang agak aneh, sebelumnya Wan mengaku tidak tahu reputasi negatif Fazlur. Gara-gara pandangan yang kontroversial soal Islam, Fazlur pernah diusir dari Pakistan. Wan mengenal Fazlur dari koleganya di Malasyia. Dan koleganya itu tak bercerita hal-hal yang negatif. “Andai tahu, mungkin saya tidak akan berani, terutama karena saya aktivis Muslim,” aku pria yang menyelesakan S2-nya di NIU (Northern Illinosis University), AS ini.
Tetapi tidak seperti murid Fazlur, yang biasanya mengekor pada gurunya. Wan justru tampil menjadi pengkritik Fazlur. Soal ini, anak sulung dari 13 bersaudara ini menjawab diplomatis, “Fazlur Rahman sendiri menganjurkan murid-muridnya agar berpikir kritis.”
Wan, antara lain mengkritik hermeneutika yang diusung Fazlur. Wan dengan tegas menolak hermeneutika digunakan sebagai metode untuk menafsirkan al-Qur`an. “Itu berbahaya,” katanya.
Letak bahayanya, lanjut Wan, utamanya adalah penolakan hermeneutika terhadap penafsiran final terhadap suatu masalah. Bukan hanya masalah agama dan akhlak, malah juga masalah-masalah keilmuan lainnya. “Keadaan ini dapat menimbulkan kekacauan nilai, akhlak dan ilmu pengetahuan,” tegas Wan.
Sekalipun berselisih pendapat, Wan tetap mengakui Fazlur sebagai ilmuwan ulung. “Saya juga menyanjungnya sebagai seorang yang baik dan berdedikasi,” katanya. *(Bersambung)