Hidayatullah.com | SEDERHANA sebenarnya menjaga asa agar syiar Islam tetap terjaga di Tana Toraja, Sulawesi Selatan.
Memang, sih, banyak yang bisa dilakukan di kabupaten berpenduduk Muslim 12 persen dari total 270.000-an penduduknya itu. Tapi ada satu yang paling sederhana.
Hal ini saya pelajari baru-baru ini setelah Januari 2023 lalu mendapat SK baru sebagai petugas Hidayatullah Toraja. Walaupun secara domisili -karena persoalan tempat tinggal- masih di Sudu, Enrekang yang berjarak 5 km dari perbatasan Toraja, tapi pekerjaan sederhana itu sudah bisa tertangkap.
Saking sederhananya, kita tidak butuh keahlian khusus untuk bisa menjalankannya. Tidak perlu kompetensi macam-macam. Cukup siapkan waktu 50 menit saja tiap hari. Dan istiqamah, tentunya, dengan pilihan waktu itu.
Siapapun bisa. Intinya dia Muslim. Hanya butuh konsistensi saja.
Sabtu (1/7/2023) siang hingga sore, ketika menemani teman-teman dari Hidayatullah Sudu mendistribusikan hewan qurban dari BMH, pekerjaan sederhana itu semakin nyata sederhananya. Bertepatan sapi dari Sangtempe yang kami bawa ke sana itu, didistribusikan di dua masjid di dua desa berbeda.
Dari pemotongan hingga siap terbagi dalam kantong-kantong khusus sebanyak 45 kantong, semuanya diselesaikan sesaat sebelum zhuhur. Tetapi hingga beberapa menit sejak masuk waktu zhuhur, belum ada tanda-tanda akan adzan. Hingga akhirnya, kami mengutus salah seorang dari kami untuk ke masjid mengumandangkan adzan.
Sebakda zhuhur berjamaah di masjid, kami segera menyisir rumah-rumah sekitaran masjid. Sekitar 10 kantong daging sapi terbagi di sini. Tapi belakangan ditambah lagi 7 kantong. Masing-masing rumah mendapat 1 kg daging plus setengah kilo tulang. Rata semuanya.
Menjelang ashar, kami bergeser. Kali ini masjid sebelah. Di desa tetangga. Konon di sini ada beberapa warga yang mualaf.
Masjidnya kecil. Sepi. Di timurnya, di seberang jalan, berdiri kokoh dan tegap sebuah gereja. Letaknya agak di ketinggian, dengan sosok patung di depannya yang saya tidak kenal.
Sambil bersih-bersih diri, kami menanti adzan. Beberapa saat kemudian, setelah lewat waktu awal masuknya ashar, barulah seseorang datang menyapa kami lalu masuk masjid untuk adzan. Kami memang sudah janjian dengan dia.
Lucunya (dan sedihnya) dia yang adzan dia pula yang imam. Jika kami tidak datang, bisa jadi dia pula yang mengumandangkan iqamah. Sebab kami semua yang jadi makmumnya. Cocok disebut “three in one” atau “one man show”.
Ternyata dia adalah imam tetap. Tapi kadang harus merangkap sebagai muadzdzin. Plus kadang-kadang juga, dan bahkan kebanyakannya, juga sebagai makmum.
Sebakda shalat, sekitar 13 kantong terbagi di titik ini. Info awalnya, jamaahnya sekitar 30 KK. Tetapi memang bertepatan dengan kegiatan antar masjid dalam kecamatan di desa lain, akhirnya banyak yang tidak datang.
Sepulang dari masjid mualaf tersebut, di Calya Putih yang dikeluarkan Pak Irwan itu, saya menguatkan renungan saya selama ini. Bahwa sebenarnya, menjaga syiar Islam di Tana Toraja ini memang sangat sederhana sekali.
Tapi memang, problemnya, karena kesederhanaannya ini “barang” akhirnya banyak orang menyepelekan. Saya bahkan berani bertaruh: Tidak akan ada orang, atau lembaga sekalipun, yang akan berani mempekerjakan orang pada pekerjaan sederhana ini sebagai pekerjaan utama, bahkan dengan natura ala kadarnya.
Kecuali mungkin sedikit orang yang berbesar hati dan beranggapan bahwa pekerjaan sederhana ini sangat penting. Dan kemudian dengan kebesaran hatinya itu, dia ringan menggaji orang yang mau meluangkan waktu 50 menit sehari untuk pekerjaan itu.
50 menit itu dibagi 5 waktu. Tiap waktu cukup 10 menit. Kerjaannya mudah: jaga waktu shalat, dan kumandangkan adzan ketika waktunya tiba.
Sederhana, kan!? Tapi karena sederhananya, banyak orang yang menyepelekan. Padahal, suara adzan-lah yang menjadi bukti eksisnya Islam di sana. Padahal suara adzan-lah yang menjadi syiar harian dalam Islam, yang paling urgen.
Tapi, banyak lembaga dakwah yang masuk ke Toraja belum memikirkan ladang dakwah satu ini! Padahal mereka tahu, banyak masjid di Toraja yang tidak aktif adzan 5 kali sehari semalam.
Rasa-rasanya, bohong kita peduli dakwah di Toraja, kalau barang sepele begini tidak terperhatikan. Jangan-jangan peduli kita hanya pencitraan saja. Ah, sejatinya ini bukan perkara sederhana.* (Abu Ayman Adduri/Anggota PENA Sulsel)