Sambungan artikel PERTAMA
Melihat situs asing, menerima panggilan telepon luar negeri dari saudara, rajin shalat atau hanya menumbuhkan jenggot dapat membuat seseorang bermasalah dan tinggal di kamp indoktrinasi politik, atau penjara, atau keduanya.
Sistem penahanan baru itu diselimuti kerahasiaan, dengan tidak ada data yang tersedia secara publik tentang jumlah kamp (tahanan). Kemenlu AS memperkirakan mereka yang ditahan “paling sedikit setidaknya puluhan ribu.” Sebuah stasiun TV yang dijalankan oleh warga Xinjiang di Turki mengatakan hampir 900.000 orang ditahan, mengutip dokumen pemerintah yang bocor.
Adrian Zenz, seorang peneliti di Sekolah Budaya dan Teologi Eropa, menempatkan angka antara beberapa ratus ribu dan lebih dari 1 juta. Tawaran pemerintah dan iklan rekrutmen yang dipelajari oleh Zenz menunjukkan kamp-kamp tersebut menghabiskan lebih dari $100 juta sejak 2016, dan pembangunan kamp masih terus berlangsung.
Dirantai Berhari-hari
Bekali tidak tahu apa-apa mengenai ini ketika dia mengunjungi orang tuanya pada 25 Maret. Dia melewati pos pemeriksaan polisi dan menyerahkan kartu identitas Chinanya.
Besoknya, lima polisi bersenjata muncul di depan pintu rumah orang tua Bekali dan membawanya pergi. Mereka mengatakan ada surat perintah untuk penangkapannya di Karamay, sebuah kota perbatasan di mana dia tinggal satu dekade lalu. Dia tidak bisa menelepon orang tuanya atau pengacara, kata polisi, karena kasusnya disebut “khusus”.
Baca: Home Stay: ‘Deradikalisasi dan Indoktrinasi’ ala Komunis China pada Keluarga Muslim
Bekali ditahan di sebuah sel, tidak dapat mengabari siapapun, selama satu minggu, dan kemudian dipindahkan ke kantor keamanan publik Distrik Baijiantan, Karamay.
Di sana, mereka mengikatnya di “tiger chair,” sebuah kursi yang menjepit pergelangan tangan dan pergelangan kakinya. Mereka juga menggantungnya di pergelangan tangan, cukup tinggi sehingga dia akan merasakan tekanan yang luar biasa di pundaknya kecuali dia menahan badannya dengan jinjit. Mereka menginterogasinya mengenai pekerjaannya dengan agensi turis yang mengundang orang-orang China untuk mengajukan visa turis Kazakhstan, yang mereka klaim sebagai cara untuk membantu Muslim China melarikan diri.
“Saya tidak melakukan kejahatan apapun!” teriak Bekali.
Mereka selama berhari-hari menanyakan apa yang dia ketahui tentang 24 aktivis dan pebisnis etnis Uighur (Uyghur) terkenal di Kazakhstan. Lelah dan kesakitan, Bekali menceritakan apa yang dia ketahui tentang beberapa nama yang dia kenali.
Polisi kemudian mengirim Bekali ke sel berukuran 10×10 di penjara bersama 17 tahanan lain, kaki mereka dirantai ke tiang dua kasur besar. Beberapa dari mereka menggenakan seragam berwarna biru tua, sementara lainnya berwarna oranye untuk kejahatan politik. Bekali diberi seragam oranye.
Pada pertengahan Juli, tiga bulan setelah penangkapannya, Bekali menerima kunjungan dari diplomat Kazakhstan. Penahanan massal etnis Kazakh China – dan bahkan WN Kazakhstan – telah menciptakan gelombang di negara Asia Tengah berpenduduk 18 juta orang itu.
Pemerintah Kazakhstan mengatakan China menahan 10 WN Kazakhstan dan ratusan etnis Kazakh China di Xinjiang selama setahun terakhir, meskipun mereka dibebaskan pada akhir April pasca kunjungan oleh Wakil Menlu Kazakhstan.
Empat bulan setelah kunjungan tersebut, Bekali dibawa keluar dari selnya dan menerima sebuah surat pembebasan.
Namun dia belum bebas.
Ditempatkan di sel-sel dan dipaksa mengulang indoktrinasi
Bekali dikirim dari penjara ke sebuah komplek berpagar di pinggiran utara kota Karamay, di mana tiga bangunan menampung lebih dari 1.000 tahanan yang menerima indoktrinasi politik, dia mengisahkan.
Dia berjalan masuk, melewati pos utama yang dapat mengawasi seluruh tempat itu, dan menerima sebuah setelan olahraga. Penjaga bersenjata dengan ketat mengawasi komplek itu dari lantai dua. Dia bergabung dalam sel dengan 40 tahanan, meliputi dokter, guru dan pelajar. Laki-laki dan perempuan dipisah.
Para tahanan diharuskan bangun sebelum fajar, menyanyikan lagu kebangsaan China, dan mengibarkan bendera China pada jam 7.30 pagi. Mereka dikumpulkan kembali di kelas besar untuk mempelajari “lagu propaganda” seperti “Without the Communist Party, there is no New China (Tanpa Partai Komunis, tidak Ada China Baru),” dan bahasa Mandarin serta sejarahnya.
Mereka diberitahu bahwa penduduk asli Asia Tengah di Xinjiang terbelakang dan terjerat oleh perbudakan sebelum mereka “dibebaskan” oleh Partai Komunis pada tahun 1950-an.
Sebelum makan, para tahanan akan diperintahkan untuk meneriakkan slogan: “Terima kasih Partai! Terima kasih Tanah air! Terima kasih Presiden Xi!”
Disiplin secara ketat ditegakkan dan hukuman bisa menjadi keras. Bekali ditempatkan dalam sebuah ruangan terkunci hampir sepanjang waktu dengan delapan tahanan lain, yang berbagi tempat tidur dan toilet yang buruk. Kamera pengawas dipasang di toilet-toilet. Mandi sangat jarang, seperti mencuci tangan dan kaki, yang diberitahukan pada para tahanan menyerupai wudhu.
Bekali dan mantan tahanan lain mengatakan bagian terburuk dari program indoktrinasi itu ialah pengulangan paksa dan otokritik. Meskipun para pelajar tidak banyak memahami apa yang diajarkan dan materi yang hampir tidak masuk akal bagi mereka, itu dibuat mendarah daging melalui pengulangan dalam sesi selama dua jam atau lebih.
“Kami akan menentang ekstrimisme, kami akan menentang separatisme, kami akan menentang terorisme,” mereka teriakkan lagi dan lagi. Hampir setiap hari, para pelajar menerima pembicara tamu dari kepolisian lokal, lembaga peradilan dan cabang pemerintah lain yang memperingatkan mereka bahaya separatisme dan ekstrimisme.
Dalam sesi 4 jam itu, para instruktur membicarakan bahaya Islam dan menghujani para tahanan dengan pertanyaan-pertanyaan yang mereka harus jawab dengan benar atau mereka akan diperintahkan berdiri di dekat tembok selama berjam-jam.
“Apakah kamu mematuhi hukum China atau syariah?” tanya para instruktur. “Apakah kamu mengerti mengapa agama berbahaya?”
Baca: Pria China Dipenjara Dua Tahun Karena Mengajarkan al-Quran
Satu per satu, para tahanan akan berdiri di depan 60 rekan sekelas mereka untuk menyampaikan otokritik. Para tahanan juga harus mengkritik dan dikritik rekan-rekan mereka. Mereka yang dapat mengatakan kalimat yang diajarkan dengan sangat baik atau mereka yang mencambuk rekan tahanan mereka dengan kejam akan diberikan poin dan dapat dipindahkan ke lingkungan yang lebih nyaman di bangunan lain, katanya.
“Saya diajari al-Quran oleh ayahku dan saya mempelajarinya karena saya tidak tahu,” kata seseorang dikutip Bekali.
“Saya melakukan perjalanan keluar China tanpa mengetahui saya dapat terpapar pemikiran ekstrimis di luar,” ujar Bekali mendengar seseorang lainnya. “Sekarang Saya tahu.”
Seorang perempuan Uighur mengatakan pada AP dia ditahan di pusat indoktrinasi di Kota Hotan pada 2016. Dia menceritakan, dia dan tahanan lainnya berulangkali dipaksa meminta maaf karena menggunakan pakaian panjang bergaya Muslim, karena shalat, karena mengajarkan al-Quran pada anak mereka dan karena meminta para imam menamai anak mereka.
Shalat di masjid pada hari selain Jumat dituduh sebagai tanda ekstrimisme; begitu juga menghadiri shalat Jumat di luar desa mereka atau memiliki ayat al-Quran atau gambar di telepon seluler mereka.
Dengan diawasi oleh para instruktur, mereka yang mengakui perilaku seperti itu disuruh untuk mengulang-ulang: “Kami telah melakukan hal-hal ilegal, tapi kami sekarang sadar.”>>> (BERSAMBUNG)