Oleh: Muh. Nurhidayat
INDONESIA kembali diguncang kejahatan terorisme. Bom yang meledak di kawasan Thamrin, Jakarta pada Kamis (14/01/2016) telah membuat 8 orang tewas dan beberapa orang lainnya cedera. Model pemberitaan terorisme di Thamrin, tidak pernah berbeda dengan model reportase kasus sejenisnya yang sering melanda Indonesia. Hal ini telah memperkuat pendapat para akademisi sosiologi komunikasi, yaitu banyak televisi swasta yang masih terjangkit McDonaldisasi.
McDonaldisasi adalah proses di mana prinsip-prinsip pengelolaan restoran cepat saji McDonald, ditiru oleh banyak perusahaan dari berbagai bidang lainnya di seluruh dunia. Perusahaan televisi komersial pun tampaknya tidak ketinggalan meniru gaya pengelolaan restoran fastfood asal AS tersebut. Teori McDonaldisasi pertama kali diperkenalkan oleh George Ritzer, pakar sosiologi Universitas Maryland.
Ritzer (2011) menggambarkan ada 5 prinsip yang berlaku pada McDonaldisasi, yaitu: efisiensi, kalkulabilitas, prediktabilitas, kontrol, serta irasionalisasi.
Pada bidang jurnalistik, konsep McDonaldisasi kemudian dikenal sebagai McJurnalisme. Surat kabar AS yang terkenal menerapkan McJurnalisme adalah harian USA Today. Sehingga wujud fisik kertas koran itu dijuluki sebagai ‘McPaper’, dan isi reportase beritanya dinamakan ‘McNuggets’. (Ritzer dalam Franklin, 2005).
Efisiensi
Dalam prinsip efisiensi, menurut Ritzer (2011), karyawan harus bekerja secara efisien melalui penerapan berbagai aturan dan prosedur ketat yang ditetapkan manajemen.
Berdasarkan pendapat Ritzer, dapat dinilai bahwa karyawan harus mampu membuat perusahaan meraih keuntungan sebesar-besarnya, meskipun hanya mengeluarkan biaya yang sekecil-kecilnya.
Efisiensi yang diterapkan media massa telah melahirkan ‘tabloidisasi’ isi berita media. Pakar komunikasi Universitas Kebangsaan China, Francis L.F. Lee (2009) mengatakan bahwa tabloidisasi dalam pelaporan berita didasarkan semata-mata oleh pertimbangan pasar, sehingga laporan berita cenderung sensasional, bombastis, serta provokatif.
Artinya, efisiensi pada McJurnalisme didasarkan pada selera rendah khalayak. Dalam konsep nilai berita jadul, ada anggapan ‘bad news is good news’. Yaitu berita buruk adalah berita ‘baik’ yang melariskan media.
Tiga stasiun televisi swasta (TV One, Indosiar, dan I-News TV) telah melakukan tabloidisasi dalam reportase bom Thamrin. Ketiganya menampilkan tayangan mayat 2 orang tersangka yang tergeletak secara mengenaskan di jalan. Reportase seperti ini memang telah memenuhi ‘syarat’ tabloidisasi berita, yaitu sensasional, bombastis, serta provokatif. Dengan hanya bermodal sebuah syutingan kamera dan sedikit narasi, ketiga televisi telah menarik perhatian khalayak sebanyak mungkin. Memang realitasnya tayangan itu dapat menaikkan rating.
Tabloidisasi membuat televisi berita menjadi ‘terpesona’ dengan paradigma jurnalisme jadul, yang menyatakan bahwa kekerasan (violence) memiliki nilai berita (news value) tinggi. Mereka beranggapan, semakin dramatis reportase kekerasan, apalagi sampai menimbulkan orang cedera dan meninggal dunia, bahkan bila perlu memperlihatkan ceceran darah, akan semakin tinggi pula nilai beritanya. Mereka adalah pengangum ungkapan “if it bleeds, it leads”.
Pakar komunikasi Universitas Diponegoro, Turnomo Rahardjo (2014), memandang dramatisasi kekerasan dalam berita tidak sejalan dengan the principle of the golden mean. The principle of golden mean memandu media (termasuk televisi) untuk menghindari reportase yang detail dari berita kekerasan, baik berupa teks, audio, visual, maupun audio-visual. Tujuannya adalah melindungi keamanan masyarakat dari trauma dan perasaan ngeri, serta agar tidak semakin memperburuk keadaan.
Pendapat Rahardjo patut dicermati pengelola televisi. Sebab pakar komunikasi AS, Plaisance (2009) memandang pelaporan cerita kriminalitas, penderitaan, kematian tragis, dan ekspoloitasi kegetiran hidup, yang disajikan secara dramatis dapat ‘mengguncang’ emosional khalayak. Berita-berita bermuatan kekerasan (yang mengerikan) tidak akan pernah hilang dari ingatan khalayak, meskipun hal tersebut dapat menaikkan rating (menguntungkan televisi).
Kalkulabilitas
Ritzer (2011) menyatakan bahwa prinsip kalkulabilitas dalam McDonaldisasi lebih menekankan pencapaian target kuantitas (jumlah) sehingga sering mengorbankan aspek kualitas (mutu). Pendapat Ritzer ini didukung oleh realitas bahwa burger atau makanan cepat saji lainnya dibuat sebanyak-banyaknya, tanpa memandang zat yang dikandungnya, apakah bermanfaat ataukah berbahaya bagi tubuh konsumen. Sehingga banyak kalangan menyebut makanan cepat saji itu sebagai junkfood (makanan sampah).
Dalam kasus pemberitaan terorisme di Thamrin, sejumlah televisi pun serampangan membuat reportase, yang penting mereka dapat melaporkan ‘berita’ sebanyak-banyaknya. TV One memberitakan adanya bom susulan di Slipi, Kuningan, dan Cikini. Sedangkan Metro TV melaporkan adanya ledakan di Palmerah.
Tanpa melaksanakan kaidah penting jurnalisme, yaitu ‘cek dan ricek’ terlebih dahulu, dan hanya berdasarkan sumber informasi yang tidak jelas (qila wa qala, kata orang Arab), kedua televisi itu akhirnya terjebak menyiarkan berita fiktif. Bahkan lebih parah lagi, berita itu juga menimbulkan kecemasan sosial di Jakarta. Banyak warga ibukota merasa takut. Sampai-sampai ada yang—berusaha menghilangkan kecemasan warga dengan—membuat hastag kami tidak takut di media sosial.
Jika makanan cepat saji yang—berpotensi—membahayakan tubuh konsumen dikenal sebagai ‘makanan sampah’, maka berita fiktif yang menimbulkan kecemasan banyak orang mungkin dapat disebut ‘berita sampah’.
Sebagai orang beragama, sudah semestinya wartawan televisi menghindari penyebarluasan berita yang tidak jelas asal-usulnya. Apalagi jika ‘kabar burung’ itu dapat menciptakan kepanikan sosial.
Allah subhanahu wata’ala menegaskan, “(Ingatlah) ketika kamu menerima (berita bohong) itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikitpun, dan kamu menganggap remeh padahal dalam pandangan Allah itu soal (yang berdampak) besar.” (QS. 24 : 15)
Prediktabilitas
Dalam penerapan prinsip prediktablitas di bidang jurnalistik, wartawan yang melaporkan berita diibaratkan seperti koki restoran McDonald yang memasak burger. Mereka bekerja hanya memenuhi rutinitas jam ‘dinas’, tidak terlalu banyak mengandalkan pikiran, apalagi bisa mengembangkan ide. Sehingga prinsip ini melahirkan adanya dehumanisasi, yang memandang wartawan hanya sebagai ‘robot’ perusahaan. (Ritzer dalam Franklin, 2005)
Prinsip prediktabilitas ini membuat para wartawan televisi tidak punya selera, apalagi kemampuan untuk melakukan investigasi atas kasus besar yang melanda masyarakat. Mereka cukup mengandalkan press release maupun konferensi pers yang diselenggarakan institusi non media.
Maka tidak mengherankan, dalam kasus bom Thamrin, televisi—kembali—mengandalkan jumpa pers yang diadakaan polisi, untuk mengetahui siapa tersangka beserta dalang aksi terorisme itu. Seperti biasanya, citra Islam kembali ternoda setelah televisi ramai-ramai menyebut pelakunya adalah ISIS.
Meskipun ISIS bukanlah bagian dari Islam. Dan kaum Muslimin seluruh dunia pun berlepas diri—bahkan sangat mengutuk—ISIS, namun biar bagaimana pun juga, pencantuman kata ‘Islam’ dalam setiap aksi terorisme, telah menganggu ketenangan kaum Muslimin. Lagi-lagi kata ‘Islam’ dikambinghitamkan.* (BERSAMBUNG)
Penulis dosen Ilmu Komunikasi Universitas Ichsan Gorontalo