Oleh: Fadli Darmawan
SEEKOR lalat menghampiri secangkir cokelat hangat bersebelahan laptopku, hmm… siapa yang tak tergoda dengan aroma cokelat hangat yang menemani giat jemariku menulis artikel. Seolah lalat kecil itu tau yang paling mengasyikan di musim dingin adalah menyeruput secangkir hot chocolate.
Tanpa kuhalau si lalat pun merahap di bibir cangkir bekas tegukanku. Angin bertiup, bukannya terbang, si lalat yang tamak justru lingsir masuk ke dalam cokelat itu. Teringat hadist Nabi, segera kucelupkan lalat yang telah ayal itu dan kubuang. Jorok? Mungkin. Tapi sebelah sayap yang meracuni minuman bisa dinetralkan dengan sayap sebelahnya dengan mencelupkan bangkai lalat itu lalu membuangnya.
Kawan, coba banyangkan! Andai lalat itu adalah manusia dan cokelat adalah dunia, maka banyak manusia yang telah “mati” tergelincir akibat tergoda oleh cinta dunia. Kau sudah paham maksudku?
Hari mengungkapkan cinta dengan bingkaskan cokelat dan mawar yang tepat 14 Februari telah “mematikan” banyak korban. Kenapa harus mati? Kawan, kata Bung Karno , “JAS MERAH! Jangan sekali-kali melupakan sejarah!”
Banyak versi tentang asal-usul perayaan hari kasih sayang ini, tapi kucoba jelaskan sejumput sejarahnya. Singkatnya di suatu sore sebelum Santo Valentinus akan gugur sebagai martir (mati sebagai pahlawan karena memperjuangkan akidah nasrani di jalan Tuhan), ia menulis sebuah pernyataan cinta kecil yang diberikannya kepada sipir penjara yang tertulis “Dari Valentinusmu” untuk sang kekasih. Maka untuk mengenang hari yang bertepatan pada 14 februari itu diadakan upacara dan ritual paganisme (kesyirikan) ala bangsa Romawi. Dari seremoni yang keramat ini lah Paus Gelasius I berinisiatif mengubahnya menjadi Saint Valentine’s Day untuk mengenang matinya Santo Valentine yang gugur “atas nama cinta” demi membela kesyirikan.
Mulai zaman Ratu Victoria hingga zaman Dilan dan Melia di zaman now, perayaan itu disimbolkan dengan pemberian cokelat dan bunga kepada kekasih. Kronisnya lagi, tak jarang beberapa swalayan menjajakan paketan cokelat dengan kondom, untuk apa? Apalagi kalau bukan pembuktian “kesetiaan cinta” dengan menukarkan cokelat untuk merenggut kehormatan? Iiissshhh..! Bukankah cokelat di Valentine’s Day dengan buasnya telah mematikan nalar, menjagal logika, mengubur iman akibat dari lata pada budaya paganisme ini? Sudah paham, kawan?
Belum percaya? Mari kita melihat data di lapangan! dr. Andik Wijaya, M.Rep. Med, seorang seksolog dari Surabaya menuturkan bahwa “sekarang Valentine’s Day nuansanya cenderung romantis dan erotis”. Ini bukan opini belaka, “di Inggris makna Valentine’s Day telah menjelma dan ditetapkan sebagai The National Condom Week (pekan kondom nasional). Maksudnya propaganda nasional penggunaan kondom, karena tiap perayaan Valentine’s Day diikuti peningkatan kasus HIV/AIDS. Padahal tingkat kegagalan kondom mencapai 33,3%”, lanjutnya.
Data Komnas Perlindungan Anak pada tahun 2012 merilis data survei yang cukup menyayat hati bahwa 62,7% anak SMP sudah tidak perawan lagi, 21,2% remaja mengaku perna melakukan aborsi dan data itu hasil dari 4.726 responden siswi SMP dan SMA di 17 kota besar/provinsi di Indonesia, bahkan dari data Komnas Perlindungan Anak tersebut disebutkan 97,5% remaja perna menontot film porno, serta 93,7% perna melakukan adegan intim hingga oral seks. Bukan hanya kalangan remaja saja yang menderita sinrome virus ini, namun juga di kalangan mahasiswa. Sekarang sudah 2018, masih mau tambah lagi dengan perayaan Valentine’s Day?
Ada kampanye sok bijak menyatakan bahwa “Jangan nodai hari Valentine’s Day dengan seks bebas!” kita katakan bahwa jika penyebab seks bebas adalah akibat ritual hedonisme ini, maka bagaimana mungkin dia melarang akibat sedangkan dia melakukan sebab? Itu seperti membolehkan mengisap rokok asalkan tidak tidak berasap.
Masih sehat?, saya yakin jika yang menderita HIV/AIDS atau penyakit lainya adalah ibunya, istrinya, saudarinya, atau anaknya, akibat budaya lata dengan Valentine’s Day ini, pasti akan ikut menentangnya.
Ibnu Qayyim dalam Raudhatul Muhibbin mengatakan “Segala bahaya dunia dan akhirat lebih cepat menimpa kepada orang yang dirundung oleh cinta buta melebihi api membakar kayu bakar”
Kawan yang baik, cukuplah bagiku dan bagimu menjadikan firman Allah sebagai nasihat, yang artinya “dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji, dan suatu jalan yang buruk” (QS: Al-Isra: 32). Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat ini beliau mengatakan “Allah melarang hamba-hambaNya berbuat zina, begitu pula mendekatinya dan melakukan hal-hal yang mendororng terjadinya perzinahan”.
Dan dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh At-Thabrani, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda: “Sungguh jika kepala seorang laki-laki ditusuk dengan jarum dari besi lebih baik baginya darpada dia menyentuh seorang perempuan yang tidak halal baginya”
Ibnu Qayyim berkata: “Tidak diragukan lagi bahwa membiarkan kaum perempuan bercampur (bergaul) bebas dengan kaum laki-laki adalah biang segala bencana dan kerusakan, bahkan itu termasuk penyebab (utama) terjadinya berbagai malapetaka yang merata. Sebagaimana ini juga termasuk penyebab (timbulnya) kerusakan dalam semua perkara yang umum maupun yang khusus. Pergaulan bebas merupakan sebab berkembang pesatnya perbuatan keji dan zina, yang ini termasuk sebab kebinasaan massal (umat manusia) dan wabah penyakit-penyakit menular yang berkepanjangan”.
Maka kawanku yang baik, mari kita melindungi keluarga kita dari budaya lata paganisme yang bisa menggerus akidah dan melenyepkan identitas keislaman kita, Allah berfirman yang artinya “Wahai orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari api Neraka…” (QS: Attahrim: 6) karena sejatinya keluarga adalah amanah yang Allah anugerahkan dan kelak akan dimintai pertanggung jawabannya. Wallahu a’lam.*
Mahasiswa Universitas Qassim, Arab Saudi