Dalam khazanah Islam, politik (siyasah) dimaknai oleh beberapa ulama sebagai pengaturan urusan ummat, dalam politik Islam tak mengenal ‘etika ndasmu’
Oleh: Ali Mustofa Akbar
Hidayatullah.com |”NDASMU etik” demikian salah satu pernyataan politik yang tengah naik daun di beberapa hari terakhir karena dipicu oleh pernyataan salah satu Capres peserta Pemilu 2024.
Beberapa hari ini masyarakat tengah ramai membahas pernyataan Calon Presiden (Capres) nomor urut 2 Prabowo Subianto. Di acara internal Partai Gerindra, menteri pertahanan itu mengucapkan “ndasmu etik” menyindir Capres Anies R Baswedan dengan cara tidak etis.
‘Ndasmu etik’ diduga menyangkut pertanyaan Anies dalam debat pertama soal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dinyatakan Majelis Kehormatan MK (MKMK) melanggar etik. Putusan MK tersebut terkait batas usia cawapres yang dianggap menguntungkan pasangan Prabowo yaitu Gibran Rakabuming Raka.
“Bagaimana perasaan Mas Prabowo? Soal etik, etik, etik. Ndasmu etik,” kata Prabowo dalam video yang viral tersebut dikutip pada Ahad (17/12/2023).
***
Pernyataan politik tersebut berasal dari bahasa Jawa jika diterjemahkan secara terpisah; ndas (kepala) mu (kamu) etik (etika). Walhasil tanggapan pun muncul dari berbagai belah pihak, sebagian publik menilai pernyataan tersebut dianggap negatif disampaikan oleh seorang Capres.
Sementara dari kubur Capres terkait memberikan pembelaan, sebagai bentuk sebuah candaan belaka.
Syahdan, terlepas dari pembahasan khusus tentang ucapan kontroversial “ndasmu” ini, sebagai muslim, perihal etika merupakan sesuatu yang penting. Pun dalam kehidupan berpolitik.
Karena bagi sebagai mukallaf kita terikat dengan aturan-aturan-Nya. Sebagai konsekuensi kebaikan atau keburukan manusia di dunia dan akhirat.
Islam tidak sama dengan pandangan hidup sekulerisme yang memisahkan agama dengan kehidupan publik. Karena Islam sudah sempurna mengatur segala aspek kehidupan termasuk dalam bidang politik.
Kata Andrew Heywood politics is power (politik adalah kekuasaan) atau all politics is about power (segala hal yang terjadi dalam politik adalah tentang kekuasan). Begitu pula Harold Lasswell’s, dalam bukunya “Politics: Who Gets What, When, How”, siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana caranya (mendapat kekuasaan).
Dengan kata lain, politik adalah siapa yang mendapatkan kekuasaan, kapan kekuasan itu didapat, dan bagaimana caranya untuk memperoleh kekuasaan.
Demikian halnya dengan semakin dekatnya ajang pemilu 2024, konstelasi politik negri ini semakin hangat. Ketiga pasangan calon (paslonI berlomba menuju tampuk kekuasan tertinggi.
Pertanyaannya, bisakah dalam politik sekulerisme bisa menampilkan etika berpolitik yang baik dalam kacamata syariah Islam. Karena bukan menjadi rahasia lagi, praktik-praktik nir-etika sering dijumpai.
Seperti halnya money politik, kecurangan, korupsi, hingga mencampakkan hukum-hukum Allah Swt. Sikap pragmatisme (menghalalkan segala cara dalam meraih tujuan) menjadi hal yang lumrah untuk menjadi “Pusat”. Maka agar kita bisa lebih beretika dalam berpolitik alangkah baiknya kita cermati beberapa hal dibawah ini.
Etika dalam Islam
Secara bahasa, etika merupakan sinonim dari kata adab ataupun akhlak. Sebagian ulama menjelaskan makna adab adalah:
الأدب اجتماع خصال الخير في العبد
“Adab adalah kumpulan kebiasaan baik seorang hamba”.
Adapun adab dibagi menjadi tiga bagian utama:
الأدب أنواع ثلاثة أعظمها : الأدب مع الله تعالى ، ثم الأدب مع رسوله صلى الله عليه وسلم وشرعه ، ثم مع الخلق .
Pertama, adab kepada Allah Swt. Kedua, adab kepada Rasulullah ﷺ dan syariat yang dibawanya. Ketiga, Adab kepada sesama makhluk.
Dari ketiga bagian tersebut yang menjadi pangkal atau kepala adalah adab kepada Allah Swt. Syaikh Abdurrahman Bin Shahim berkata dalam Madzahir Al-Adabi Ma’a Allah:
الأدب مع الله تعالى يقتضي توحيدَ الله وتعظيمه، وطاعة أوامره ونواهيه، والحياء منه، وهذا يشمل القلب واللسان والجوارح
الأدبُ مع اللهِ أنْ لا ترضى بِحُكْمٍ غيرِ حُكمِه تبارك وتعالى. الأدبُ مع اللهِ أن لا تُقَدِّمَ طاعةَ أحدٍ على طاعةِ اللهِ عَزّ وَجَلّ. الأدبُ مع اللهِ أن تأتَمِرَ بأمْرِ الله سبحانه، وتَنْتَهيَ بِنَهْيِ الله عَزّ وَجَلّ
“Adab kepada Allah ialah mentauhidkan Allah, mengagungkan-Nya, mentaatinya dalam perintah dan larangannya, malu kepada-Nya, hal itu mencakup qolbu, lisan dan anggota badan. Beradab kepada Allah itu tidak ridho apabila diatur dengan hukum selain hukum Allah Tabaraka Wata’ala. Tidak mendahulukan ketaatan kepada seseorang diatas ketaatan kepada Allah ‘Azza Wajalla. Memerintah dengan perintah Allah dan melarang dengan larangan Allah.”
Lebih rinci dalam Minhajul Muslim, Syaikh Abu Bakr Jazairi rahimahullah menjelaskan bahwa terdapat hal penting adab terhadap Allah Swt di antaranya tunduk, patuh, tawakkal, takut, syukur pada Allah, ridho ketetapan Allah, ittiba’ kepada Nabiyullah ﷺ.
Jika diaplikasikan dalam dunia politik sudahkan kita tunduk, patuh, takut, kepada Allah ketimbang kepada oligarki misalnya. Apakah hati ini minimal tidak ridho diatur dengan hukum selain hukum Allah.
Apakah sudah ittiba’ kepada Nabi ﷺ dalam berpolitik, atau justru ittiba’ kepada Plato, Socrates, Machiaviali, misalnya.
Dalam khazanah Islam, politik (siyasah) dimaknai oleh beberapa ulama sebagai pengaturan urusan ummat. Dalam Mu’jam Lughatil Fuqaha’ disebutkan bahwa kata siyasah bermakna: mengatur urusan ummat dalam negri maupun luar negeri dengan syariat Islam.
Maka politik tak boleh dipisahkan dari Islam. Karena kalau politik tanpa memakai aturan Islam niscaya menjadi politik kotor dan tidak memberikan kemaslahatan ummat.
Dalam politik Islam, kekuasaan juga bukanlah tujuan tapi sebagai wasilah untuk bisa lebih taat kepada Allah dengan merapkan syariah-Nya, menyebarkan dakwah Islam, memberikan kemanfaatan kepada ummat, dan seterusnya.
Karena itu menghadapi ajang politik lima tahunan, baik itu kita sebagai politisi maupun simpatisan, alangkah baiknya kita perhatikan etika berpolitik dalam Islam untuk kebaikan kita maupun negeri ini. Wallahu A’lam.*
Pemerhari Politik