Sambungan artikel PERTAMA
Oleh: Rahmat Hidayat Zakaria
Jin, Malaikat, Perisai, Puasa, Kain, Taman, Syurga, Janin, Ruh dan Orang gila.
Perkataan janana atau janna, mempunyai arti di antaranya adalah sesuatu yang tersembunyi, tertutupi atau sesuatu yang tidak terjangkau oleh indera manusia (unseen). Ditegaskan di dalam al-Qur’an yang artinya: “ketika malam telah gelap, dia melihat sebuah bintang lalu berkata: “Inilah Tuhanku”…… (surah al-An‘ām: 76]. Perkataaan yang digunakan untuk mengekspresikan malam tersebut adalah disandingkan dengan janna. Kenapa demikian? sebab proses pergantian dari siang ke malam, bukan berarti bahwa malam itu tidak ada atau hilang, tetapi posisi malam ketika itu hanya tersembunyi dari pancaran sinar matahari. Matahari itulah yang menyebabkan atau menjadi penghalang posisi malam tersembunyi dibaliknya.
Dari akar kata janana lahir perkataan yang baru yaitu jin dan tidak mustahil pula ia melahirkan perkataan jinnah yang berarti malaikat (lihat surah al-Ṣaffāt: 158). Berdasarkan kedua perkataan tersebut yaitu jin dan jinnah (malaikat) dapat difahami bahwa keduanya adalah makhluk yang tersembunyi, tidak nampak dan tidak terlihat oleh indera manusia, karena indera manusia mempunyai keterbatasan untuk melihat kedua makhluk tersebut.
Sehubungan dengan akar kata yang sama, janna dapat juga berkembang menjadi junnah yang berarti perisai (shield). Dikatakan demikian, karena perisai atau tameng adalah alat yang berfungsi untuk memproteksi diri seseorang ketika dalam suatu peperangan atau dapat pula melindungi seseorang dari pelbagai macam ancaman yang dapat menyelakakan dirinya.
Melalui perisai inilah tubuh seseorang dapat tertutupi dan terlindungi. Begitu pula ditegaskan bahwa al-ṣiyāmu junnah (puasa itu adalah perisai), sebab puasa adalah ibadah rahasia dan bukan ibadah publik yang dapat disaksikan oleh orang lain seperti shalat, zakat dan haji. Mengenai puasa ini tidak seorang pun yang mengetahuinya, kecuali orang yang sedang menjalankan dan Allah saja yang tahu. Junnah pula dapat berarti kain yang dipakai oleh perempuan untuk menutupi kepalanya, wajahnya dan perhiasannya. Oleh sebab itu, melalui junnah (kain) inilah apa yang dimiliki perempuan seperti kalung, kepalanya, rambutnya dan lain-lain itu dapat tertutupi.
Dari akar kata tadi lahir pula perkataan baru yaitu jannah yang berarti taman. Tanah yang subur tentu berpengaruh pada taman dan menghasilkan atau menumbuhkan tanaman dan pepohonan yang lebat sehingga membuat orang yang berada di sekitar itu seakan-akan pandangannya terasa tertutupi dan terlindungi dari teriknya sinar matahari dengan lebatnya pohon dan dahan-dahannya itu. Jannah juga dapat berarti syurga. Orang yang tidak percaya akan syurga, barangkali beranggapan bahwa yang dinamakan pengetahuan itu adalah sesuatu yang dapat dicerna oleh indera dan dapat diraba.Oleh karena itu syurga dianggap sebagai mitos atau suatu khayalan belaka.
Hal yang demikian berbeda dengan Muslim, bahwa mereka yang benar-benar meyakini akan hal tersebut menyikapinya memang, bukan berarti syurga yang tidak dapat dilihat saat ini merupakan sesuatu yang tidak ada, akan tetapi ia hanya atau masih dalam keadaan tersembunyi. Keterbatasan dan ketidak mampuan pandangan manusia untuk melihatnya disebabkan oleh adanya tabir yang menghalangi dan menutupi mata tersebut, kecuali hanya utusan Allah Subhanahu Wata’ala (dalam hal ini Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassallam) saja yang diberikan kuasa untuk melihat itu.
Perkataan janīn yang dalam bentuk pluralnya adalah ajinnah sebagaimana ditegaskan di dalam surah al-Najm: 32 adalah seakar pula dengan janana. Dari sini dapat difahami bahwa janin atau ajinnah merupakan sesuatu yang berada di dalam perut seorang ibu dan ia merupakan perkara yang tersembunyi yang tidak dapat dilihat secara transparan, kecuali dilihat dengan menggunakan alat.
Demikian pula dengan perkataan janān yang bentuk pluralnya adalah ajnān. Janān mengandung arti di antaranya adalah ruh, hati, perkara yang samar-samar atau bagian terdalam dari segala sesuatu.
Berdasarkan makna-makna tersebut diketahui bahwa ketiganya adalah suatu perkara yang tidak nampak dan tidak dapat dilihat oleh indera. Dari akar kata yang sama pula melahirkan perkataan majnūn yang berarti orang gila. Kenapa orang gila dikatakan majnūn? karena potensi berfikir orang gila atau akalnya itu dikalahkan atau dikuasai oleh nafsu hayawaniyahnya. Nafsu hayawaniyah (kebinatangan) inilah yang melampaui dan mempengaruhi akal (nafsu nāṭiqah) tersebut untuk tunduk kepadanya. Dengan demikian akal tidak mampu mengontrol nafsu hayawaniyah yang lebih dominan dari nafsu natiqah yang pada akhirnya membuat akal dapat tertutupi, (lihat Ibn Manẓūr, Lisān al-‘Arab, di dalam bab perkataan janana).
Iman, Amanah dan Aman
Ketiga perkataan di atas adalah bermula dari akar kata yang sama yaitu āmana-yu’minu=īmān dan amina-ya’manu=amān dan amānah.
Seseorang yang tunduk atau hatinya merasa aman, damai dan tentram dinamakan mu’min (mukmin). Dikatakan aman, sebab mu’min (orang yang beriman) merasa jelas akan tujuan hidupnya di dunia, untuk apa ia diciptakan dan kemana ia pergi setelah mati? Dengan mengetahui tujuan hidup ini, di akhirat seseorang merasa aman dan menuai hasil dari apa yang telah ia perbuat selama hidupnya di dunia. Media untuk membuat orang tersebut aman dan merasa tentram adalah īmān yang berarti percaya dan membenarkan, yang mana puncak daripada iman itu sendiri adalah ma‘rifatu’Llāh (mengenal Allah).
Beriman di sini bagi Muslim bermaksud percaya dan membenarkan dengan sebenar-benarnya bahwa Allah Subhanahu Wata’ala adalah nama untuk zat yang suci dan perkataan Allah tidak dipergunakan kecuali ia hanya dinisbahkan kepada Tuhan yang patut disembah dengan cara yang benar (ism lidhdhāt al-muqaddasah lā yuṭlaqu illā ‘alā ‘l-ma’būdi biḥaqq).
Walaupun Tuhan dalam bahasa Arabnya juga disebut dengan ilāh, akan tetapi bedanya adalah ilāh dapat disifatkan kepada semua yang disembah baik itu secara benar maupun salah (bāṭil), (lihat ‘Alī al-Ṣābūnī, Ṣafwat al-Tafāsir, 1998, J. 1: 20).
Oleh sebab itu berkenaan dengan Tuhan, sikap yakin hendaknya selalu disertai di dalam diri seorang Muslim, tanpa terpengaruh oleh unsur-unsur eksternal atau konsep-konsep Tuhan yang dianut oleh agama-agama lain yang justru berbeda dengan faham keTuhanan sebagaimana diajarkan di dalam Islam.
Dari akar kata yang sama pula melahirkan kalimat yang baru yaitu amānah. Amanah mengandung arti di antaranya adalah menepati janji dan jujur (thiqah). Amanah atau menepati janji bukanlah diperuntukkan hanya kepada manusia semata-mata, akan tetapi manusia juga dituntut untuk memenuhi dan menepati janjinya terhadap Tuhannya. Perjanjian tersebut telah manusia ikrarkan dan saksikan oleh jiwa-jiwanya di alam mīthāq (perjanjian) yang masanya jauh sebelum manusia berada di pentas muka bumi ini. Perjanjian tersebut menegaskan bahwa Allah Subhanahu Wata’ala adalah Tuhan yang memelihara mereka, (lihat surah al-A‘rāf: 172).
Oleh sebab itu, perjanjian ini tidak dapat diingkari dan dikhianati sampai kapan pun. Amanah bisa juga terhadap barang titipan (wadī‘ah) atau mempunyai arti demikian. Seseorang yang menitipkan sesuatu atau meminjamkan suatu barang kepada orang lain, hal tersebut mengisyaratkan bahwa orang tersebut dianggap sebagai sosok yang dapat dipercaya dan menepati janjinya sehingga ia menjamin barang yang dititipkan maupun yang dipinjamkan itu aman. Oleh sebab itu, mu’min yang sejati adalah dia yang memberikan rasa aman terhadap sesama mu’min lainnya dan terhadap non-mu’min pada umumnya.
Munafiq, Tikus dan Terowongan
Barangkali tidak banyak yang mengetahui bahwa ketiga perkataan di atas adalah berasal dari akar kata yang sama dan ketiganya mempunyai keterkaitan antara satu dengan yang lainnya. Perkataan munafiq pada awalnya terambil dari akar kata nāfaqa-yunāfiqu. Munafiq di sini sudah menjadi definisi tersendiri yang telah diislamisasikan yaitu pelaku yang menampakkan keimanannya (Allah dan Rasul) secara lisān (perkataan) padahal hatinya kufur.
Betapapun itu, lebih-lebih hanya sekedar menampakkan keimanan kepada kedua otoritas tertinggi tadi, setidaknya memberikan kesan bahwa orang munafiq memiliki sifat yang saling berlawanan antara zahir dengan batinnya. Namun, apa hubungannya dengan tikus? di dalam Lisān al-‘Arab ditegaskan bahwa nufaqah, nāfiqā’ dan nufaqā’ yaitu mengandung arti hewan yang sejenis dengan tikus (yarbū‘) dan ketiga perkataan tersebut adalah seakar dengan perkataan nafiqa.
Hal tersebut mengisyaratkan bahwa sifat orang munafiq seakan-akan dipersamakan dengan tikus, karena seperti yang kita ketahui tikus memiliki sifat apabila dikejar atau hendak dipukul ia lantas masuk dari lubang yang satu dan keluar melewati lubang yang lain. Itu sebabnya lubang atau terowongan (tunnel) dalam bahasa Arab dinamai dengan nafaq, karena terowongan memiliki dua muka dan dua arah. Oleh sebab itu, tidaklah heran apabila orang munafiq diibaratkan seperti tikus dan terowongan (nafaq), karena ia bermuka dua.
Berdasarkan beberapa contoh dari akar kata yang telah dihadirkan di atas dapat kita simpulkan bahwa betapa saintifiknya perbendaharaan kata yang dimiliki oleh bahasa Arab. Perkataan-perkataan tadi mustahil terwujud dengan sendirinya tanpa adanya pesan, kesan dan makna yang tersirat di baliknya.
Penggunaan perkataan-perkataan di dalam bahasa Arab, terlebih lagi al-Qur’an pada dasarnya bukanlah ditentukan oleh perubahan-perubahan sosial, akan tetapi ia ditentukan oleh perbendaharaan kata semantik daripada al-Qur’an. Oleh sebab itu, kitab suci al-Qur’an mempunyai peran yang begitu besar bagi keberlangsungan dan kebertahanan bahasa Arab karena semenjak ribuan tahun yang lalu hingga sekarang ia masih hidup dan berkat al-Qur’an pula bahasa ini tetap terpelihara. Wallahu a‘lam bissawab….
Penulis mahasiswa Pasca Sarjana di Center for Advanced Studies on Islam, Science and Civilization, Universiti Teknologi Malaysia. Email: [email protected]