Hidayatullah.com– Fenomena sound horeg—yakni penggunaan perangkat audio bertenaga tinggi yang kerap memekakkan telinga di ruang publik—akhirnya diharamkan oleh ulama pesantren di Jawa Timur.
Fatwa ini disampaikan KH Muhibbul Aman Aly, Pengasuh Ponpes Besuk, Pasuruan, melalui Forum Satu Muharram (FSM) Bahtsul Masail karena dinilai membawa kerusakan sosial dan kebisingan yang meresahkan.
Ketua Komisi Fatwa MUI Jatim, KH Ma’ruf Khozin, membenarkan dan mendukung fatwa haram tersebut. Menurutnya, keputusan itu berdasarkan pertimbangan fikih yang matang serta musyawarah keilmuan yang sah.
“Secara fikih sudah tepat. Forum ini melibatkan kiai yang keilmuannya tak diragukan. Beliau Syuriah PBNU,” ujar KH Ma’ruf hari Rabu (2/7/2025).
Tak Tutup Mata, Cari Solusi
Merespons polemik ini, Pemerintah Provinsi Jawa Timur menyatakan tidak tinggal diam. Wakil Gubernur Jatim, Emil Elestianto Dardak, mengatakan pihaknya sedang menjalin komunikasi intensif dengan berbagai pihak termasuk kepolisian dan komunitas pelaku sound horeg.
“Kita tidak boleh tutup mata. Kami sedang mencarikan solusi yang melindungi masyarakat namun juga mengakomodasi aspirasi yang berkembang,” tegas Emil di Surabaya, Rabu (2/7/2025).
Emil menambahkan bahwa suara-suara dari masyarakat yang merasa terganggu telah didengar, dan kini Pemprov berencana bertemu langsung dengan para pemilik dan pengguna sound horeg.
“Kami ingin dengar langsung. Apa tujuan mereka, seperti apa penggunaan alatnya, dan dampaknya. Ini harus dicarikan jalan tengah,” ujarnya dikutip laman Suara Surabaya.
Penggunaan sound horeg yang awalnya populer di kalangan pemuda dan komunitas hiburan pinggiran, kini dinilai menimbulkan gangguan ketertiban umum, terutama saat digunakan dalam pawai, konvoi, atau malam takbiran.
Kepolisian disebut turut diajak berdiskusi oleh Pemprov karena aspek keamanan masyarakat tidak bisa diabaikan. Emil menegaskan bahwa solusi harus mencakup perlindungan terhadap kenyamanan publik tanpa harus menimbulkan stigma atau konfrontasi terhadap kalangan pengguna sound horeg.
Lebih lanjut, KH Ma’ruf Khozin menjelaskan bahwa MUI Jatim sebelumnya telah mengeluarkan larangan serupa, meski tidak dalam bentuk fatwa. Larangan tersebut merespons fenomena takbiran dengan iringan alat musik keras yang dikategorikan berpotensi mengganggu kekhusyukan ibadah.
“Kami sudah membahasnya sejak lama. Dalam konteks keagamaan, alat semacam itu tidak pas untuk suasana ibadah,” kata KH Ma’ruf.*