Oleh: Heppy Trenggono
Hidayatullah.com | NAMANYA STIT, singkatan dari Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah, namun para mahasiswanya sering menyebut kalau STIT itu singkatan dari Sekolah Tinggi Ilmu Toko, Sekolah Tinggi Ilmu Ternak, Sekolah Tinggi Ilmu Tani, atau entah apa lagi kepanjangan yang cocok untuk STIT. STIT Al-Islah Bondowoso, perguruan tinggi yang berada di ujung timur pulau Jawa ini sangat istimewa.
Ketika menghadiri wisuda sarjana angkatan yang ke empat, saya seperti melihat pengukuhan doktor dari pada wisuda sarjana. Lulusannya terlihat percaya diri. Ini modal besar bagi lulusan manapun, lulusan yang siap mengambil tanggung jawab, siap membangun, siap berjibaku dengan kerasnya kehidupan.
Selama menempuh pendidikan di STIT Al-Islah, tampaknya para mahasiswa tidak hanya diajarkan tentang pengetahuan yang bersifat akademik namun juga digembleng dengan berbagai keterampilan hidup seperti berdagang, berternak, bertani. Pantas mereka percaya diri ketika lulus.
Pendidikan di Indonesia ditantang untuk menjawab tuntutan bagaimana mempersiapkan generasi muda yang tangguh, yang mampu menjawab tantangan jaman. Setiap lulusan di Indonesia harus menghadapi pertanyaan, bagaimana nasib para lulusan baru ketika angka pengangguran yang ada saja sudah sangat tinggi, bahkan krisis ekonomi saat ini telah melahirkan 19 juta pengangguran baru di negeri ini.
Anehnya, perguruan tinggi di Indonesia secara umum tidak menghaslkan lulusan yang trampil, yang siap berkarya. Contoh sederhana, revolusi digital yang hari ini kita hadapi telah membuka begitu besar kesempatan untuk para lulusan bidang keahlian IT, pemprograman, dan keahlian lain terkait digital.
Namun kenyataannya dunia usaha sangat sulit bahkan sekedar untuk mendapatkan 1 orang tenaga IT developer yang yang siap bekerja saja, di tengah puluhan ribu lulusan yang dilahirkan setiap tahun oleh Perguruan Tinggi. Ini baru menyangkut satu keahlian, lalu bagaimana dengan bidang keahlian pertanian, perkebunan, perdagangan, perikanan, dan bidang keahlian yang lain?
Pendidikan di Indonesia yang kerap dikritik belum bisa mengantarkan konsep “link and match” harus berbenah diri, bagaimana pendidikan di Indonesia dapat mengantarkan generasi yang siap mengisi kehidupan, siap berpartisipasi dalam berbagai sektor pembangunan. Indonesia, yang dikarunia berbagai kekayaan alam yang melimpah hingga hari ini belum mampu menjadikan kekayaan alamnya sebagai alat untuk kesejahteraan anak bangsanya.
Bangsa ini kedodoran menghadapi derasnya arus globalisasi, bahkan semakin kesini ekonomi semakin liberal, kapitalisme semakin mendapat tempat merangsek berbagai sektor, membuat ruang gerak masyarakat semakin sempit dalam partisipasi ekonomi.
Apa yang dilakukan oleh STIT Al-Islah adalah sebuah inspirasi, para pimpinan inistitusi ini mampu melihat benang merah persoalan yang dihadapi anak bangsa dan merumuskan bagaimana menjawab persoalan tersebut melalui pendidikan yang dilakukan sehingga menghasilkan lulusan yang siap hidup.
Institusi ini bisa menarik kesimpulan dimana kejayaan sebuah bangsa tidak serta merta terletak pada seberapa hebat kekayaan alamnya, namun terlebih adalah pada pembangunan karakter anak bangsanya.
Pembangunan karakter, di situlah letak pendidikan yang sesunggungnya, itulah yang disebut Tarbiyah. STIT mengimplementasikan Tarbiyah secara utuh, memaknai pendidikan secara utuh. Bahwa pendidikan tidak sekedar pengajaran, pendidikan meliputi pembangunan karakter, dimana keahlian hidup menjadi bagian yang tidak terpisahkan darinya.
STIT Al-Islah adalah institusi yang berada di tengah pondok pesantren Al-Islah, kota Bondowoso, Jawa Timur. Sebuah pondok berpengaruh yang dipimpin oleh seorang kyai visioner bernama KH. Thoha Yusuf Zakariya, Lc. STIT Al-Islah dipimpin oleh H. Muhammad Malik, M. Ag, sosok sederhana yang turut melahirkan institusi ini.
Jadi, kalau para mahasiswa mengartikan STIT ini dengan sebutan yang bermacam macam, saya sendiri lebih cocok menyebut STIT sebagai sebuah Sekolah Tinggi Ilmu Kehidupan.*
Presiden Indonesia Islamic Forum (IIBF)