PENEGAKAN hukum di Indonesia masih jauh dari kata “ideal”. Realita yang ada menunjukkan bahwa keputusan-keputusan yang dikeluarkan hakim, kebanyakan masih tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Figur yang memiliki kekuatan, diproses dengan lambat, bahkan bisa bebas. Sedangkan yang lemah, diproses dengan cepat dan ditindak tegas.
Dalam konteks keindonesiaan misalnya, kasus penistaan agama yang dilakukan Lia Aminudin, Arswendo, HB Jassin, Permadi dan lainnya bisa ditindak dengan tegas. Namun, dalam kasus Basuki Tjahya Purnama, hakim terkesan mengulur waktu, melunak dan belum menindakknya secara tegas. Bila hukum timpang, maka keadilan pasti terbuang.
Fenomena demikian, sebagaimana telah disinyalir Nabi Muhammad Shalalallahu ‘ALaihi Wasallam, merupakan indikator kehancuran suatu negeri. Hancurnya tatanan sosial Bani Israil misalnya, karena hukum tidak ditegakkan dengan semestinya. Ketika yang melanggar orang terhormat, hukum menjadi lunak. Namun, kalau rakyat jelata yang melakukannya, tiba-tiba hukum menjadi tegak. Melihat fenomena demikian nabi dengan tegas berkata, “Sekiranya Fathimah binti Muhammad mencuri, maka aku sendiri yang akan memotong tangannya.” (HR. Bukhari). Sebagai komitmen atas pentingnya penegakan hukum.
Baca: “Pengadilan Langit Lebih dekat Daripada Hakim di Bumi”
Tentu saja, di antara kunci penegakan hukum terletak pada hakim yang adil. Hakim yang culas, zalim tak akan mungkin menegakkan kebenaran. Terkait hal ini, Rasulullah SAW pernah menyebutkan tiga tipe hakim. Dua akan dijebloskan ke neraka dan satu ke surga. Pertama, hakim yang tahu kebenaran dan menghakimi orang dengan kebenaran. Kedua, hakim yang tahu kebenaran tapi menghakimi dengan kezaliman. Ketiga, hakim yang tidak mengetahui kebenaran dan memutuskan perkara tanpa dasar kebenaran. (HR. Abu Daud). Di samping itu, rakyat dan penguasa juga punya andil besar dalam menciptakan atmosfir hukum yang berkeadilan.
Suatu saat, Ubaid bin Dhibyan, seorang hakim adil di wilayah Raqqah, pernah berujar kepada Harun Al-Rasyid, “Demi Allah, tidak akan beruntung hakim yang tak menegakkan kebenaran baik kepada yang kuat maupun yang lemah.” Khalifah kenamaan dalam Dinasti Abbasiyah ini pun penasaran, “Siapa yang menghalangimu menegakkan hukum?”
Ubaid melaporkan, ada seorang pejabat yang bernama Isa bin Ja’far punya tanggungan sebesar 500 ribu dirham kepada rakyat jelata. Karena tak kunjung dibayar, akhirnya rakyat jelata ini melaporkan Isa kepada Ubaid bin Dhibyan. Dipanggillah Isa oleh Dhibyan sebanyak tiga kali dengan surat resmi yang dikirim melalui petugas kehakiman yang intinya berisa dua poin: Pertama, segera melunasi tanggungannya. Kedua, datang ke pengadilan untuk menyelesaikan kasus.
Walaupun surat itu ditulis dengan bahasa halus dan penuh hormat, tapi Isa bin Ja’far tidak kooporatif. Alih-alih menerima dengan hangat, ia malah naik pitam bahkan melempar surat itu ke hadapan petugas. Melihat kondisi demikian, mau tidak mau kasus ini disampaikan langsung kepada Khalifah Al-Rasyid.
Setelah mendengar penuturan Ubaid secara lengkap, Harun Al-Rasyid segera menginstruksikan pasukannya untuk menindak tegas Isa bin Ja’far. Seluruh pintu rumahnya digembok dan dilarang keluar sebelum membayar tanggungan, atau diselesaikan di ranah hukum. Pada akhirnya, dengan berat hati pejabat pongah itu akhirnya membayarnya (Qashashu al-‘Arab, Ibrahim Syamsuddin, 2003: II, 246-247).
Kisah ini memberi pelajaran berharga. Pertama, hukum bisa tegak dengan hakim yang adil. Sebaliknya, hukum akan kandas di tangan hakim yang culas. Kedua, penegakan hukum perlu dukungan rakyat, pejabat dan penguasa. Ketiga, tidak akan beruntung hakim yang membeda-bedakan seseorang dalam penegakan hukum.*