Hidayatullah.com–Ada begitu banyak kedzaliman yang dilakukan oleh Densus 88 dan BNPT terhadap para tersangka teroris. Kedzaliman pertama adalah fakta perang terhadap terorisme oleh Densus 88 ini jelas diarahkan untuk menghabisi gerakan Islam.
Demikian dibeberkan oleh Ahmad Michdan dari Tim Pengacara Muslim (TPM) dalam konferensi pers di kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI), Kamis (01/10/2012). Konferensi pers tersebut terkait pengawalan TPM terhadap keluagar David Ashari dan Istri Sunanto yang suaminya ditangkap atas tuduhan teroris oleh Densus 88.
“Proses penanganan teroris ini sangat jauh dari rasa keadilan, Densus 88 suka menangkap orang sembarangan dan memaksa orang mengakui hal yang sebenarnya tidak dilakukannya,” jelas Achmad Michdan kepada hidayatullah.com.
Beberapa fakta sentimen Densus 88 terhadap Islam menurut Michdan bisa dilihat dari syarat-syarat dari definisi teroris itu sendiri. Kebanyakan para tertuduh “teroris” yang dituduhkan oleh Densus 88 adalah mereka yang terlibat pada perang Ambon diawal tahun 2000.
Selain itu Michdan juga menambahkan. Definisi teroris bagi Densus 88 adalah orang-orang yang menyatakan sikap anti Amerika Serikat (AS), orang-orang yang ingin menegakkan Syariat Islam dan Ormas-ormas yang memiliki potensi untuk mencerdaskan Umat dengan dakwahnya.
“Selain itu banyak hak para tersangka itu tidak diberikan seperti bebas memilih pengacara, disiksa tanpa proses pengadilan hingga dilarang melakukan Ibadah Sholat seperti pada kasus pemindahan Ustad Abubakar Ba’asyir ke Nusa Kambangan,” menurut Michdan.
Michdan menjelaskan menurut Pasal 54 KUHP setiap tersangka mendapatkan penasehat hukum. Sedangkan pasal 55 KUHP tersangka tersebut berhak menentukan sendiri penasehat hukumnya sendiri tanpa didikte oleh Densus 88.
Menurut rekan dari pengacara ternama Mahendradatta ini juga menilai pola penangkapan Densus 88 terlalu berlebihan. Para tersangka teroris sebenarnya cukup ditangkap dengan satu atau dua orang polisi. Faktanya dilapangan sering Densus 88 dengan persenjataan berat dan jumlah berlebihan.
“Akhirnya justru masyarakat merasa diteror oleh Densus 88,” jelas Michdan.
Saat ini, TPM menuntut agar penanganan kasus terorisme bisa lebih bijak, transparan, akuntabel dan juga boleh diketahui oleh Masyarakat dengan jujur. Tidak kalah pentingnya menurut Michdan, Densus 88 seharusnya membolehkan pihak keluarga untuk menemui kerabatnya yang ditangkap.
“Perilaku Densus 88 yang suka menciduk dan mempersulit tersangka teroris bertemu keluarganya itu juga arogansi yang menyalahi prosedur hukum di Indonesia,” tambahnya lagi.*