Hidayatullah.com– Wakil Ketua DPR RI yang juga Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon mengkritisi panjang lebar proyek One Belt One Road (OBOR) -lebih anyar disebut Belt and Road Initiative (BRI)- yang baru saja ditandatangani pemerintah Republik Indonesia dengan pemerintah Republik Rakyat China (RRC).
Ia menjelaskan, sebanyak 23 Memorandum of Understanding (MoU) terkait proyek OBOR/BRI diteken antara sejumlah pebisnis Indonesia dan China dalam acara Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) II Belt Road Initiative (BRI) di Beijing pada 27 April 2019 silam.
“(Proyek itu) harus kita soroti bersama,” ujar Fadli, Senin (13/05/2019).
“Penandatanganan kerja sama yang disaksikan Wakil Presiden Jusuf Kalla dengan Menko Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan itu berpotensi memperlemah kedaulatan ekonomi dan politik RI,” ungkapnya.
Baca: Multaqo Ulama Aswaja Tolak Proyek OBOR yang Diteken RI-China
Menurutnya, setidaknya ada tiga alasan kenapa perjanjian-perjanjian itu tak pantas dilakukan dan perlu ditinjau ulang.
Pertama, sebutnya, hampir semua yang disebut sektor swasta di China pasti berafiliasi dengan BUMN ataupun pemerintah RRC. Sehingga, dalih perjanjian yang diteken skemanya “Business to Business” (B to B), bukan “Government to Government” (G to G), dengan sendirinya jadi mentah.
Kedua, proyek itu terkait dengan soal geopolitik dan geostrategis yang tak bisa digampangkan sebagai semata urusan bisnis dan investasi.
“Perjanjian semacam itu mestinya mendapatkan supervisi dari Pemerintah dan dikonsultasikan pada DPR, karena ada soal politik, pertahanan dan keamanan yang perlu dikaji di dalamnya,” ungkapnya.
Baca: Walhi: Pemerintah Tak Konsisten pada Proyek OBOR dengan China
Ia memaparkan panjang lebar. Bahwa, sesuai Pasal 10 UU No. 24/2000, setiap perjanjian internasional yang menyangkut enam bidang, yaitu (a) politik, perdamaian, pertahanan dan keamanan negara, (b) perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara, (c) kedaulatan atau hak berdaulat negara, d) hak asasi manusia dan lingkungan hidup, (e) pembentukan kaidah hukum baru, serta (f) pinjaman dan atau hibah luar negeri, semuanya wajib mendapatkan persetujuan parlemen.
“Apalagi sesudah ada Putusan MK No. 13/PUU-XVI/2018, seluruh perjanjian internasional harus diinvetarisasi terlebih dulu oleh Pemerintah bersama dengan parlemen untuk kemudian didapatkan kesepakatan bidang mana yang mesti disahkan melalui UU atau Perpres,” jelasnya.
Jadi, lanjutnya dalam kultwitnya di Twitter, perjanjian-perjanjian yang terkait dengan OBOR atau BRI tak boleh dilepas begitu saja seolah itu adalah persoalan swasta. Sebab, ada isu geopolitik, geostrategi dan isu pertahanan keamanan di dalamnya.
Alasan ketiga, tambah Fadli, saat ini Indonesia sedang berada pada periode transisi kekuasaan dalam siklus lima tahunan. Sangat tak pantas hal-hal terkait isu strategis seperti OBOR atau BRI diputuskan di masa akhir kekuasaan semacam ini.
“Keputusan-keputusan itu, selain potensial ceroboh, juga rawan sekali ditunggangi oleh kepentingan pribadi segelintir elite,” ungkapnya.
Ia mengingatkan bahwa dunia saat ini sedang berada di tengah ketegangan baru, baik akibat konflik bersenjata antar-negara seperti terjadi di Suriah, Lebanon, Yaman, atau konflik yang bersifat laten sebagaimana masih menghantui Semenanjung Korea dan Laut Cina Selatan, juga akibat konflik ekonomi yang telah melahirkan perang dagang (trade war) serta gelombang baru proteksionisme. Jika pada masa Perang Dingin konfliknya bersifat bipolar, maka hari ini konfliknya bersifat plural dan multipolar.
“Di tengah situasi tersebut, kita butuh strategi diplomasi yang cerdik, bukan diplomasi asal-asalan, apalagi disetir oleh kepentingan segelintir elite,” imbuhnya.
Itu sebabnya, meskipun Wakil Presiden dan Menko Kemaritiman berdalih perjanjian-perjanjian itu dilakukan oleh swasta, menurut Fadli, kesepakatan-kesepakatan itu harus ditinjau kembali oleh Pemerintah.
“Diplomasi kita, baik diplomasi politik maupun dagang, seharusnya diarahkan untuk memperkuat posisi Indonesia di panggung internasional, bukan untuk menempatkan negara kita sebagai subordinat dari blok-blok dominan yang sedang bertarung dan berebut pengaruh di tingkat global,” paparnya.
Apalagi, Indonesia negara yang berbatasan langsung dengan Laut Cina Selatan, yang potensial menjadi arena konflik yang rumit. Diplomasi dagang Indonesia dinilai mestinya mempertimbangkan soal pertahanan dan keamanan.
“Mestinya kita memperkuat kerjasama dengan negara-negara Selatan, mendorong terbentuknya blok dagang baru yang berkomitmen terhadap perdamaian, untuk menciptakan politik perimbangan,” ujar Fadli menyarankan.*