Hidayatullah.com | HARI ini, 19 tahun yang lalu, sebuah tragedi yang menewaskan ribuan orang terjadi. Insiden yang dikenal sebagai peristiwa 9/11 terjadi pada Rabu (11/9/2019), menjadi “serangan” terbesar yang pernah terjadi di Amerika Serikat.
Dalam peristiwa tersebut, empat pesawat komersial maskapai AS, American Airlines dan United Airlines, yang berencana terbang menuju wilayah pantai barat Negeri Paman Sam dibajak pada Selasa pagi. Peristiwa tersebut juga merupakan sebuah titik balik, khususnya bagi umat Islam di Barat.
Setidaknya 2.753 orang tewas ketika pesawat American Airlines Flight 11 dan United Airlines Flight 175 menabrak Gedung WTC di kawasan Manhattan. Pihak berwenang memperkirakan sebanyak 500 ribu AS Dolar atau setara dengan Rp7,02 miliar bagi para pelaku untuk melancarkan serangan 9/11. Di sisi lain, kerugian ekonomi akibat serangan itu dilaporkan mencapai 123 miliar AS Dolar selama 2-4 minggu pascaserangan berlangsung.
Dilansir CNN pada Desember 2001, pemerintah AS merilis rekaman suara di mana pemimpin kelompok Al Qaidah, Usamah bin Laden, yang tewas dalam serangan militer AS pada Mei 2011, mengaku bertanggung jawab atas serangan itu. Lima orang terdakwa bakal kembali disidang setelah lama terhenti.
Pengadilan rencananya akan digelar pada 2021 mendatang. Menurut Associated Press, kelima terdakwa kini sedang menjalani masa penahanan di penjara Teluk Guantanamo. Mereka dituduh merencanakan dan membantu serangan 9/11. Kelimanya akan menjadi yang pertama diadili dalam komisi militer yang dibentuk untuk menangani tahanan kasus 9/11.
Sebuah teori konspirasi menyebutkan, serangan terhadap gedung WTC dan Pentagon yang dirancang oleh ‘Israel’ dengan keterlibatan Inggris dan Amerika, dibawah perintah Keluarga Rothschild. Kejadian ini dilakukan untuk mengkambinghitamkan Muslim sebagai “Teroris”.
Padaserangan 11 September juga, terdapat 5 orang ‘Israel’ yang menyamar dalam pakaian Arab yang ditangkap karena menari dan bersorak sambil merekam menara WTC yang runtuh. Meraka disewa oleh Urban Moving System tertangkap punya banyak paspor, satu van teruji positif mengandung peledak dan banyak uang tunai.
The Guardian pernah menulis, ‘Israel’ diduga menjadi dalang dari serangan 11 September untuk menarik Amerika ke dalam konflik dengan negara-negara Arab. Dugaan tersebut bersumber dari sejumlah laporan yang mengatakan, 4.000 orang Yahudi yang bekerja di WTC tak masuk kerja pada 11 September 2001 karena mereka telah diperingatkan oleh Badan Intelijen ‘Israel’, Mossad.
Seminggu peristiwa ini, presiden AS kala itu, George W Bush langsung mencanangkan ‘kampanye melawan teror’ ke dunia Muslim. “Semua bangsa punya pilihan sendiri. Apakah mau bergabung bersama kami atau ingin bersatu dengan teroris,” tegas Bush.
Terhitung sejak pidato Bush tersebut, Amerika Serikat mulai menerjunkan pasukan militer dan anggota intelijen untuk menggempur Taliban di Afghanistan. Sejak itu juga, banyak negara yang memperketat Undang-Undang Anti-Terorisme, dan kehidupan di negeri-negeri Muslim menjadi lebih kacau.
Islamofobia yang Mewabah
Tragedi memilukan dan pemberitaan yang massif mengenai “kelompok teror Muslim”, telah membuat tanggal peristiwa tersebut dipahami secara luas sebagai katalisator mewabahnya Islamofobia yang terus menjangkit di Barat. Jajak pendapat YouGov pada 2015 menemukan bahwa 55 persen orang Amerika memiliki opini yang “tidak mendukung” terhadap Islam.
Pernyataan Donald Trump baru-baru ini tentang larangan dan peningkatan pengawasan, menguatkan hal itu dan semakin memicu ketakutan terhadap Muslim dan warga dari “negara-negara Islam”. Muslim Amerika telah lama menyadari sentimen pasca-9/11 ini, bahkan sebelum Trump melakukan kampanye.
Survei Pew Research Center pada peringatan 10 tahun serangan tersebut pada 2011 menyimpulkan bahwa “kehidupan Muslim-Amerika di Amerika pasca-9/11 sulit dalam berbagai hal.” Dua puluh delapan persen peserta survey Muslim mengatakan mereka telah diperiksa dengan kecurigaan, 21 persen mengatakan mereka “diperlakukan khusus” oleh keamanan bandara, dan 52 persen merasa bahwa kebijakan anti-pelakume pemerintah menempatkan Muslim di bawah pengawasan yang ketat.
Sementara, jajak pendapat YouGov pada 2019 terhadap anggota Partai Konservatif di Inggris menunjukkan: 60% percaya bahwa “Islam secara umum merupakan ancaman bagi peradaban Barat”. Hanya 17% dari anggota Konservatif setuju bahwa Islam “secara umum cocok dengan peradaban Barat”, sementara 54% berpikir bahwa Islam juga “secara umum merupakan ancaman bagi cara hidup Inggris”.
Pada tahun 2018 saja, Prancis mengalami peningkatan 52 persen insiden Islamofobia; di Austria terjadi kenaikan sekitar 74 persen, dengan 540 kasus. Puncak dari satu dekade serangan yang terus meningkat terhadap Muslim, yang mengekspresikan antipati yang meluas terhadap Islam.
Empat puluh empat persen orang Jerman, melihat “kontradiksi mendasar antara Islam dan budaya serta nilai-nilai Jerman”. Angka yang sama di Finlandia adalah 62 persen yang luar biasa; di Italia, angkanya 53 persen.
Menjadi seorang Muslim di Barat berarti hidup dalam kondisi rentan, tidak dipercaya, dan tak jarang diskriminatif.
Sentimen yang Telah Berakar Lama
Penggunaan istilah “Islamofobia” secara luas lahir sebelum 9/11. Namun setelah peristiwa runtuhnya menara kembara ini masih berkembang secara luas.
Seperti yang ditulis Gallup tentang hasil survei tahun 2015, “Islamofobia sudah ada sebelum serangan pelaku 11 September 2001, tetapi frekuensi dan ketenarannya meningkat selama dekade terakhir.”
Jenee Desmond Harris yang menulis untuk Vox mencatat: “Penting untuk diingat bahwa keyakinan anti-Islam telah dipicu oleh lebih banyak kekuatan daripada serangan pelaku saja, dan bahwa Muslim Amerika adalah kelompok yang beragam, yang pengalamannya dengan viktimisasi sering kali ditentukan oleh aspek identitas mereka selain agama. Selain itu, penindasan dan marginalisasi bukanlah satu-satunya kekuatan yang menentukan kehidupan bagi mereka dalam hal Amerika pasca-9/11.”
Peningkatan penggunaan istilah tersebut sebagian karena begitu banyak studi tentang Islamofobia pra-9/11 tidak menggunakan label seperti itu, kata Khaled Beydoun, seorang profesor hukum di Universitas Detroit yang juga bekerja dengan Penelitian Islamofobia Universitas California Berkeley.
“Pra-9/11, pendahulu Islamofobia disebut Orientalisme. Itu adalah sistem yang melahirkan Islamofobia; itu memberi makan dan memberikan banyak stereotip yang sama, sistem ketakutan, dan karikatur menyudutkan,” jelasnya kepada Vox. “Orang cenderung berpikir tentang Islamofobia atau kebencian anti-Muslim atau permusuhan sebagai fenomena baru, tetapi pada dasarnya ini adalah perluasan dari ketakutan dan fitnah tidak hanya pada Muslim tetapi semua orang yang dianggap Muslim yang telah terjadi selama berabad-abad,” tambahnya.
Meskipun banyak Muslim Amerika berkulit hitam atau merupakan keturunan Asia Selatan yang tidak mungkin diklasifikasikan sebagai Arab atau termasuk dalam definisi Orientalisme, kefanatikan tidak selalu memperhatikan detail seperti ini. Itu berarti prasangka lama anti-Arab pra-9/11 tidak perlu banyak berubah untuk berkembang menjadi sikap anti-Muslim saat ini.
“Saat Anda orang Arab dan Muslim, kategorinya bisa menyatu,” kata Maytha Alhassen, kandidat doktoral di departemen studi dan etnis Amerika di University of Southern California yang memiliki akar keluarga di Suriah dan Lebanon. “Ketika saya berbicara dengan media, ada ketertarikan yang berbeda dalam memandang Islam sebagai ‘orang-orang kulit coklat dari sana,” katanya dilansir oleh Vox.
Stereotip yang Disponsori Negara
Ada perbedaan penting antara Islamofobia individual dan yang disponsori negara. Kerugian nyata yang disebabkan oleh ekspresi Islamofobia individu tidak begitu besar ketimbang Islamofobia yang disponsori oleh negara. Pusat Keadilan Brennan di Sekolah Hukum Universitas New York menulis dalam laporan pada tahun 2016 bahwa program Melawan Ekstremisme Kekerasan pemerintahan Obama semakin menstigmatisasi orang-orang Muslim.
Program tersebut “memperkuat stereotip Islamofobia, memfasilitasi pengumpulan intelijen rahasia, menekan perbedaan pendapat terhadap kebijakan pemerintah, dan menabur perselisihan di komunitas yang ditargetkan.” Islamofobia “adalah salah satu benteng yang tersisa dari kebencian dan rasisme yang dapat diterima, sebagian karena cara negara dan media membangun ketakutan (terhadap pelakume) yang akan segera terjadi, terutama dengan gagasan radikalisasi dan ketakutan akan pelakume yang tumbuh di dalam negeri ini (AS),” kata Beydoun mengungkap.
Dia menambahkan bahwa seruan “Muslim yang damai dan deradikalisasi” dapat memperkuat mitos bahwa radikalisasi itu hanya ada pada Muslim dan bukan kelompok lain. Padahal, ujar Beydoun, hanya sebagian kecil dari serangan pelaku di Amerika Serikat yang dilakukan oleh Muslim. Sebuah studi FBI tentang aksi pelakume yang dilakukan antara 1980 dan 2005 menyimpulkan bahwa 94 persen dilakukan oleh non-Muslim.
Berkah 11/9, Islam terus Tumbuh
Pew Research mengeluarkan studi yang menyebutkan bahwa populasi Muslim terus bertambah, dan dalam dua dekade ke depan Muslim bisa menjadi kelompok agama terbesar kedua di Amerika Serikat. Pusat Penelitian Pew menggabungkan studi yang mereka lakukan pada 2007, 2011 dan 2017 dengan data tahunan dari Sensus AS (yang tidak melacak afiliasi agama) untuk mengumpulkan potret masa depan Muslim di Amerika.
Menurut data mereka, populasi Muslim tumbuh dengan kecepatan yang meningkat, dan akan meningkat lebih dari dua kali lipat dari perkiraan 3,45 juta pada 2017 menjadi sekitar 8,1 juta pada 2050. Sementara itu, umat Islam diperkirakan akan melampaui orang Yahudi sebagai negara terbesar kedua kelompok agama.
Pew Research juga mencatat, pangsa Muslim dari total populasi Eropa terus meningkat dan akan terus bertambah dalam beberapa dekade mendatang. Dari pertengahan 2010 hingga pertengahan 2016 saja, pangsa Muslim di Eropa meningkat lebih dari 1 poin persentase, dari 3,8% menjadi 4,9% (dari 19,5 juta menjadi 25,8 juta). Pada tahun 2050, pangsa populasi benua yang beragama Islam bisa lebih dari dua kali lipat, meningkat menjadi 11,2% atau lebih, tergantung pada seberapa banyak migrasi yang diizinkan ke Eropa.
Bahkan jika migrasi di masa depan dihentikan secara permanen, populasi Muslim masih akan meningkat hingga sekitar 7,4%, karena usia yang relatif muda dan tingkat kesuburan yang tinggi dari penduduk Muslim Eropa saat ini. Di tengah pertumbuhan konstan tersebut, kesedaran Muslim di Barat, khususnya di AS, untuk terlibat menentukan nasib mereka sendiri juga turut meningkat.
Para ahli menjelaskan bahwa dampak Islamofobia pasca-9/11 pada Muslim Amerika tidak hanya tentang viktimisasi. Iklim selama 15 tahun terakhir juga telah menyebabkan peningkatan keterlibatan politik dan sosial bagi sebagian Muslim. Kontroversi pemerintahan Trump dengan larangan perjalanannya adalah salah satu pemicu kesadaran untuk berkecimpung dalam politik dan kegiatan sosial bagi generasi muda Muslim AS.
“Salah satu konsekuensi dari menjadi sasaran adalah kesadaran minoritas yang meluas, yang memungkinkan Muslim membangun koalisi yang lebih besar dengan komunitas kulit berwarna lainnya, semuanya dipicu oleh marginalisasi pasca-9/11,” kata Beydoun mengungkap. “Itu telah memaksa mereka untuk terhubung dengan komunitas terpinggirkan lainnya – mendorong Muslim untuk keluar dari kepompong mereka dan bersekutu atas nilai-nilai bersama, dan itu hal yang baik,” kata Wajahat Ali, seorang jurnalis dan pembicara yang sering berbicara tentang pengalaman Muslim Amerika.
Menurut Wajahat Ali, sebagai akibat langsung dari perundungan semacam ini, kaum Muslim telah terinspirasi untuk lebih terlibat dengan masyarakat Amerika. “Lebih banyak dari kita telah menjadi jurnalis, komedian, maupun anggota kongres. Tanggapan ini mewakili jenis ketahanan Muslim Amerika,” tambahnya.* Fida’ A.