Sambungan artikel PERTAMA
Oleh: Adif Fahrizal
Agenda Liberalisasi?
TERLEPAS masih kaburnya wacana “Islam Nusantara”, berdasarkan definisi-definisi di atas ada benang merah bahwa wacana ini harus dipahami dalam konteks hubungan antara ajaran Islam sebagaimana yang terkandung dalam Al Qur`an dan Sunnah -”Islam universal” dalam istilah Azyumardi Azra- dengan realitas sejarah dan sosial-budaya serta kondisi lokal Nusantara. Dalam kaitannya dengan hal ini tidak bisa dipungkiri bahwa Islam memang mengalami perjumpaan dengan budaya masyarakat penganutnya yang berbeda antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Perjumpaan Islam dengan budaya yang beraneka ragam menghasilkan corak budaya yang beraneka ragam pula antara umat Islam di satu wilayah dengan wilayah lainnya meskipun tetap ada benang merah dan pembagi bersama yang mempersatukan perbedaan-perbedaan tersebut yaitu prinsip tauhid.
Berangkat dari sini kita bisa mengasumsikan bahwa “Islam Nusantara” yang diwacanakan belakangan ini sesungguhnya ada pada ranah kebudayaan yaitu kebudayaan Islam khas Nusantara yang berbeda -meskipun juga memiliki persamaan- dengan kebudayaan Islam di wilayah-wilayah Dunia Islam lainnya.
Walaupun sama-sama berbicara tentang Islam dalam ranah kebudayaan, jika kita cermati definisi-definisi “Islam Nusantara” di atas ada perbedaan signifikan antara definisi “Islam Nusantara” dari intelektual kampus (UIN) yang diwakili Azyumardi Azra dengan definisi “Islam Nusantara” dari intelektual pesantren yang diwakili K.H. Afifuddin Muhajir dan Ahmad Baso.
Dalam definisi Azyumardi “Islam Nusantara” didefinisikan pertama-tama sebagai “Islam yang distingtif” yang dibedakan dengan “Islam universal”. Menilik definisi ini tampak adanya asumsi bahwa ada dua jenis Islam, yaitu “Islam yang distingtif” -dengan “Islam Nusantara” sebagai bagian darinya- dan “Islam universal” yang kedua-duanya diposisikan secara -kurang lebih- setara.
Terlihat bahwa tidak ada dimensi normatif dalam definisi ini. Tidak ada tendensi untuk membedakan antara ajaran Islam yang sebenarnya atau seharusnya sebagaimana yang dijelaskan dalam Al Qur`an, Sunnah, dan kitab-kitab para ulama dengan praktik keberislaman masyarakat, seolah kedua-duanya sama-sama sah disebut sebagai “Islam”.
Jika mengikuti cara berfikir ini maka tidak ada bedanya antara masyarakat yang menjalankan shalat lima waktu dengan masyarakat yang menganggap shalat bisa diganti dengan sekadar mengingat Allah misalnya, karena kedua-duanya sama-sama perwujudan dari “Islam” dan tidak ada yang boleh disebut lebih benar dari yang lain. Baik keyakinan bahwa shalat lima waktu wajib hukumnya maupun keyakinan bahwa shalat lima waktu bisa diganti dengan sekadar dzikir saja sama-sama dianggap sebagai penafsiran semata yang tidak mutlak kebenarannya (Untuk kritik lebih lanjut atas wacana “Islam Nusantara” versi intelektual kampus ini ada di artikel saya sebelumnya “Islam Nusantara”. Makhluk Apakah Gerangan?).
Berbeda dengan definisi dari Azyumardi yang mewakili kalangan intelektual kampus, definisi “Islam Nusantara” dari Kiai Afifuddin dan Ahmad Baso sebagai wakil dari kalangan intelektual pesantren masih memiliki dimensi normatif. Kiai Afifuddin membatasi “Islam Nusantara” sebagai “faham dan praktik keislaman di bumi Nusantara” sedangkan Ahmad Baso membatasi “Islam Nusantara” sebagai “ma’rifatul ulama-i-l-Indonesiyyin” atau “majmu’atu ma’arifil -l- ulama-i-l-Indonesiyyin”. Kedua-duanya tetap disandarkan pada teks syariat (Kiai Afifuddin) atau adillatihat tafshiliyyah (dalil-dalil yang terperinci) (Ahmad Baso) hanya saja ia merupakan usaha untuk menjawab permasalahan yang timbul dari realitas historis dan sosial-budaya Nusantara.
Dengan demikian tersirat asumsi dasar bahwa “Islam Nusantara” dalam pengertian ini tidak setara dengan Islam itu sendiri sebagaimana yang terkandung dalam nash. “Islam Nusantara” hanyalah pengejawantahan dari teks syariat atau dalil-dalil terperinci yang meliputi Al Qur`an, hadits, ijma’, dan qiyas dengan mempertimbangkan realitas Nusantara yang bisa jadi berbeda dengan realitas di negeri-negeri lainnya.
“Islam Nusantara” adalah sekadar produk ijtihad yang bisa benar dan bisa salah, yang penilaian benar atau salahnya harus dikembalikan pada hal-hal yang sifatnya ushul (pokok) dalam agama.
Melihat perbedaan definisi tersebut kita bisa melihat bahwa wacana “Islam Nusantara” yang diusung satu kalangan bisa berbeda secara signifikan dengan wacana “Islam Nusantara” yang diusung kalangan lainnya sekalipun menggunakan istilah yang sama. Di sinilah perlunya kita menyikapi wacana ini dengan bijak. Anggapan bahwa “Islam Nusantara” hanya kedok bagi agenda liberalisasi Islam memang ada benarnya jika yang dimaksud adalah “Islam Nusantara” dalam versi intelektual kampus. Akan tetapi jika anggapan ini dialamatkan kepada wacana “Islam Nusantara” menurut versi intelektual pesantren maka ia menjadi tidak tepat.
Dengan kata lain mencap “Islam Nusantara” sebagai sebuah proyek liberalisasi Islam adalah kesimpulan yang terburu-buru hasil dari over-generalisasi dan simplifikasi masalah.* (bersambung)
Penulis adalah mahasiswa S2 Sejarah Universitas Gajah Mada