LEBIH dari setengah abad lamanya, setelah bangsa-bangsa Muslim memperoleh kemerdekaannya (baca: umat), nasib mereka –secara umum– tampaknya belum membaik secara total. Kemiskinan, keterbelakangan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, penindasan baik oleh bangsa sendiri maupun oleh bangsa lain masih saja menjadi gejala umum dari umat. Beberapa negara Muslim boleh saja bangga dengan kemakmuran yang mereka peroleh. Tetapi faktanya, kemakmuran mereka tersebut sangat bergantung dengan teknologi, modal dan sistem yang “dipinjamkan” oleh oleh negara lain kepada mereka, sehingga jika saja negara lain tersebut mengembargo atau menarik sedikit saja teknologi dan modal yang mereka “pinjamkan” itu, segera beberapa negara Muslim tersebut tidak berdaya mengatasinya. Anehnya, para pemimpin negara-negara Muslim tersebut membiarkan saja ketergantungan mereka yang fatal itu tanpa ada upaya radikal dan signifikan untuk mengatasinya.
Memang mengharapkan perbaikan nasib umat kepada pemimpin formal negara seperti Presiden atau Perdana Menteri, rasanya tidak mungkin. Disebabkan sekularisasi budaya yang begitu massif dan nyaris mapan, para pemimpin formal umat umumnya gagal meletakkan diri sebagai representasi aspirasi Muslim yang genuine.
Mereka lebih suka menampilkan diri di seberang aspirasi umat akibat latar belakang pandangan politik sekuler mereka yang kuat. Walhasil kepemimpinan mereka terhadap umat tampak ambigu, tidak pernah solid dan sulit diterima secara luas dan memuaskan. Akhirnya yang mengisi kekosongan kepemimpinan umat adalah tokoh-tokoh informal religius seperti ulama.
Sayangnya, tokoh-tokoh informal religius ini tidak banyak berdaya mengefektifkan kepemimpinannya dalam mengemansipasi umat. Umumnya, disebabkan dua faktor. Pertama, bahwa tokoh-tokoh informal religius tersebut tidak memiliki wewenang yang sah secara undang-undang yang berlaku seperti halnya pemimpin-pemimpin formal negara. Kedua, banyak dari tokoh-tokoh tersebut tidak memiliki tipe intelektual organis—meninjam istilah Gramsci—dan hanya kuat dalam wilayah ilmu-ilmu Islam tradisional, sehingga mereka mengalami kegagapan baik di dalam mengoperasikan kepemimpinannya secara strategis, maupun ketika berhadapan dengan tantangan intelektual dari musuh-musuh umat.
Akibat dari situasi ini, umat terperangkap dalam kebingungan. Bingung hendak kemana sebaiknya kesetiaan dan kepatuhan mereka diberikan: apakah kepada pemimpin formal atau kepada pemimpin informal. Dalam situasi kebingungan ini, umat terlempar ke dalam kondisi terlantar, kehilangan arah, dan tidak terurus. Masing-masing dari mereka mencari sendiri tempat untuk berlindung. Nasib umat hampir seperti kawanan domba yang kehilangan penggembala, penulis menyebutnya dengan istilah “yatim”.
Dalam “keyatiman” sosial ini, umat tidak sepenuhnya putus ikatan dengan Islam dan bahkan diantara mereka secara kreatif berjuang melestarikan hubungan spritual mereka dengan Islam meskipun mereka tidak memiliki “ayah” yang melindungi dan mengarahkan jalan mereka.
Kedengkian Politik
Seperti yang kita tahu, keyatiman adalah sebuah kondisi bagi anak yang kehilangan wali terdekatnya, yaitu ayah. Fakta ini, penulis samakan dengan kondisi umat saat ini. Umat tidak memiliki wali yang bertindak melindungi, baik melindungi jiwa maupun harta mereka. Akhirnya, banyak nyawa dan harta kekayaan umat terlantar begitu saja, dan bahkan ada yang secara licik dan kasar mencuri dan menjarahnya tanpa ada perlawanan apa pun dari barisan umat.
Realitas keyatiman umat ini telah lama berlangsung sejak era Khulafa al-Rasyidin berakhir. Dan lebih mencolok lagi, sejak urusan umat dipisahkan secara tegas dengan urusan negara, khususnya di era nation state dewasa ini. Akibatnya adalah umat terisolir, terlemahkan secara politik, dan akhirnya mengalami penguraian.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “urai” berarti lepas terbuka, bercerai-berai, tidak bersimpul dan tidak padat. Demikian pulalah realitas umat dewasa ini. Karena itu, aksi yang perlu dilakukan untuk memecahkan masalah umat adalah mensenyawakan kembali. Ini mirip pekerjaan seorang ahli kimia: kapan harus mengurai, dan kapan harus mensenyawakan.
Secara faktual umat sebagai pengikut jalan Muhammad merupakan satu kesatuan sosial, ekonomi, budaya, spritual dan politik. Tapi politik berbasis sekularisme telah mengurai umat dari kesatuan ikatannya yang asli. Sebagian unsur dari umat bergerak mengikatkan diri kepada nasionalisme dan paham-paham politik baru di luar Islam. Sebagian lagi mengambang di antara tarikan magnetis nasionalisme dan sejenisnya dengan tarikan Islam. Namun ada juga sebagian yang tetap kuat terikat kepada Islam, kebal dari proses penguraian. Bagian yang terakhir ini amat ditakuti karena berpotensi menarik kembali unsur-unsur umat yang telah bercerai-berai hingga membentuk senyawa umat. Barangkali musuh-musuh politik umat mengerti betul tentang hal ini sehingga mereka berupaya sekuatnya agar proses persenyawaan kembali tersebut tidak pernah terjadi.
Seandainya bukan karena kecemburuan dan kedengkian politik –baik yang berkala regional atau internasional– usaha umat membangun sendiri ikatan mereka itu tentunya sudah lama terwujud. Namun kita menyaksikan, selalu saja upaya semacam itu dihalang-halangi bahkan dipadamkan secara kasar bahkan kejam. Kasus FIS di Aljazair tahun 1991 dan HAMAS di Palestina tahun 2007.
Untuk melancarkan persenyawaan kembali unsur-unsur umat dan membesarkan daya eksistensialnya, diperlukan kekuatan yang berfungsi melindungi. Kekuatan itu lebih dari sosok barisan tentara pelindung, tetapi sosok “ayah” yang tidak hanya melindungi, namun juga mengarahkan.
Menemukan sosok “ayah” untuk umat tersebut pada waktunya akan tiba selagi kondisi “keyatiman” itu disadari sendiri oleh umat. Sosok “ayah” untuk umat akan hadir jika umat sudah ingin melepaskan diri dari derita “keyatiman” tersebut. Masalahnya, siapakah dan kapankah “ayah” umat itu akan muncul? Wallahua’lam bishshawab
Penulis adalah Sekretaris Yayasan Bumi Ummah Center