Oleh: Kholili Hasib
TERLEPAS dari polemik dan kasus-kasus Pemilu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Selasa, 22 Juli 2014 secara resmi menetapkan pasangan capres-cawapres Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla sebagai pemenang.
Pengumuman dari KPU ini pasti akan mengecewakan sebagai pihak. Apalagi terkait santernya isu kecurangan. Belum lagi, kemenangan Jokowi bukanlah kemenangan mutlak. Kemenangan tipis. Jokowi-Kalla (53,15% atau 70.633.576 suara), Prabowo Subianto-Hatta Rajasa (46,85% atau 62.262.844 suara). Dengan demikian, separuh orang adalah kelompok yang kurang berkenan pada Jokowi, yang tentu tidak bisa dikecilkan artinya.
Bagaimanapun, bagi umat Islam, kemenangan Jokowi ini perlu diambil hikmahnya.
Pertama, urusan agama
Bagi para cendekiawan — khususnya ulama — siapapun presidennya, mereka wajib terus berjuang mewujudkan Indonesia yang bertakwa. Menyampaikan dakwah dengan hikmah, amar ma’ruf nahi munkar. Selalu mengingatkan penguasa agar taat kepada Allah Subhanahu Wata’ala.
Ketika pertama kali dirancang oleh para pendiri bangsa ini (founding fathers), karakter negara yang diinginkan adalah sebuah ‘Negara berketuhanan, berkeadilan dan bermartabat’.
Sila pertama Pancasila yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”, jelas menunukkan bahwa sila yang paling asas ini mengandung makna tauhid. Klausul negara berketuhanan atas dasar pemahaman tauhid ini tidak berlebihan. Sebab, kemerdekaan bangsa Indonesia dicapai berkat jasa besar para ulama, santri dan kaum Muslimin, berperang melawan penjajah.
Mendiang Jendral Abdul Haris Nasution dalam sebuah pidato peringatan 18 Tahun Piagam Jakarta 22 Juni 1963 di Jakarta mengatakan, bahwa rumusan dasar negara muncul di antaranya karena inisiatif para alim ulama yang mengirimkan surat berisi usulan tentang bentuk dan ketentuan-ketentuan yang digunakan bagi Indonesia merdeka. Surat yang dikirim dari berbagai alim ulama itu berjumlah 52 ribu surat yang terdaftar (Endang Saifuddin Anshari, Piagama Jakarta 22 Juni 1945, hal. 29-30). Presiden baru Indonesia, diharapkan memperhatikan ini.
Jika negeri ini ingin bermartabat, terhormat dan maju, maka sudah sepatutnya, negara ini siap untuk tunduk dan patuh kepada aturan-aturan Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad Shallalahu ‘alaihi Wassallam, sesuai amanah pendiri bangsa.
Konsep iman dan takwa ini merupakan konsep yang ideal bagi penduduk Indonesia yang mayoritas Muslim.
Selain itum Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu pernah berpesan: “Pemimpin diangkat untuk menegakkan agama”. Inilah tugas utama pemimpin.
Karena itu bisa diterima keraguan para ulama terhadap Jokowi bisa menjadi ‘menjaga agama’. Sebab sampai hari ini, dari kalangan santri dan ulama masih bimbang dan khawatir, apakah Jokowi mampu mengemban amanah agung ini?
Nah, mengingkat penentangan kalangan kaum santri saat Pilpres lalu pada pasangan Jokowi-JK, maka sudah saatnya Jokowi membuktikan dan meyakinkan pada kaum santri dan para ulama bahwa Jokowi bisa melaksanakan tugas besar ini.
Kebimbangan dan kekhawatiran tersebut tentu saja bukan atas dasar sentimen ketidaksukaan terhadap pribadi tertentu. Berita-berita Tim sukses (Timses) orang di sekeliling Jokowi yang begitu massif akan mendukung aliran sesat, menutup kolom agama di KTP, menghapus Perda Syariat dll sudah diketahui publik.
Jika Jokowi ingin lebih berdaulat (agar suara mass Praboro yang 46 %) bisa berpihak padanya, buktikan bahwa isu-isu tentang pengaruh tangan asing, komunis baru, Kristen radikal, liberal dan aliran sesat di sekitarnya adalah tidak benar. Bukan dengan balik menekan santri dan ulama. Apalagi memusuhinya. Sambutlah isu itu tersebut dengan cantik. Jokowi perlu mengakomodir aspirasi-aspirasi kaum santri dan ulama, serta memberi seluas-luasnya jalan dakwah. Bukan dengan sekedar pencitraan atau aktifitas pemalsuan. Sebab, pemalsuan dan pencitraan ilusif justru akan menambah masalah baru buat Jokowi di kemudian hari.
Nah, kita tunggu saja langkah Jokowi soal ini…..*/bersambung 8 Hikmah Kemenangan Jokowi (2)
Penulis adalah peniliti pada Institut Pemikiran dan Peradaban Islam (InPAS)