Oleh: Ilham Kadir, M.A.
sambungan tulisan sebelumnya..
Rute Islamisasi
Selain tahun, jalur atau rute islamisasi Nusantara juga menjadi bagian penelitian yang melahirkan perdebatan, penulis mencoba memaparkan teori islamisasi yang dimunculkan oleh para peneliti. Teori Gujarat: Islam dibawa masuk ke Nusantara oleh saudagar-saudagar dari Gujarat, India. Jadi orang-orang Islam yang menyebarkan agamanya di Indonesia tidak langsung datang dari negeri Arab, sebab unsur-unsur keislaman di Indonesia yang mirip dengan India, seperti cerita-cerita rakyat dalam bahasa-bahasa yang ada di Nusantara tidak ada di Arab namun berasal dari India.
Dikatakan pula bahwa kebiasaan Muslim di Indonesia menunjukkan beberapa kesamaan dengan kebiasan penganut Syiah di Pantai Malabar dan Karomandel.
Selain itu, berdasarkan kisah perjalanan seorang pelaut bernama Sulayman tahun 851 M serta catatan Marco Polo dan Ibnu Batutah yang transit di Sumatra pada abad ke-14 Masehi. Maka disimpulkanlah jika kedatangan Islam pasti melalui jalur perdagangan dari Teluk Persia ke Pantai Barat India, lalu dari Gujarat dan Malabar masuk ke Nusantara.
Pendapat ini dipegang oleh Hurgronje, dan diterima luas oleh sejarawan seperti R.A. Kern, Stapel, H.J.Van den Bergh, H. Kroeskamp, hingga Rosihan Anwar, (Rosihan Anwar, Sejarah Kecil ‘petite histoire’ Indonesia, 2009).
Pendapat di atas seakan telah menjadi kesepakatan umum hingga akhirnya seorang orientalis bernama G.E. Morrison menunjukkan kekeliruan dan beberapa kejanggalan faktual.
Menurut Morrison, tidak mungkin Islam di Nusantara berasal dari propinsi Gujarat, sebab Marco Polo menceritakan Cambay pada tahun 1293 sebagai kota Hindu, sementara Gujarat baru jatuh ke tangan Islam pada tahun 1297 M. Selain itu di Gujarat mazhab syafi’i tidak dominan dan cerita-cerita rakyat Aceh lebih diwarnai rasa Tamil daripada Hindi, (Armando Cortesao [Ed.], The Suma Oriental of Tome Pires, 1990).
Teori Persia
Bahwa Islam di Nusantara dibawa masuk oleh para pendatang dari Persia dengan dalih dan dalil banyaknya data-data sejarah yang kuat mengenai pelayaran orang-orang Persia ke India via Nusantara ke China bahkan sejak zaman pra-Islam, (Hadi Hasan, A History of Persian Navigation, 1928). Pemberita China, Yuan-Tchao, dalam Tcheng-yuan-sin-ting-che-kiao-mou-lou yang ditulisnya pada awal bada ke-9 mencatat bahwa pada tahun 99 H/717 M ada sekitar 35 kapal dari Persia tiba di Palembang.
Selain itu, data linguistik juga menguatkan dugaan bahwa penyebaran Islam datang dari rute Persia, tidak sedikit kata dalam bahasa Melayu-Indonesia yang berasal dari bahasa Persia, seperti, ‘bandar’, ‘syah’, ‘pasar’, ‘penjara’, ‘gandum’, dst., (Ahmad Kazem Mossavi, Kehadiran Tasawuf-Persia dalam Literatur Nusantara [Malaysia-Indonesia], Jurnal Islamia, Vol. II. No. 3/Desember 2005). Bahkan istilah “Zibrad” dalam bahasa Persia bermakna “Negeri di Bawah Angin” alias “Toddang Anging” dalam bahasa Bugis, merupakan frasa navigasi yang dipakai pelaut dari teluk Persia menuju Benggala, dan kepulauan Nusantara. Hasil penelitian ini di kemukakan oleh G.E. Morrison. Namun masih kabur, apakah Islam yang datang ke Nusantara melalui Persia itu versi Syiah atau Sunni. Dijawab oleh Al-Attas bahwa ajaran Syiah di Persia baru mulai berkembang abad ke-17 M ketika Syah Ismail Safawi memerintah Iran bukan sebelumnya, (Wan Daud, Budaya Ilmu, Satu Penjelasan, 2007).
Tegasnya, jika memang Islam melewati rute Persia, maka dipastikan kalau penganut Ahlus Sunnah yang menjadi penyebarnya, bukan Syiah.
Tesis Al-attas sekaligus membuyarkan dugaan spekulatif Jalaluddin Rakhmat bahwa Syiah sedari awal telah berada di Nusantara, dan mereduksi dongeng orang awam bahwa Islam Indonesia pada awalnya adalah Syiah minus imamah.
Teori Benggala
Islam masuk ke Nusantara melalui rute Benggala, pendapat ini dimunculkan oleh S. Qadarullah Fatimi yang berdasar pada laporan Tome Pires (1512-1515), berita-berita China, serta unsur tasawuf yang terdapat di Indonesia dan Malaysia. Menurut Fatimi, pendiri kerajaan Islam pertama di Aceh adalah Merah Silau yang berasal dari Benggala. Kesimpulan ini diambilnya dari catatan perjalanan Tome Pires yang mengabarkan bahwa raja-raja di Sumatra pada waktu itu telah beragama Islam. Petunjuk lainnya adalah, kebiasaan orang Nusantara memakai kain “sarung” yang dikatakan sama dengan kebiasaan orang Benggala. (S.Qadarullah Fatimi, Islam Comes to Malaysia, 1963).
Teori Mesir
Karena Islam yang diamalkan di Nusantara bercorak Sunni-Syafi’i, maka ada kemungkinan asalnya dari negeri Mesir, karena negeri inilah yang terbanyak pengikut Syafi’i-nya, dan di sana pula Imam Syafi’i (w.204 H) tutup usia. Pendapat ini dilontarkan oleh S. Keyzer, profesor hukum ketimuran dari Belanda. Tapi Keyser langsung dibantah oleh G.W.J Drewes yang menuding bahwa Keyser tidak tahu jika orang Arab yang datang ke Nusantara mayoritas dari Hadramaut, Yamman, dimana mazhab mereka adalah Syafi’i, andai dia tahu, niscaya akan berpendapat bahwa Islam datang ke Nusantara via Yamman, (G.W.J Drewes, New Light on the Coming of Islam to Indonesia, 1985).
Teori China
Islam datang ke Nusantara melalui Muslim dari China. Sesuai dengan penuturan I-Tsing, seorang agamawan dan pengembara terkenal China yang pada tahun 51 H/671 M, dengan menumpang sebuah kapal milik orang Islam dari Kanton, singgah di pelabuhan muara sungai Bhoga atau Sriboga alias Sribuza, nama lain dari sungai Musi di Palembang yang menjadi pusat kerajaan Sriwijaya ketika itu. Pendapat ini dilontarkan oleh Slamet Muljana seorang pakar sejarah dan ahli filologi dari Universitas Indonesia, menurutnya Islam di Nusantara datang, bukan hanya menopoli dari wliayah India dan Timur Tengah tapi juga dari negeri China, tepatnya propinsi Yunan. Kedatangan Cheng Ho alias Zheng He alias H. Mahmud Syamsuddin (w.1433) dari Dinasti Ming dengan maksud mengamankan jalur lalu lintas laut dari China ke India, Arabia dan Afrika di samping mengadakan hubungan diplomatik pada kerajaan-kerajaan Nusantara sebagai bukti yang absah, (Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara, 2005).
Tapi pendapat Muljana di atas dipertanyakan oleh Dr Syamsuddin Arif karena sumber pendapatnya diambil dari buku sejarah yang tidak resmi seperti “Babad Tanah Jawa” dan “Serat Kenda” yang ditulis pada zaman kerajaan Mataram abad ke-17 yang perlu dipertanyakan keotentikannya karena kitab tersebut bercampur baur antara fiksi dan fakta serta tidak ditopang dengan bukti-bukti keras semacan prasasti. Hal ini juga dibantah oleh sejarahwan Prof Ahmad Mansur Suryanegara, dari Universitas Padjadjaran Bandung, menurutnya, kesimpulan Muljana sukar diterima, (Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, 2009).
Teori Arabia
Diyakini bahwa tersebarnya agama Islam di Nusantara berkat usaha para mubalig dari jazirah Arabia secara sistematis dan kontinuitas. Meski tidak dapat dipastikan waktunya, kapan pertama kali mereka datang berdakwah.
Namun banyaknya informasi tentang hubungan sudah berjalin selama berabad-abad antara jazirah Arabia dan Nusantara semenjak pra-Islam menjadikan pendapat ini lebih valid. Dokumen-dokumen kerajaan China Dinasti T’ang (618-907) menyebut tentang kunjungan orang Arab pada zaman Khalifah Utsman bin Affan. Dan tak kala muncul kerajaan Sriwijaya di Sumatra, perairan Nusantara semakin kerap dilalui oleh kapal-kapal dagang dari Arabia dan Persia dalam pelayarannya via India ke China. Teori ini diamini oleh Sir John Crawfurd, Thomas Arnold, dan Al-Attas.
Alasannya, karena orang Arab yang pertama kali mengajarkan Islam ke Nusantara pastilah bermaszhab Syafi’i yang berada pada kawasan pesisir Arabia tempat mereka mengangkat sauh. Dan memang iya, buktinya penganut Islam yang ada di Nusantara adalah umumnya bermazhab Syafi’i. Teori Arabia ini mengantarkan kita pada kesimpulan di bawah.
Kesimpulan
Seminar Historiografi Islam Indonesia yang diselenggarakan oleh Puslitbang Kementrian Agama RI pada 10-12 Desember 2007 di Cisarua Bogor dan dihadiri oleh para ahli disiplin ilmu terkait, termasuk Azyumardi Azra, Badri Yatim, Maidir Harun, Ahmad Mansur Suryanegara, dan para wakil dari sejumlah perguruan tinggi dan ormas Islam, serta para peneliti. Ditegaskan bahwa agama Islam masuk ke Nusantara sejak abad ke-7 Masehi atau pertama Hijriah, langsung dibawa oleh para ahli agama dari Arabia (Yaman) yang datang ke gugusan pulau-pulau di semenanjung Melayu, seperti Sumatra.
Agama Islam sendiri secara resmi masuk ke Yaman melalui seorang sahabat yang diutus langsung oleh Nabi, Mu’az bin Jabal yang sekaligus menjadi gubenur di sana pada tahun 630 M. Bersama para saudagar dari sana pula ulama muablig itu berlayar ke China menelusuri kawasan Asia Selatan (India, Benggala) sampai ke Sumatra.
Pelayaran mereka sangat bergantung pada angin Barat Laut yang bertiup pada bulan September dan akhir Desember, sehingga mereka harus menunggu dan singgah terlebih dahulu di kawasan Sumatra dan Malaya selama beberapa bulan, sebelum meneruskan pelayaran ke tempat tujuan. Sebagian mereka sengaja datang dan menetap hanya untuk berdakwah. Inilah fakta islamisasi Nusantara sesungguhnya yang ingin dikaburkan oleh para orientalis dan penganut ajaran sesat Syiah. Wallahu A’lam!
Penulis adalah pecinta Sejarah dan Peneliti LPPI Indonesia Timur