Hidayatullah.com– Salah satu hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI Ke-5 di Pesantren At-Tauhiddiyah Cikura, Bojong, Tegal, Jawa Tengah adalah masalah kedudukan pemimpin yang tidak menepati janji.
“Pada dasarnya, jabatan merupakan amanah yang pasti dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Meminta dan atau merebut jabatan merupakan hal yang tercela, apalagi bagi orang yang tidak mempunyai kapabilitas yang memadai dan atau diketahui ada orang yang lebih kompeten. Dalam hal seseorang yang memiliki kompetensi, maka ia boleh mengusulkan diri dan berjuang untuk hal tersebut,” demikian salah satu poin pertama hasil rekomendasi yang dirumuskan oleh Tim Perumus Komisi A Ijtima Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indoensia (MUI) kemarin.
Pembahasan mengenai janji calon pemimpin itu masuk ke dalam Masail Assasiyah Wathaniyah (Masalah Strategis Kebangsaan).
Kedua, disebutkan bahwa setiap calon pemimpin publik, baik legislatif, yudikatif, maupun ekskutif harus memiliki kompetensi (ahliyyah) dan kemampuan dalam menjalankan amanah tersebut.
Ketiga, dalam mencapai tujuannya, calon pemimpin publik tidak boleh mengumbar janji untuk melakukan perbuatan di luar kewenangannya.
Keempat, calon pemimpin yang berjanji untuk melaksanakan sesuatu kebijakan yang tidak dilarang oleh syariah, dan terdapat kemaslahatan, maka ia wajib menunaikannya. Mengingkari janji tersebut hukumnya haram.
Kelima, calon pemimpin publik dilarang berjanji untuk menetapkan kebijakan yang menyalahi ketentuan agama. Dan jika calon pemimpin tersebut berjanji yang menyalahi ketentuan agama maka haram dipilih, dan bila ternyata terpilih, maka janji tersebut untuk tidak ditunaikan.
Keenam, calon pemimpin publik yang menjanjikan sesuatu kepada orang lain sebagai imbalan untuk memilihnya maka hukumnya haram karena termasuk dalam ketegori risywah (suap.red).
Ketujuh, pemimpin publik yang melakukan kebijakan untuk melegalkan sesuatu yang dilarang agama dan atau melarang sesuatu yang diperintahkan agama maka kebijakannya itu tidak boleh ditaati.
Kedelapan, pemimpin publik yang melanggar sumpah dan atau tidak melakukan tugas-tugasnya harus dimintai pertanggungjawaban dan diproses sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kesembilan, pemimpin publik yang tidak melaksanakan janji kampanyenya adalah berdosa, dan tidak boleh dipilih kembali.
Kesepuluh, MUI memberikan taushiyah bagi pemimpin yang mengingkari janji dan sumpahnya.*