Al-Farabi membenamkan seluruh yang beliau miliki dalam lautan ilmu sehingga beliau tidak dekat dengan para penguasa Bani Abbasiyah
Oleh: Muhammad Fatih Arroichan
Hidayatullah.com | JIKA kita membahas mengenai sejarah kemajuan dan perkembangan peradaban Islam, tentunya tidak akan lepas dengan nama-nama besar para tokoh agama, ilmuwan, dan budayawan pada masa tersebut.
Salah satu sejarah peradaban Islam yang senantiasa menarik untuk diulas adalah sejarah peradaban Islam Dinasti Abbasiyah. Pada masa ini lahir banyak tokoh masyhur di berbagai bidang ilmu, salah satunya Abu Nashr Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan bin Al-Uzalagh yang dikenal dengan nama Al-Farabi.
Memiliki nama asli Abu Nashr Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan ibn Uzalagh Al Farabi. Al-Farabi lahir di sebuah kota bernama Wasij distrik Farab pada tahun 259 H/872 M, tepat setelah satu tahun wafatnya Al-Kindi (filosof pertama Islam).
Nama panggilan Al-Farabi diambil dari nama daerah atau distrik kelahirannya. Di benua Eropa, beliau lebih dikenal sebagai seorang filosof Islam berkebangsaan Turki dengan nama Alpharabius atau Avennasr.
Sejumlah riwayat sejarah mengatakan Al-Farabi memiliki seorang ayah berkebangsaan Iran yang menjadi opsir tentara Turki dan akhirnya menikah dengan ibunya yang memiliki kebangsaan Turki. Konon, keluarga Al-Farabi mengabdikan hidupnya kepada para penguasa Dinasti Sam’aniyyah yang berhasil menaklukkan sekaligus mengislamkan distrik Farab. Peristiwa ini disinyalir mendasari masuknya keluarga Al-Farabi ke dalam agama Islam.
Sedari kecil Al-Farabi telah memiliki rasa ingin tahu yang luar biasa, beliau dikenal sebagai anak yang gemar belajar dan memiliki kecakapan diatas anak pada umumnya terutama dalam bidang bahasa. Beberapa bahasa yang beliau kuasai secara aktif adalah bahasa Arab, Iran, Kurdistan, dan Turki.
Bahkan ada yang mengatakan Al-Farabi memiliki kemampuan bicara dalam tujuh puluh macam bahasa yang berbeda namun yang beliau kuasai secara aktif hanya empat bahasa di atas.
Di masa muda Al-Farabi mulai mendalami ilmu bahasa dan sastra Arab dengan berguru kepada Abu Bakar As-Saraj di Baghdad serta mempelajari logika serta ilmu filsafat kepada seorang Kristen Nestorian bernama Abu Bisyr Mattius ibn Yunus dan Yuhana ibn Hailam yang telah banyak menerjemahkan filsafat Yunani.
Al-Farabi juga pernah melakukan safar ke Harran untuk menuntut ilmu filsafat, namun tidak begitu lama beliau kembali lagi ke Baghdad untuk lebih mendalami ilmu filsafat. Selama Al-Farabi tinggal di kota Baghdad dalam jangka waktu 20 tahun, beliau mulai membuat karya tulis berupa ulasan-ulasan terhadap beberapa buku filsafat Yunani, politik, agama, hingga musik sekalipun seperti kitabnya Al Musiqi Al Kabir yang menjelaskan mengenai alat-alat yang dapat mengeluarkan suara indah. Selain itu Al-Farabi juga memiliki kesibukan sebagai seorang pengajar yang menghasilkan murid-murid cerdas nan unggul, di antara murid-muridnya yang masyhur yaitu Yahya ibn ‘Adi (seorang filsuf Kristen).
Di usia Al-Farabi yang menginjak 75 tahun, tepatnya di tahun 330 H beliau pindah dari Baghdad ke kota Damaskus. Di Damaskus beliau berkenalan dengan seorang Sultan Dinasti Hamdan di Aleppo yang bernama Saif Ad-Daulah Al-Hamdani. Al-Farabi diberi kedudukan oleh sultan sebagai ulama istana dengan tunjangan yang begitu besar.
Namun dengan sikap zuhudnya, Al-Farabi hanya mengambil empat dirham dari tunjangan tersebut untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidup. Sisa dari tunjangannya yang masih sangat banyak beliau sedekahkan kepada fakir miskin di kota Aleppo dan Damaskus.
Inilah salah satu gambaran dari sifat dermawan serta zuhudnya beliau dengan lebih memilih hidup sederhana apa adanya serta tidak terpengaruh dengan kemewahan duniawi yang sebenarnya bisa beliau nikmati.
Salah satu hikmah dari pindah dan ditempatkannya Al-Farabi di kota Damaskus ialah beliau berjumpa dengan para sastrawan, penyair, ahli bahasa, ahli fiqih, serta cendekiawan yang sama-sama berjuang memperluas perkembangan ilmu pengetahuan sebagai upaya untuk mengokohkan peradaban Islam saat itu.
Ditambah dengan para Khalifah Bani Abbasiyah saat itu yang benar-benar menghargai ilmu pengetahuan, lengkaplah sudah para cendekiawan dan ilmuwan muslim ini dapat mengembangkan dengan maksimal potensi kecerdasan yang mereka miliki.
Al-Farabi adalah seorang cendekiawan muslim yang memiliki pengetahuan sangat luas. Kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan dibuktikan dengan mendalami berbagai macam ilmu pengetahuan serta mengarang buku-buku ilmu tersebut.
Ia juga menjadi tokoh terkemuka yang menjadi sarjana dan memproklamirkan dirinya mencari kebenaran lewat ilmu filsafat yang beliau kuasai. Kecintaan beliau terhadap ilmu pengetahuan berhasil mengalahkan godaan gemerlap dan kemegahan kehidupan istana.
Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa sepanjang hidupnya Al-Farabi membenamkan seluruh yang beliau miliki dalam lautan ilmu sehingga beliau tidak dekat dengan para penguasa Bani Abbasiyah saat itu.
Al-Farabi menghabiskan sisa hidupnya di kota Syiria hingga beliau wafat pada tahun 339 H/950 M di usia 80 tahun. Sebelum akhir hayat, Ibn Usaibi’ah mengatakan Al-Farabi sempat mengunjungi Mesir.
Perkataan Ibn Usaibi’ah ini sangat mungkin terjadi karena Mesir dan Suriah memiliki hubungan yang erat dalam rentetan sejarah serta kehidupan budaya Mesir yang memiliki pesona elok.
Al-Farabi kemudian dimakamkan di perkuburan luar gerbang kecil kota Syiria bagian selatan. Pemakaman beliau dipimpin langsung oleh Saif Ad Daulah atau pemimpin daerah yang diikuti oleh anggota istananya.
Karya-karya Al-Farabi
Al-Farabi adalah salah seorang filsuf muslim yang produktif menghasilkan banyak karya tulis di bidang ilmu filsafat berupa buku maupun ulasan essai pendek yang dipengaruhi oleh falsafah Aristoteles dan beberapa ide Plato. Beberapa karya Al-Farabi yang menggambarkan tentang kematangannya menguasai ilmu filsafat adalah Aghrad ma Ba’da al Thabi’ah dan Al-Jam’u Baina Ra’yai al Hakimain yang mempertemukan serta mengulas pemikiran filsafat Plato serta Aristoteles.
Beberapa karya fenomenal Al-Farabi yang lain adalah kitab Risalah al Itsbat al Mufaraqat, kitab al Siyasat al Madinah al Fadilah, al Musiqa al Kabir, Risalah Tahsil as Sa’adah, ‘Uyun al Masail, al Madinah al Fadilah, al Ihsha al Ulum yang konon adalah karya terakhir beliau sebelum wafat serta masih banyak karya yang lainnya.
Al-Farabi juga merupakan seorang cendekiawan yang mendalami filsafat Aristoteles, riwayat ini dikuatkan dengan sebuah kisah pada saat Ibnu Sina tidak mampu memahami isi dari Maqalah fi Aghrad al Hakim fii Kulli Maqalah al Marsum bi Al Huruf karangan Aristoteles padahal Ibnu Sina telah membacanya sebanyak 40 kali.
Setelah ketidakfahaman Ibnu Sina terhadap karya Aristoteles tersebut akhirnya beliau berlabuh pada sebuah karya Al-Farabi yang berjudul Tahqiq Gharad Aristatalis fi Kitab ma Ba’da al Thabi’ah. Kemudian tersingkaplah ‘tabir gelap’ dari isi pemikiran Aristoteles dalam kitabnya Maqalah fi Aghrad al Hakim fii Kulli Maqalah al Marsum bi Al Huruf.
Gaya penulisan Al-Farabi yang mudah untuk dipahami membuat beliau lebih dikenal daripada para gurunya. Beliau menggunakan contoh-contoh nyata dan yang lumrah ada di kalangan masyarakat pada masa terssebut.
Hal ini tentu menandakan bahwa beliau benar benar memperhatikan penerjemahan dan penulisan yang selaras dengan kehidupan masyarakat. Al-Farabi tidak setuju terhadap Al-Kindi yang hanya membuat penerjemahan namun tidak menganalisa hal-hal yang boleh dan tidak boleh dipraktekkan masyarakat Arab saat itu.
Karena menurut Al-Farabi, falsafah sejatinya bukan suatu bidang yang mudak untuk dipahami. Penerjemahan tanpa suatu pemahaman akan menyebabkan suatu kekeliruan terhadap pembaca dan penuntut ilmu falsafah.
Dari totalitas usaha yang dilakukan Al-Farabi dalam meluaskan cakrawala pengetahuan umat di atas, kita sebagai muslim tentunya dapat merasakan semangat yang begitu membara dari beliau untuk membawa umat muslim ke arah ilmu duniawi dan ukhrawi.
Sebagai pelopor di berbagai bidang ilmu, hingga saat ini beliau bertahan menjadi sumber rujukan utama para cendekiawan dan ilmuwan dunia. Sebagai seorang muslim kita sepantasnya bangga memiliki seorang cendekiawan hebat seperti Al-Farabi.
Pemikiran Al-Farabi
1) Pemikiran Al-Farabi Tentang Konsep Negara
Menurut Al-Farabi komunitas manusia (warga negara) di sebuah negara adalah salah satu syarat terbentuknya sebuah negara. Oleh sebab itu seorang manusia tentunya senantiasa membutuhkan bantuan manusia lain untuk menjalani kehidupannya.
2) Hakikat Ke-Esaan Tuhan Menurut Al-Farabi
Menurut Al-Farabi, Tuhan memiliki kedudukan sebagai wajib al wujud (sebab pertama dari segala wujud makhluk). Maka ke-Esaan serta kesempurnaan wujud Tuhan tidak mungkin bisa diwujudkan sebagaimana benda atau makhluk biasa.
Karena Tuhan adalah azali yang ke-Esaannya tidak akan pernah dapat dihilangkan. Dalam pemikirannya, beliau tidak setuju terhadap anggapan bahwa Tuhan lebih satu dan tidak terbatas karena definisi akanmembatasi kemutlakan Tuhan.
3) Teori Emanasi Al-Farabi
Teori emanasi adalah sebuah teori yang dikemukakan oleh Al-Farabi mengenai keluarnya sesuatu yang wujud mumkin (alam makhluk) dari dzat yang harus adanya/Tuhan (wajibul wujud). Teori ini juga biasa disebut sebagai teori “urut-urutan wujud”.
Itulah beberapa pemikiran ataupun teori yang pernah dikemukakan oleh Al-Farabi semasa hidupnya. Masih banyak teori lain yang pernah beliau cetuskan namun tidak dapat tertulis seluruhnya dalam artikel ini.*
Mahasiswa Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. Bahan dari berbagai sumber