Oleh: Beggy Rizkiyansyah
MARCO Di Lauro hampir terjatuh dari kursiya, ketika ia melihat foto jepretannya di internet. Foto karyanya menangkap deretan jenazah anak-anak di Irak tahun 2003. Namun BBC menayangkan foto tersebut sebagai korban konflik di Houla, Suriah tahu 2012.(David Turner: 2012) BBC kemudian menyadari kesalahan mereka dalam berita tersebut. Kekeliruan BBC karena tidak memverifikasi lebih detil foto, berpengaruh pada banyak hal. Selain kredibilitas mereka, tentu saja persepsi orang tentang konflik di Suriah. Gara-gara foto tersebut “hoax”, bukan tidak mungkin orang akan beranggapan pembunuhan terhadap anak-anak adalah hoax.
Jangankan orang biasa seperti kita, media dengan reputasi besar seperti BBC pun bisa tersandung hoax. Persoalan berita bohong, atau hoax memang persoalan yang membelit semakin kencang masyarakat saat ini. Nyatanya gelombang informasi akibat perkembangan teknologi, terutama teknologi digital menyeret konsekuensi yang berat.
Jurnalis kini dituntut untuk melakukan tugas yang lebih berat. Jika di masa lalu ia menjadi sumber informasi, kini informasi bisa datang dari mana saja. Tugas jurnalis adalah memilah (termasuk memverifikasi) informasi. Kovach dan Rosenstiel mengungkapkan bahwa di era gelombang informasi yang melimpah seperti saat ini, juralis harus membekali diri mereka dega sikap skeptis.
“Pers yang manjur” dibangun kaum empiris yag tangguh dan disiplin, seperti Bigart (juralis New York Times), tetapi banyak wartawan naif bermetal tukang ketik yang memiliki koneksi orang penting lebih dihargai ketimbang wartawan skeptis yang mengejar bukti.”(Bill Kovach dan Tom Rosenstiel: 2012)
Tantangan yang harus dihadapi jurnalis memang tak mudah. Gelombang infromasi beserta sampah informasi yang hanyut di dalamya, sulit utuk dipilah. Bukan hanya itu. Jurnalis berhadapan dengan informasi palsu, berita bohog, hoax yang memang sengaja untuk diproduksi dan disebarkan secara massal. Craig Silverman dalam Nieman Reports: Truth in Age of Social media, memaparkan hal ini. Menurutya;
“The forces of untruth have more money, more people, and … much better expertise. They know how to birth and spread a lie better than we know how to debunk one. They are more creative about it, and, by the very nature of what they’re doing, they aren’t constrained by ethics or professional” (Craig Silverman : 2012)
Baca: Karena Tak ada Organisasi Khusus, Semua Bisa ngaku MCA
Sebagai penjaga gerbang informasi, terkadang gelombang informasi tersebut sulit untuk dibendung. Masyarakat era digital menuntut arus informasi yang serba cepat. Perusahaan pers merespon dengan menuntut jurnalis menaikkan informasi sesegera mungkin, berlomba-lomba dalam kecepatan. Orientasi pasar (komersial) pada perusahaan media (pers) menekan sisi-sisi idealisme jurnalis. Pergeseran perlakuan pembaca dari warga (citizen) menjadi konsumen (consumer), hingga pemberitaan yang menghibur membuat aspek ekonomi menjadi pertimbangan penting. Dilema inilah yang dikupas Doug Underwood dalam Reporting and the Push for Market-Oriented Journalism: Media Organizations as Businesses. (W. Lance Bennet dan Robert M. Entman: 2005)
Di era digital keluhan yang sama dituangkan oleh jurnalis senior, Yoko Sari. Menurutnya,
“Di sini kecepatan merupakan nilai mutlak. Siapa yang paling cepat mengunggah, dia yang akan mendapat traffic paling besar karena netizen melakukan share berita itu.
Traffic adalah hak mutlak dari media digital di Indonesia karena merupakan daya tarik utama dalam mendapatkan iklan. Setidaknya itu yang terus-menerus didengungkan oleh tim bisnis. Traffic jeblok, iklan jeblok, kesehatan perusahaan pun jeblok.
Jurnalis tidak memiliki, atau tidak diberi waktu, untuk membuat satu berita utuh seperti pada media konvensional. Setiap detik adalah tenggat waktu. Bukan dalam hitungan jam atau hari.” (Yoko Sari, Jurnalisme Daring Antara Traffic dan Etik: 2018)
Dampak pola kerja seperti itu tentu saja pada penurunan kualitas dan meredupnya prinsip kerja jurnalis yang harus mengecek dan membandingkan informasi. Maka dalam hal ini pola kerja seperti ini semakin sulit membendung limpahan informasi termasuk di dalamnya hoax yang turut serta.
Situasi ini membuat para jurnalis semakin sulit. Pekerjaan melakukan verifikasi berita, mengecek fakta dengan detil seperti yang diharapkan Kovach dan Rosenstiel ditekan oleh perlombaan kecepatan menayangkan berita. Meski demikian bagi jurnalis, tak ada jalan lain. Seperti yang diungkapkan oleh Alicia Shepard dalam artikelnya di situs Columbia Journalism Review,
“Credibility is the only currency journalists have. If news organizations fall for this stuff, it hurts their and all other journalists’ credibility. It takes time to check something out, and we all feel like we don’t have the time. Just easier to copy and paste. Make time.”
Baca: Harus Dibedakan, Antara Mengkritik Penguasa dan Penyebar Hoax
Jurnalis memang berdiri dalam garda terdepan perang terhadap hoax. Tetapi ia tidak sendirian. Masyarakat sendiri memegang peranan penting. Terutama bagaimana memberi pemahaman pada masyarakat tentang keberadaan media dan berita. Howard Schneider, dari School of Journalism, Stony Brook University, mengingatkan pentingnya mendidik masyarakat agar “melek berita.”
“The ultimate check against an inaccurate or irresponsible press never would be just better-trained journalists, or more press critics and ethical codes. It would be a generation of news consumers who would learn how to distinguish for themselves between news and propaganda, verification and mere assertion, evidence and inference, bias and fairness, and between media bias and audience bias—consumers who could differentiate between raw, unmediated information coursing through the Internet and independent, verified journalism.”
Masyarakat harus diedukasi untuk bukan saja agar melek media, tetapi juga melek berita (news literacy). Tidak dapat dipungkiri, manusia lebih suka berita yang mereka ingin percayai. Bukan apa yang sebenarnya terjadi.
“Humans resist correction and are disinclined to change closely held beliefs. We seek out sources of information that confirm our existing views. When confronted by contrary information, we find ways to avoid accepting it as true. We are governed by emotion, not by reason. (Craig Silverman : 2012)
Masyarakat perlu mengetahui tentang pemilahan informasi, membandingkan, dan tidak kalah penting memahami efek psikologis dari informasi dan interaksi di dunia maya. ** >>> klik (Bersambung)