Menurut perhitungan Kemenag, puasa Asyura akan jatuh pada tanggal 8 Agustus 2022 dan berlangsung selama 3 hari. Ternyata puasa Asyura ada tingkatannya lho, apa yang dimaksud tingkatan puasa Asyura?
Oleh: Muhammad Yusran Hadi
Hidayatullah.com | PARA ulama menyebutkan bahwa puasa ‘Asyura itu ada 3 tingkatan:
Tingkatan Pertama: Puasa 3 hari yaitu hari kesembilan, kesepuluh dan kesebelas Muharram. Ini yang paling sempurna.
Tingkatan Kedua: Puasa hari kesembilan dan kesepuluh Muharram.
Tingkatan Ketiga: Puasa hari kesepuluh Muharram saja.
Tingkatan Puasa Asyura menurut para Ulama
Imam An-Nawawi berkata: “Imam Asy-Syafi’i, para sahabatnya, imam Ahmad, imam Ishaq dan lainnya berkata: “Disunnahkan berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh bersama, karena Nabi ﷺ berpuasa pada hari kesepuluh dan berniat berpuasa pada hari kesembilan.” (Syarhu Shahih Muslim: 8/254).
Imam Ibnu Al-Qayyim berkata: “Tingkatan-tingkatan puasa ‘Asyura itu ada tiga: Tingkatan yang paling sempurna: berpuasa sehari sebelumnya dan sehari sesudahnya. Tingkatan berikutnya: berpuasa hari kesembilan dan kesepuluh, ini berdasarkan kebanyakan hadits-hadits. Tingkatan berikutnya: berpuasa pada hari sepuluh saja.” (Zadu Al-Ma’ad: 2/76).
Imam Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani berkata: “Dan sebahagian ulama berkata: Hadits Nabi ﷺ di dalam Shahih Muslim: “Jika kami masih hidup tahun depan, maka kami akan berpuasa pada hari kesembilan” mengandung dua hal. Pertama: beliau ingin memindahkan hari kesepuluh ke hari kesembilan. Kedua: beliau ingin menambahkan hari kesembilan kepada hari kesepuluh dalam berpuasa. Ketika beliau wafat sebelum menjelaskan itu, maka sikap kehati-hatian adalah berpuasa dua hari itu . Oleh karena itu, puasa ‘Asyura itu tiga tingkatan. Yang paling rendah adalah berpuasa hari ‘Asyura saja. Tingkatan di atasnya adalah berpuasa pada hari kesembilan bersama hari ‘Asyura. Dan tingkatan di atasnya adalah berpuasa hari kesembilan dan kesebelas bersama hari ‘Asyura. Wallahu’lam.” (Fathu Al-Bari: 4/375)
Imam Ibnu Rajab berkata:
”Di antara ulama yang menganjurkan berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh Muharram bersama adalah Imam Asy-Syafi’i, Imam Ahmad, dan Imam Ishaq. Adapun Imam Abu Hanifah menganggap makruh jika seseorang hanya berpuasa pada hari kesepuluh saja.” (Lathaif Al-Ma’arif, hal. 99)
Imam Ibnu Hajar Al-Haitsami berkata: “Hikmah berpuasa Tasu’a adalah untuk menyelisihi orang-orang Yahudi. Dan disunnahkan berpuasa hari kesebelas.” (Tuhfah Al-Muhtaj: 1/532)
Imam Asy-Syaukani berkata: “Dan zhahirnya bahwa untuk lebih berhati-hati adalah berpuasa 3 hari yaitu hari kesembilan, kesepuluh dan kesebelas. Maka puasa ‘Asyura itu ada tiga tingkatan: Pertama: puasa hari kesepuluh saja. Kedua: puasa hari kesembilan bersama hari kesepuluh. Ketiga: puasa kesebelas bersama keduanya.” (Nailu Al-Awthar: 4/351)
Syaikh Mansur Ali Nashif berkata: “Imam Asy-Syafi’i, Imam Ahmad dan lainnya berkata: Disunnahkan berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh karena Nabi ﷺ meskipun berpuasa pada kedua hari itu secara terpisah masing-masing, namun beliau berniat berpuasa keduanya bersama jika panjang umurnya. Dan karena perkataan Ibnu Abbas: “Puasalah hari kesembilan dan kesepuluh, dan berbedalah dengan orang-orang Yahudi.” Dan sebahagian ulama berpuasa pada hari kesembilan, kesepuluh dan sebelas. Ini lebih berhati-hati. Wallahu a’lam” (At-Taj Al-Jami’ li Al-Ushul fi Ahadits Ar-Rasul: 2/82).
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin berkata: “Di antara puasa sunnah adalah puasa di bulan Allah Muharram. Bulan Allah Muharram adalah bulan antara Zulhijjah dan Shafar. Mengenai bulan ini, Rasulullah ﷺ bersabda: “Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa di bulan Allah Muharram”, terutama puasa hari kesepuluh dari bulan Muharram, atau kesepuluh dan kesembilan, atau kesembilan, kesepuluh dan kesebelas.” (Syarhu Riyadhis Shalihin: 5/299).
Syaikh Al-Utsaimin juga berkata: “Rasulullah berpuasa ‘Asyura dan memerintahkan untuk berpuasa ‘Asyura, namun beliau memerintahkan untuk berbeda dengan orang Yahudi yang hanya berpuasa pada hari kesepuluh Muharram seperti berpuasa hari kesembilan atau hari kesebelas bersama dengan ‘Asyura. Oleh karena itu, sebahagian ulama rahimahumullah seperti imam Ibnu Al-Qayyim dan lainnya menyebutkan bahwa puasa ‘Asyura itu ada tiga bagian: Pertama: Kita berpuasa ‘Asyura dan hari kesembilan Muharram. Ini jenis yang paling utama. Kedua: kita berpuasa ‘Asyura dan hari kesebelas. Ini lebih rendah dari yang pertama. Ketiga: kita berpuasa ‘Asyura saja. Ini makruh menurut sebahagian ulama, karena Nabiﷺ memerintahkan untuk berbeda dengan orang-orang Yahudi. Namun sebahagian ulama lain ini memberikan keringanan padanya. (Syarhu Riyadhis Shalihin: 5/305).
Syaikh Sayyid Sabiq berkata: “Para ulama menyebutkan bahwa puasa ‘Asyura itu ada 3 tingkatan:
Tingkatan pertama: Puasa 3 hari yaitu hari kesembilan, kesepuluh dan kesebelas.
Tingkatan kedua: puasa hari kesembilan dan kesepuluh.
Tingkatan ketiga: Puasa hari kesepuluh saja.” (Fiqhu As-Sunnah: 1/317).
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz, mufti Kerajaan Saudi Arabia di masa lalu berkata: Yang lebih utama adalah berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh dari bulan Muharram karena mengingat hadits Ibnu ‘Abbas, “Apabila aku masih diberi kehidupan tahun depan, aku akan berpuasa pada hari kesembilan.” Jika ada yang berpuasa pada hari kesepuluh dan kesebelas atau berpuasa tiga hari sekaligus (9, 10 dan 11 Muharram) maka itu semua baik. Semua ini dengan maksud untuk menyelisihi Yahudi.” (Fatwa Syaikh Ibnu Baz)
Syaikh Wahbah Az-Zuhaili berkata: “Jika tidak berpuasa Tasu’a bersama ‘Asyura, disunnahkan berpuasa hari kesebelas bersama ‘Asyura. Bahkan Imam Asy-Syafi’i menegaskan di kitab Al-Um dan Al-Imla’ sunnahnya berpuasa pada tiga hari itu. Para ulama Hanabilah menyebutkan bahwa jika awal bulan tidak jelas bagi seorang muslim, maka dia berpuasa tiga hari, untuk meyakini puasanya.” (Al-Fiqhu Al-Islami wa Adillatuhu: 3/1643)
Syaikh Hasan Ayyub berkata: “Disunnahkan menggabungkan puasa ‘Asyura puasa dengan puasa hari kesembilan dan kesebelas dari bulan Muharram untuk menyelisihi puasa orang-orang Yahudi. (Fiqhu Al-‘Ibadat bi Adillatiha: 430)
Keutamaan-keutamaan ‘Asyura
Adapun keutamaan puasa ‘Asyura di antaranya:
Pertama: Menghapus dosa-dosa setahun yang lalu berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Qatadah ia berkata: Rasulullahﷺ ditanya tentang puasa ‘Asyura? Maka beliau bersabda: “Saya berharap kepada Allah puasa ‘Asyura dapat menghapus dosa setahun yang lalu.” (HR. Muslim).
Dalam riwayat lain dari Abu Qatadah ra. ia berkata: Rasulullahﷺ bersabda: “Puasa hari ‘Arafah menghapus dosa dua tahun setahun yang lalu dan setahun yang akan datang. Dan puasa ‘Asyura menghapus dosa setahun yang lalu.” (HR. Al-Jama’ah kecuali Al-Bukhari dan At-Tirmizi).
Kedua: Puasa Asyura adalah termasuk puasa yang paling utama, karena dilakukan di bulan Allah yang agung dan mulia yaitu bulan Muharram sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra. ia berkata: Rasulullahﷺ. ditanya: Shalat apa yang paling utama setelah shalat wajib? Rasulullahﷺ bersabda: “Shalat di tengah malam”. Lalu ditanya lagi: Puasa apa yang paling utama setelah puasa Ramadhan? Rasulullahﷺ. bersabda: “Bulan Allah yang kalian memanggilnya Muharram” (HR. Ahmad, Muslim dan Abu Daud).
Ketiga: Rasulullahﷺ selalu berpuasa ‘Asyura sejak sebelum diangkat menjadi Rasul sampai meninggal. Beliau tidak pernah meninggalkannya. Bahkan memerintahkan umat Islam berpuasa. Dalilnya hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah ra. ia berkata: Hari ‘Asyura merupakan hari puasa orang-orang kaum Quraisy pada masa jahiliah. Rasulullahﷺ berpuasa ‘Asyura. Ketika beliau mendatangi Madinah, beliau berpuasa ‘Asyura dan memerintahkan orang-orang untuk berpuasa ‘Asyura. Ketika diwajibkan puasa Ramadhan beliau bersabda: “Barangsiapa yang ingin berpuasa ‘Asyura maka silakan berpuasa. Dan barangsiapa yang tidak berpuasa maka silakan tidak berpuasa.” (Muttafaq ‘Alaih).
Puasa ‘Asyura merupakan hari yang agung di mana pada hari itu Nabi Musa berpuasa sebagai rasa syukur atas nikmat Allah swt yang telah menyelamatkannya dan kaum dari fir’aun. Maka Rasulullah ﷺ mengikuti Nabi Musa dalam berpuasa ‘Asyura dan mengatakan lebih berhak mengikutinya daripada orang-orang Yahudi dan Nasrani karena ada persamaan syariat Nabiﷺ dengan syariat Nabi Musa dalam tauhid dan Ushuluddin serta beriman kepada Nabi Musa. Adapun Yahudi dan Nasrani tidak demikian. Namun, untuk membedakan dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani, Rasulullahﷺ berniat berpuasa Tasu’a bersama dengan ‘Asyura pada tahun depannya, meskipun beliau tidak dapat melakukannya karena telah wafat terlebih dahulu.*
Penulis adalah dosen Fiqh dan Ushul Fiqh UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Doktor Fiqh dan Ushul Fiqh, International Islamic University Malaysia (IIUM).