Oleh: Harda Armayanto
RESOLUSI Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK-PBB) 1973/2011 menjadi green light bagi pasukan Koalisi yang dipimpin Amerika untuk menggempur Libya.
Sesuai mandat Resolusi tersebut operasi militer itu bertujuan untuk mengurangi kekuatan rezim Muammar Qadhafi di bidang militer, yaitu perintah gencatan senjata, penerapan zona larangan terbang, dan embargo senjata, dan di bidang ekonomi, yakni pembekuan aset Muammar Qadhafi dan keluarganya.
Di luar dari mandat itu, alasan lain dari misi ini sesuai yang diungkap dalam wawancara yang dilakukan Republika, Kamis, (24/03) dengan Ted Osius, Wakil Dubes AS untuk Indonesia, adalah bahwa penyerangan ini berdasarkan pada prinsip universal di mana kebrutalan terhadap warga sipil tidak dapat diterima dan tidak dapat ditoleransi.
Pengusungan isu Hak Asasi Manusia (HAM) dari kelompok koalisi ini menjadikan penyerangan yang dilakukan seolah semakin humanis. Artinya, apa yang dilakukan saat ini terhadap Libya semata-mata untuk melindungi rakyat sipil dari kesewenang-wenangan Muammar Qadhafi. Padahal faktanya, malah yang banyak menjadi korban adalah warga sipil Libya yang tidak berdosa.
Terlepas dari jumlah korban di atas, intervensi militer Barat pimpinan Amerika Serikat di Libya ini telah memunculkan masalah baru, apakah isu HAM dapat seenaknya menyerang suatu negara berdaulat? Dan bahkan melanggar HAM warga sipil Libya yang tak berdosa?
HAM versi Amerika-Sekutu
Pada tanggal 10 Desember 1948, melalui resolusi 217 A (III) Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia. Deklarasi ini muncul atas dasar (i) bahwa pengakuan atas martabat yang melekat pada dan hak-hak yang sama dan tidak dapat dicabut dari semua anggota keluarga manusia adalah landasan bagi kebebasan, keadilan dan perdamaian di dunia; (ii) bahwa pengabaian dan penghinaan terhadap hak asasi manusia telah mengakibatkan tindakan-tindakan keji yang membuat berang nurani manusia, dan terbentuknya suatu dunia dimana manusia akan menikmati kebebasan berbicara dan berkeyakinan, serta kebebasan dari ketakutan dan kekurangan telah dinyatakan sebagai aspirasi tertinggi manusia pada umumnya; (iii) bahwa sangat penting untuk melindungi hak-hak asasi manusia dengan peraturan hukum supaya orang tidak akan terpaksa memilih jalan pemberontakan sebagai usaha terakhir menentang tirani dan penindasan; (iv) bahwa sangat penting untuk memajukan hubungan persahabatan antar bangsa-bangsa; (v) bahwa bangsa-bangsa dari Perserikatan Bangsa-Bangsa di dalam Piagam PBB telah menegaskan kembali kepercayaan mereka terhadap hak asasi manusia yang mendasar, terhadap martabat dan nilai setiap manusia, dan terhadap persamaan hak laki-laki dan perempuan, dan telah mendorong kemajuan sosial dan standar kehidupan yang lebih baik dalam kebebasan yang lebih luas; (vi) bahwa bekerja sama dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Negara Pihak telah berjanji mencapai kemajuan universal dalam penghormatan dan ketaatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan dasar, (vii) bahwa pemahaman yang sama tentang hak-hak dan kebebasan ini sangat penting dalam untuk mewujudkan janji tersebut sepenuhnya.
Bukan hanya Deklarasi Universal HAM di atas saja yang telah dihasilkan oleh PBB, ada beberapa perjanjian lain tentang HAM yang telah dihasilkan seperti perjanjian Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, perjanjian Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (1966), dan Deklarasi Wina (1993). Dalam Deklarasi Wina tercapai konsensus bahwa hak asasi memiliki sifat yang universal, sekalipun dalam implementasinya terdapat perbedaan di masing-masing negara.
Apa yang yang menjadi pijakan dalam Deklarasi PBB di atas sudah sesuai dengan fitrah insaniyah, di mana setiap individu harus memiliki hak untuk dilindungi diri dan kehidupannya. Akan tetapi isu HAM yang digemakan negara-negara Barat telah berubah fungsi melegitimasi meraka turut campur dalam masalah-masalah internal di beberapa negara selainnya. HAM yang awalnya untuk menjaga hak-hak asasi individu akhirnya bergeser untuk ‘mensetir’ individu lain agar menurut. Inilah sebenarnya wujud universal HAM yang diinginkan Barat, yakni sesuai selera pemikiran dan standar yang mereka buat.
Dalam kasus Libya saat ini, label HAM standar Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya dijadikan ‘surat izin’ untuk menggempur dan menghancurankan. Bahkan lebih jauh, sebagaimana yang digemborkan Presiden Amerika Serikat Barack Husein Obama, digunakan untuk menggulingkan rezim Qadhafi.
Pernyataan Obama ini sangat bertentangan dengan mandat resolusi DK-PBB 1973/2011. Dalam kesepakatan penyerangan terhadap Libya hanya dilakukan untuk mencegah serangan lebih lanjut tentara rezim Muammar Qadhafi terhadap pemberontak dan melemahkan rezim di zona larangan terbang. Artinya, secara sepihak dan atas dasar HAM, penyerangan tentara koalisi di Libya sudah tidak sah karena keluar dari instruksi mandat resolusi dan bahkan menghancurkan kedaulatan negara Libya.
Dalam hukum internasional dikenal prinsip non-intervensi kedaulatan sebuah negara kecuali adanya kewenangan dari Dewan Keamanan PBB untuk merespons segala ancaman terhadap perdamaian dan keamanan dunia.
Dalam kasus Libya, kekerasan yang dilakukan militer Qadhafi adalah untuk menghancurkan kaum pemberontak. Kembali ke hukum internasional, terdapat larangan intervensi dengan tujuan untuk membantu pemberontakan di sebuah negara berdaulat, kecuali apabila kaum pemberontak telah dapat menguasai dan mengontrol secara efektif wilayah negara. Adapun di Libya saat ini, kaum pemberontak belum dapat dikategorikan telah dapat menguasai dan mengontrol wilayah negara Libya secara efektif (Pudak Nayati, Republika, 23/03/2011).
Tidak untuk Menjajah
Sebenarnya, tidak hanya pada kasus Libya saja Amerika Serikat dan sekutunya menggunakan isu HAM untuk menggempur dan menghancurkan negara lain. Iraq dan Afganistan adalah contoh nyata perbuatan mereka. Walaupun dunia sepakat bahwa penumpasan yang dilakukan Qadhafi terhadap pemberontak secara membabi-buta tidak dibenarkan, tapi menghancurkan kedaulatan Libya sebagaimana yang dilakukan tentara koalisi juga tidak dibenarkan.
Apalagi nyata saat ini yang banyak menjadi korban di Libya adalah warga sipil yang tak bedosa. HAM telah berubah wujud dalam penggunaannya di tangan tentara Koalisi. Atas dasar HAM Amerika dan sekutunya berhak menjajah negara lain, dan atas dasar HAM versi mereka pula HAM warga masyarakat dan negara lain menjadi korban.
Penulis alumni ISID Gontor, koordinator CIOS, kini melanjutkan kuliah S2 di UGM Magister Kajian Timur Tengah