Hidayatullah.com | HARI ini 40 tahun silam, pada 20 Agustus 1980, Dewan Kemananan Perserikatan Bangsa-bangsa (DK PBB) mengeluarkan resolusi DK PBB 478. Resolusi ini adalah resolusi kedelapan dari resolusi DK PBB dengan tema yang sama; menuntut pelanggaran ‘Israel’.
Sebelumnya ada 7 resolusi telah dikeluarkan, yang pertama adalah resolusi 242 tahun 1967. Resolusi ini menuntut ‘Israel’ untuk menarik militernya dari wilayah yang diduduki dalam perang 1967.
Itu bukan lah babak baru dalam sejarah resolusi DK PB yang menuntut pelanggaran ‘Israel’. Setelah resolusi 478, DK PBB juga telah mengeluarkan 7 resolusi. ‘Israel’ secara mencolok telah berulangkali tidak mematuhi keputusan resolusi ini sebagai hukum internasional.
Ada lusinan resolusi Dewan Keamanan PBB yang menegur dan menuntut ‘Israel’ atas pelanggarannya terhadap warga Palestina. Namun ‘Israel’ terus melanggaranya, tapi DK PBB tidak mampu meminta pertanggungjawaban atas kegagalan pelaksanaan resolusinya. Dalam kasus yang sama, PBB bisa bertindak lebih tegas terhadap negara lain.
Dalam resolusi 478 ini secara khusus DK PBB mencatat ketidakpatuhan pemerintah Zionis ‘Israel’ terhadap resolusi DK PBB 476 dan mengutuk Undang-undang ‘Israel’ tahun 1980 yang menyatakan Yerusalem atau Baitul Maqdis sebagai ibu kota ‘israel’.
Resolusi 478 DK PBB menegaskan tidak akan mengakui Undang-undang ‘Isreal’ tahun 1980 dan menyerukan kepada negara-negara anggota untuk menerima keputusan DK PBB. Resolusi ini disahkan dengan 14 suara dan tidak ada yang menentang. Hanya Amerika Serikat yang menyatakan abstain.
Resolusi 478 menegaskan bahwa pencaplokan wilayah dengan kekerasan tidak dapat diterima. Resolusi menyatakan prihatin atas diberlakukannya “hukum dasar” di Knesset atau parlemen ‘Israel’ yang menyatakan perubahan karakter dan status Kota Suci Yerusalem. Hal ini menurut PBB dapat berimplikasi pada perdamaian dan keamanan.
Sejak pembentukan pemerintah Zionis dari permpasan tanah Palestina pada tahun 1948, PBB sudah mengeluarkan banyak resolusi untuk menuntut pelanggaran ‘Israel’ seperti tuntutan atas pembantaian dan pengusiran kepada warga Palestina dalam peristiwa Nakba tahun 1948.
Membalikkan Resolusi PBB
‘Israel’ memang lolos dari semua jerat hukum Internasional tapi entitas Zionis ini tidak bisa lepas dari bayang-bayangnya. Oleh karena itu “Kesepakatan Abad ini” yang dimotori oleh Presiden AS Donald Trump pada awal tahun ini diperlukan untuk membalikkan resolusi-resolusi tersebut dengan melegitimasi tindakan illegal ‘Israel’.
Walau ‘Israel’ sering mengabaikan hukum internasional, tapi di sisi yang lain ‘Israel’ butuh kekuatan hukum internasional terutama untuk mendapatkan pengakuan dan sebagai alat untuk menggebuk Palestina sendiri.
Nantinya lewat “Kesepakatan Abad ini” semua pelanggaran ‘Israel’ akan dilegalkan. Termasuk melegitimasi pencaplokan ‘Israel’ atas tanah Palestina yang diduduki dan menetapkan Yerusalem sebagai ibu kota ‘Israel’.
Proyek “Kesepakatan abad ini” atau ambisi ‘Israel’ untuk merampok semua tanah Palestina berkedok perdamaian ini didukung oleh banyak negara-negara Arab. Sponsor utamanya adalah Uni Emirat Arab yang dipimpin oleh pemimpin de facto Putra Mahkota Mohamad bin Zayed. Perjalanan proyek ambisi penjajahan ‘Israel’ ini tentu ada hubungannya dengan kesepakatan normalisasi hubungan diplomatik UEA-Zionis.
Sehingga narasi-narasi UEA melakukan normalisasi untuk menghentikan pencaplokan ‘Israel’ atas tanah Palestina di Yerusalem adalah tidak benar. Malah, normalisasi UEA-Zionis adalah bentuk pengukuhan dan konsolidasi dalam penjajahan Palestina.
Menjadi Momentum Baru
Perjalanan panjang dari resolusi 478 DK PBB 40 tahun lalu hingga “Kesepakatan Abad Ini” dan normalisasi hubungan UEA-Zionis hari ini bisa saja menjadi awal lenyapnya “Israel” atau minimal menyalakan kembali gerakan intifadha baru di Palestina dan Dunia Islam.
Perjalanan mungkin masih panjang. Tapi dalam waktu dekat mungkin akan ada sedikit perubahan.
Sebelumnya, perjuangan Palestina berjalan parsial. Kepemimpinan Palestina banyak berjalan sendiri-sendiri. Berbagai kesepakatan jahat atas Palestina yang semakin terang-terangan dapat menyatukan perlawanan rakyat Palestina.
Proses negosiasi yang dipayungi oleh organisasi dan hukum internasional sudah tidak dapat diandalkan. Ini bisa dilihat dari respon terhadap “Kesepekatan abad Ini” dan normalisasi hubungan diplomatik UEA-Zionis.
Para pemimpin Palestina, dari Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas dari Fatah sekuler yang dianggap moderat oleh ‘Israel’ hingga pemimpin Hamas Kepala Biro Politik Ismail Haniyeh yang gigih melawan penjajahan, mereka hanya memiliki satu kata; Lawan!.* Rofi Munawwar