Oleh: Muhammad Pizaro
SABTU pagi masyarakat global dikagetkan dengan upaya percobaan kudeta (coup d’état attempt) oleh sejumlah prajurit militer Turki terhadap pemerintahan demokratis Reccep Tayyid Erdogan. Setelah melakukan upaya kudeta selama berjam-jam dengan menguasai stasiun televisi dan sejumlah lokasi penting, akhirnya percobaan kudeta ini gagal. Pasukan militer pro pemerintah dan masyarakat Turki berhasil melumpuhkan aksi kudeta.
Akibat insiden ini, Perdana Menteri Binali Yildrim mengatakan sebanyak 120 orang telah ditangkap atas upaya penggulingan kekuasaan ini.
Varian Kudeta Turki
Kudeta bukanlah hal baru dalam perpolitikan Turki. Tercatat, tahun 1960 adalah kali pertama kudeta terjadi selama masa ketegangan antara pemerintah dan oposisi. Perdana Menteri Adnan Menderes dan Presiden Celal Bayar, kala itu,melonggarkan beberapa peraturan yang sebelumnya mengekang ajaran Islam sebagaimana warisan Ataturk. Kebijakan Menderes dan Bayar memungkinkan ribuan masjid untuk kembali dibuka, adzan kembali dilakukan dengan bahasa Arab (bukan Turki), dan memperpendek program wajib militer.
Keputusan kedua pemimpin itu membuat marah kelompok sekuler yang sangat kuat di Turki. Menderes melawannya dengan menekan lawan-lawan politik dan membatasi ruang gerak pers. Namun, ada satu kekuatan vital yang tidak berhasil dikontrol Menderes, yaitu militer. Bersama rakyatlah, militer akhirnya berhasil menggulinkan Menderes hingga dijatuhi kemudian dihukum mati.
Kudeta kemudian kembali terjadi di Turki tahun 1971. Kali ini pemicunya adalah stagnasi eknomi yang terjadi sejak akhir tahun 1960-an. Akibatnya, kerusuhan oleh kelompok pekerja terjadi di mana-mana. PM Sulayman GündoğduDemirel dinilai gagal menangani krisis ekonomi hinga mata uang Turki terdevaluasi pada tahun 1960-an yang menyebabkan inflasi hampir mencapai 80%.
Sama dengan kasus Menderes, korps militer akhirnya lagi-lagi turun tangan untuk “memulihkan ketertiban.” Demirel dituduh menjalankan pemerintahan secara anarkis dan didesak menjalankan pemerintah sesuai pandangan-pandangan Attaturk. Buntut dari konflik ini membuat Demirel mengundurkan diri tak lama setelah bertemu para kabinet.
Ketidakstabilan berlanjut setelah kudeta 1971 karena kondisi Turki pasca kudeta juga tidak membaik. Bahkan negara dengan simbol bulan sabit dan bintang itu sampai mengubah perdana menteri 11 kali pada 1970-an. Namun kondisi Turki tidak mengalami perbaikan. Perekonomian terus stagnan, dan kelompok-kelompok kiri dan sayap kanan bentrok di jalan-jalan. Ribuan orang dibunuh. Hingga kembali terjadi kudeta tahun 1980 yang kembali mendongkel kekuasaan Demirel.
Kudeta teranyar terjadi pada pemerintahan PM Necmettin Erbakan. Pemilu pada tahun 1995 menjadi kebangkitan kekuatan politik Islam di Turki yang ditandai oleh kemenangan Partai Refah.
Selama menjabat perdana menteri, Erbakan memiliki program peningkatan kesejahteraan bagi rakyatnya. Untuk itu dia menjalin kerjasama dengan negara-negara Arab dan negara tetangga dekatnya. Tidak senang dengan kemajuan kelompok Islam yang menguasai pemerintahan, kelompok sekuler yang didukung militer berusaha mendongkel Erbakan dan kawan-kawan.
Tahun 1997, militer memaksa mundur dari kursi perdana menteri, yang kemudian dikenal sebagai peristiwa “kudeta post-modern”. Pengadilan menetapkan Partai Refah sebagai partai terlarang dan memberikan sanksi pada Erbakan untuk menjauh dari dunia politik selama lima tahun.
Di Balik Kudeta Atas Erdogan
Apa yang dialami para pendahulunya, sebenarnya memiliki irisan atas upaya kudeta terhadap Erdogan. Yang membedakan Menderes dengan Erdogan, adalah keberhasilan Erdogan menguasai militer. Erdogan adalah politisi ulung yang telah belajar dari kudeta 1960, 1970, 1980, dan 1997.
Ia dengan cepat melakukan sejumlah pergantian pejabat tinggi militer baik untuk membersihkan pejabatan tidak loyal dan juga untuk menjaga stabilitas militer. Langkah ini kembali ditekankan Erdogan dalam konferensi pers yang menyebut kudeta tersebut hanya dilakukan kelompok minoritas di militer yang ingin memecahkan integeritas persatuan Turki.
Erdogan juga berjanji akan membersihkan militer Turki. Bahkan dirinya dikabarkan akan membersihkan beberapa anggota militer yang terlibat langsung dalam kudeta tersebut.
Galip Dalay, peneliti senior masalah Turki, menduga salah satu faktor yang memotivasi prajurit terlibat untuk melakukan tindakan kudeta adalah pertemuan Dewan Agung Militer pada tanggal 1 Agustus, 2016. Pertemuan ini mengarah kepada reshuffle besar-besaran di tingkat eselon yang lebih tinggi. Sebuah pembersihan yang sejak lama diantisipasi pejabat militer anti Erdogan.
Selain itu, ada sejumlah laporan bahwa pengadilan akan meluncurkan investigasi kepada sejumlah sayap militer anti Erdogan. Hal inilah yang mungkin membuat mereka membuat keputusan tergesa-gesa (dan tentu tidak siap) untuk melakukan kudeta.
Bahkan sekarang sangat mungkin pemerintah akan melakukan pembersihan besar-besaran untuk memutus jaringan militer kontra Erdogan. Apalagi segmen masyarakat luas dan para politis mendukung langkah itu.
Ujian Politik Erdogan
Tentu dengan serentetan bom di Turki, ditambah percobaan kudeta prajurit militer, akan menjadi ujian politik bagi Erdogan. Ia sedang diuji apakah mampu keluar dari tekanan. Banyak analisa mengatakan, salah satu kegagalan kudeta kemarin adalah masih kuatnya perekonomian Turki.
Di saat Uni Eropa terpuruk dalam krisis hutang, ekonomi Turki mengalami booming. Menurut data World Bank, Turki adalah salah satu mitra berpenghasilan menengah atas terbesar dari kelompok Bank Dunia (WBG).
Dengan Produk Domestik Bruto (PDB) $ 799.540.000.000, Turki adalah negara ekonomi terbesar ke-17 di dunia. Dalam waktu kurang dari satu dekade, pendapatan per kapita di negara itu telah hampir tiga kali lipat dan sekarang melebihi $ 10, 500.
Namun demikian, Erdogan harus tetap menyalakan alarm tidurnya, karena upaya kudeta akan memengaruhi kondisi ekonomi Turki. Ditambah serentatan aksi bom yang menyasar bandara internasional jelas bertujuan memperlemah ekonomi Turki.
Apa yang disampaikan Erdogan pasca kudeta menunjukkan kualitasnya sebagai negarawan Turki yang diterima banya pihak. Marwan Bishara, analis politik senior Aljazeera yang juga pengajar hubungan internasional di EHESS, Paris, menyebut konpers Erdogan adalah momentum untuk menunjukkan kepada masyarakat bahwa ia bukan hanya pemimpin salah satu faksi politik di Turki, tapi juga pemimpin semua bangsa Turki.*
Penulis peminat masalah politik internasional dan Timur Tengah