Oleh: Abu Fikri
PASCA penangkapan jaringan teroris di kawasan Hotel Inna Garuda Malioboro Yogyakarta, Jumat tengah malam, 9 Agustus 2013, pada Iedul Fithri 1434 H, kita disentakkan lagi oleh bentrok antar kelompok massa di Paciran, Lamongan.
Sampai dengan detik ini media masih santer memberitakan bahwa bentrok itu antara FPI dengan Warga. Meski sudah ada pernyataan tegas baik dari FPI DPD Jatim, DPP FPI dan Kapolda Jatim Unggung Cahyono bahwa bentrok massa tersebut tidak terkait dengan FPI dan isu sara. Pihak FPI menyatakan bahwa FPI Lamongan sudah dibekukan sejak 2 tahun yang lalu karena ada perbedaan visi perjuangan.
Gencarnya blow up opini media yang memaksa pelakunya harus FPI dibarengi juga oleh statement terbaru dari politisi F-Partai Golkar Bambang Soesatyo tentang terorisme pasca kejadian ekstra judicial killing di Tulungagung, bom Vihara Ekayana dan penangkapan terduga teroris yang disinyalir termasuk jaringan Sigit di Yogjakarta.
Bambang Soesatyo menegaskan bahwa serangkaian peristiwa berbau kejahatan terorisme sudah merongrong sistem keamanan dalam negeri yang terjadi menjelang akhir bulan Ramadhan tahun ini.
“Tidak hanya ledakan bom di Vihara Ekayana, tetapi saya juga melihat rangkaian kasus penembakan prajurit polisi serta serangan terhadap fasilitas Polri sebagai indikator tentang menguatnya ancaman terorisme di dalam negeri,” tuturnya.
Selain itu, kata dia, indikator lain yang tidak boleh diremehkan adalah kasus hilangnya 250 dinamit milik PT Multi Nitrotama Kimia (MNK) di Subang, serta pembobolan penjara Tanjung Gusta di Medan yang menyebabkan sejumlah narapidana teroris melarikan diri. “Tidak berlebihan untuk mengaitkan pembobolan penjara Tanjung Gusta dengan sinyalemen atau imbauan Organisasi Polisi Kriminal Internasional (ICPO) baru-baru ini,”imbuhnya. Sebab, ungkap dia, ICPO memperingatkan bahwa pembobolan penjara di sejumlah negara merupakan ancaman besar bagi keamanan global. Bahkan ICPO menduga jaringan al-Qaidah juga terlibat dalam penyerangan dan pembobolan sejumlah penjara di sembilan negara. Karena itu, menurut Bambang Soesatyo, ledakan bom berskala rendah di Vihara Ekayana, serta penembakan terhadap polisi dan serangan bom terhadap fasilitas Polri patut dilihat sebagai kecenderungan. “Sebuah kecenderungan yang menjelaskan dengan gamblang bahwa ancaman terorisme di dalam negeri masih ada dan sangat nyata,”pungkasnya.
Jika kita cermati secara jeli maka ada dua sasaran kelompok maupun dua sasaran tema opini yang terus menerus secara intens di blow up.
Pertama, kelompok ormas Islam yang menggunakan jalan “kekerasan” dalam hal ini direpresentasikan oleh FPI.
Kedua, kelompok-kelompok Islam yang menggunakan jalan “jihad” dalam hal ini direpresentasikan oleh para mujahidin. Sedang dari tinjauan tema opini maka FPI sebagai representasi “Ormas Kekerasan” yang bisa mungkin dijerat dengan UU Ormas. Dan kelompok-kelompok mujahidin yang bisa ditindak dengan UU Terorisme.
Ini menunjukkan ada upaya sistematis dan masif oleh negara yang dikendalikan sebagian pengambil kebijakan negeri ini baik yang memiliki kebencian terhadap Islam Kaffah maupun yang mau dibayar oleh kalangan Barat untuk memenuhi kepentingan tuannya.
Ironisnya gencar dan masifnya opini tersebut dilakukan justru pada menjelang akhir Romadlan dan awal Iedul Fithri 1434 H yang mubarok di tengah khidmatnya kaum Muslimin menunaikan ibadah.
Seperti sebuah upaya untuk memunculkan sentimen di kalangan kaum muslimin sendiri. Mungkin juga ada alasan bahwa masifnya opini media baik untuk konteks FPI maupun kalangan pendukung syariah itu sebagai implikasi dari aksi-aksi yang dilakukan oleh kedua kelompok tersebut.
Tetapi pernahkah ada upaya untuk memilah-memilih derasnya opini media itu benar-benar memaparkan fakta dan realita. Bukan sebaliknya, hanya sekedar menginterpretasi fakta dan realita untuk kepentingan menjaga kesinambungan opini media. Yakni sebagai upaya berkesinambungan untuk mendiskreditkan Islam melalui “black campaign” terhadap kelompok-kelompok Islam.
Memaksa harus FPI
Terbukti belakangan ditemukan fakta bahwa bentrok antar kelompok massa di Paciran Lamongan Jawa Timur menyisakan beberapa kejanggalan antara lain.
Pertama, hingga detik ini media masih begitu masif memblow up kasus bentrok dengan selalu mengaitkan Ormas FPI. Meski sudah ada klarifikasi resmi –baik oleh FPI DPP (DPD Jatim) maupun oleh Kapolda Jatim– bahwa kasus bentrok itu tidak berkaitan dengan FPI. Jadi memaksa media-media besar (yang katanya paling akurat dalam standar jurnalistik), memaksa diri pelakunya haruslah tertulis FPI?
Kedua, dengan diambil alihnya kasus bentrok ini oleh Polda Jatim. Secara opini media, maka artinya isu lokal ini akan meluas menjadi isu nasional dan tentu semuanya berkat jasa media untuk memblow up dan memperluas scope pemberitaannya.
Dan nampak bahwa pengawalan opini yang masif dilakukan secara berantai mulai dari “Kasus Kendal” sampai dengan “Kasus Paciran”. Sasaran targetnya juga sama dan jelas yakni FPI.
Ketiga, aparat keamanan di lapangan tidak mampu mencegah penyerangan kedua pasca penyerangan kelompok-kelompok preman terhadap para aktifis islam. Penyerangan kedua itu dilakukan terhadap rumah seorang juru azan masjid Manarul Islam pada selasa malam (13/8/2013) lalu. Padahal, situasi geografis lokasi insiden dipinggir jalan dan wilayah yang tidak terpencil. Seperti terkesan ada proses pembiaran.
Di sisi lain, berbeda treatment dengan kelompok yang dituduh terkait teroris. Berbagai rangkaian kasus terdekat misalnya mulai dari penembakan di Tulungagung, bom Vihara Ekayana dan terakhir penangkapan di Yogjakarta adalah rentetan kejadian untuk mengawal opini tentang terorisme.
Dan sasaran bidik opini media ini adalah untuk mendiskreditkan kelompok-kelompok ini yang dikenal pembela syariat Islam. Padahal rentetan peristiwa terkait terorisme itu bisa jadi dilakukan bukan oleh kelompok-kelompok yang dituduhkan selama ini. Tetapi oleh kelompok-kelompok baru yang muncul sebagai bentuk respons terhadap situasi dan kondisi carut marutnya kehidupan di dunia Islam di bawah kungkungan penjajahan AS bersama sekutu-sekutunya.
Ataukah memang merupakan peristiwa rekayasa operasi intelijen sebagai bentuk justifikasi atau pembenaran keberadaan terorisme?
Sasaran opini media terkait dengan terorisme ini semakin jelas memang ditujukan kepada kelompok-kelompok Islam, pembela syariat atau kelompok yang menggunakan jalan “jihad” sebagai manhaj perjuangan. Biasanya, metode yang dilakukan terhadap kelompok Islam ini adalah selain dengan melakukan pendekatan 4i (infiltrasi, radikalisasi, aksi dan stigmatisasi).
Juga melakukan aborsi dan distorsi terhadap istilah-istilah “jihad”. Dari pengertian syar’i sebagai “perang” menjadi pengertian bahasa sebagai “bersungguh sungguh” atau “islam rahmatan lil alamin”. Maksud yang terakhir mungkin, Islam yang baik, jika “diserang” dan ditembaki Amerika sebagaimana di Afghan atau Iraq sebaikanya tidak perlu membalas. Itulah “Islam rahmatan lil alamin” yang sering digembar-gemborkan.
Pisau bermata dua
Peristiwa bentrok kelompok massa (warga) di Paciran Lamongan Jawa Timur, gambaran tentang cara-cara sistematis-masif melalui gabungan rekayasa opini media dan rekayasa intelijen seperti “pisau bermata dua” untuk mendiskreditkan kelompok-kelompok Islam sekaligus pada akhirnya untuk mendiskreditkan Islam.
Masifnya berita nasional yang memaksa harus FPI pelakunya, diharapkan memunculkan gurita “Islamophobia” di dalam benak masyarakat Indonesia secara menyeluruh.
Karena itu penting direnungkan kembali apa yang disampaikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala di dalam al-Qur’anul Karim:
يُرِيدُونَ أَن يُطْفِؤُواْ نُورَ اللّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَيَأْبَى اللّهُ إِلاَّ أَن يُتِمَّ نُورَهُ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ
“Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahayanya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai.” (QS:At Taubah : 32).
Syeikh Muhammad Ali As Shaabuniy dalam tafsirnya Shafwatut Tafaasiir Juz I/494 mengatakan bahwa mereka, yakni orang-orang kafir dari kalangan orang-orang musyrik dan Ahli Kitab, menginginkan untuk memadamkan “cahaya Islam” dan syari’at Nabi Muhammad shallalahu ‘alaihi wa sallam. dengan mulut-mulut mereka yang hina. Dengan sekedar perdebatan yang mereka buat dan perkara-perkara yang mereka buat-buat. Padahal Islam adalah cahaya yang telah Allah subhanahu wa ta’ala ciptakan untuk makhluk-Nya sebagai penerang. Perumpamaan mereka bagaikan orang yang ingin memadamkan cahaya bulan dan matahari dengan tiupan mulut mereka. Tentu tidak akan kesampaian. Wallahu a’lam bis showab.*
Aktivis Gerakan Revivalis di Indonesia