oleh: Qosim Nursheha Dzulhadi
MENJELANG Pilpres pada 9 Juli 2014 lalu situasi politik semakin panas. Di sana-sini akhirnya terjadi keberpihakan. Namun tentu saja ini sesuatu yang lumrah dalam mengamalkan demokrasi. Yang tidak lumrah ketika ada media yang melakukan kampanye hitam di masa tenang menjelang Pilpres ini.
Banyak media di era Pemilu 2014 jelas-jelas tidak netral, bahkan memihak secara terang-terangan. Majalah Tempo adalah satu diantara media cetak yang termasuk ikut “black campaign” ini. Sebagai majalah yang jelas membela pasanga Capres dan Cawapres Jokowi-JK, Tempo termasuk terus-menerus melakukan serangan terhadap pribadi Prabowo. Dalam edisi 7-13 Juli 2014, Tempo menerbitkan isi majalah yang sangat sarkastik.
Di cover depan dimuat beberapa gambar yang berbau politis: amplop (gambaran money politic), helm tentara, tengkorak, sepatu laras milik tentara, dan pisau belati. Di bagian atas sebelah kiri ditulis komentar jurnalis asal Amerika, Allan Nairn: “Ia akan jadi Presiden berbahaya.” Dan di tengah cover ditulis: Teror di Detik Terakhir. Lalu ditulis dengan judul kecil hal-hal ini: politik uang, intimidasi, pengerahan aparat, dan kampanye hitam.
Masalah Allan Nairn
Sejatinya, tidak patut sebagai jurnalis asing Allan Nairn tidak patut ikut-campur mengobok-ngobok jalannya demokrasi di Indonesia. Apalagi sampai menyamapaikan hal-hal yang sifatnya tidak etis. Konon lagi – jika ini benar – dia telah berjanji kepada Prabowo bahwa wawancaranya akan dimasukkan ke dalam kotak off the record. Tapi nyatanya dilanggar. Kalau mmu membuka tentunya bukan hanya ketika Prabowo maju sebagai Capres. Ini jelas dapat ditegaskan sebagai upaya merusak demokrasi dalam negeri Indonesia.
Komentar Allan Nairn bahwa Prabowo akan jadi Presiden berbahaya adalah pandangan yang sangat-sangat subjektif dan tak berdasar. Jelas ini adalah khayalan dari seorang jurnalis Paman Sam yang khawatir jika Islam bangkit.
Ketika ditanya Tempo, “Kalau harus memilih di antara tiga orang itu, Wiranto, AM Hendropriyono, dan Prabowo, siapa yang paling jahat menurut Anda?” Allan menjawab, “Semuanya jahat. Tapi, menurut saya, Prabowo paling jahat.”
Wow, pandangan gila Allan ini jelas-jelas membunuh karakter seorang Prabowo. Tapi oleh Tempo sepertinya ini makanan empuk, toh yang didukungnya adalah Jokowi.

Ada Apa dengan Islam?
Sejak kasus Wimar, Romo Franz Magnis Suseno, dan terakhir karikatur yang menghina Islam di The Jakarta Post (3 Juli 2014), gelombang islamophobia (takut terhadap Islam) makin terasa.
Mulai banyak yang khawatir jika Islam kemudian leading di negara yang mayoritas Muslim ini. Padahal ini wajar. Toh di negara yang mayoritas Kristen dan agama lainnya, mereka yang leading. Tapi, untuk Islam, memang selalu ada pengecualian. Seolah-olah agama apapun boleh leading, asal jangan Islam.
Umat Islam memang harus segera siuman, lalu sadar dan bangkit. Jangan tertidur terlalu lama. Sudah sering, di negeri ini, umat Islam menjadi kambing-hitam dan bulan-bulanan pihak-pihak yang membencinya. Termasuk pihak asing. Lebih parah lagi, orang dalam malah menyewa orang asing untuk mengobok-obok rumah-tangganya sendiri.
Kasus Tempo dan The Jakarta Post serta Romo Magnis hanya segelintir kasus. Betapa di negeri ini masih banyak yang belum tahu bahwa Islam adalah rahmatan li al-alamin (Qs. 21: 107).
Allah sudah tegaskan bahwa Islam adalah agama yang benar di sisi-Nya (Qs. 3: 19). Oleh karena itu, siapa saja beragama selain Islam, maka agamanya ditolak dan dia akan menjadi kelompok merugi di akhirat (Qs. 3: 85). Semoga kita sadar bahwa sesungguhnya para pembenci Islam tidak pernah tidur. Wallahu a’lam bi al-shawab. *
Penulis adalah guru di Pesantren Ar-Raudhatul Hasanah, Medan-Sumatera Utara. Penulis buku “Membongkar Kedok Liberalisme di Indonesia”