Oleh: Jen’nan Ghazal Read
Memasuki bulan September ini, saat orang Amerika menyadari bahwa Muslim hidup di negeri mereka. Mungkin Anda sudah membaca berita-berita yang menyoroti bulan suci umat Islam, Ramadhan, yang dimulai tanggal 21 Agustus dan akan berakhir pada tanggal 19 September. Tak lama kemudian kita juga akan mendengar dan membaca cerita “apa yang terjadi dengan Muslim”, karena sebentar lagi perayaan peringatan serangan 11 September.
Menurut saya ada semacam kemajuan yang aneh, melihat banyak orang Amerika kembali tidak memperdulikan orang Muslim dan mereka tidak lagi khawatir memikirkan, apakah mereka mungkin akan dibunuh oleh orang-orang Muslim. Ketakutan dan prasangka orang Amerika terhadap Muslim Amerika akibat serangan itu sudah agak surut berangsur-angsur.
Jadi sekarang, saat komunitas ini kembali sedang mendapat sorotan, adalah saat yang tepat untuk bertanya kepada diri kita sendiri, seberapa jauh Muslim Amerika sebenarnya memiliki kehidupan sosial dan ekonomi yang sama seperti orang Amerika lainnya. Jawaban singkatnya adalah: banyak.
Banyak sekali penelitian yang menunjukkan bahwa mereka memiliki derajat pendidikan dan pendapatan yang cukup tinggi, dan mereka peduli mengenai masalah ekonomi, reformasi kesehatan, dan isu-isu lain yang sedang hangat sekarang ini, sama halnya dengan orang Amerika lainnya.
Sebagai seorang yang mempelajari populasi Muslim Amerika, saya sangat terkesan dengan meningkatnya kemajuan atas pertanyaan-pertanyaan yang saya dapat dari para wartawan dan pihak lainnya, khususnya dalam tahun ini. Saya mendengar ada kemajuan dalam tingkat pemahaman terhadap keyakinan agama Muslim dan praktik keagamaan mereka, dan bagaimana orang Islam berupaya menyesuaikan diri dengan kehidupan dalam negeri mereka. Dibandingkan beberapa tahun lalu, pertanyaan-pertanyaan yang muncul kebanyakan seputar stereotipe Muslim sebagai penindas wanita yang beringas, hanya memikirkan dirinya sendiri, dan tidak rasional.
Namun, saya masih sulit membayangkan jika para cendekiawan yang mempelajari Kristen Amerika mendapat banyak telepon menanyakan tentang hari raya keagamaan mereka, seperti Natal, misalnya dari wartawan yang bertanya, “Hey, bagaimana dengan orang-orang Kristen?” Meskipun saya bisa memahami dan menaruh minat terhadap maksud di balik pertanyaan seperti itu, dan berharap agar dialog bisa membantu mendidik masyarakat, saya masih melihat adanya implikasi yang menyatakan bahwa Muslim adalah “orang lain.” Mereka dilihat sebagai bagian di luar dari kehidupan masyarakat Amerika pada umumnya, meskipun fakta membuktikan sebaliknya.
Dengan kata lain, saya bertanya-tanya, apakah kemajuan yang ada sekarang ini superfisial, tidak sebenarnya. Jika ada lagi serangan teroris, seberapa cepat orang Amerika akan kembali pada sikap ketakutan mereka dan menolak mengakui bahwa Muslim Amerika sebenarnya sama seperti mereka, yaitu pekerja keras yang memiliki keluarga, tanggungan rumah, tempat ibadah, dan beberapa di antaranya juga melakukan perbuatan sangat buruk?
Ramadhan adalah hari-hari suci keagamaan, sama seperti hari suci dalam tradisi agama lainnya. Perbedaan yang mencolok dengan hari suci agama lain adalah, waktunya yang menggunakan perhitungan hari berdasarkan penanggalan bulan. Oleh karena dalam beberapa pekan ini kita akan banyak mendengar tentang itu, saya berharap masyarakat Amerika akan menghargai semangat yang terkandung di dalam bulan tersebut, dan bisa menerima bahwa Muslim adalah bagian integral dari keluarga besar negeri ini–dan negeri kita lebih baik karena memilikinya.
Ketika Presiden Obama berbicara di depan para mahasiswa di Mesir awal musim panas, ia membuat banyak orang tercengang dengan mengatakan, “Sejak berdirinya negara kami, Muslim Amerika telah memperkaya Amerika Serikat. Mereka ikut bertempur dalam peperangan kami, berbakti dalam pemerintahan, berdiri membela hak-hak rakyat, melakukan bisnis, mengajar di universitas-unversitas kami, berprestasi di arena olahraga kami, memenangkan penghargaan Nobel, membangun bangunan-bangunan tertinggi kami, dan menyalakan api Olimpiade.”
Pesan Obama bahwa “Islam merupakan bagian dari Amerika” perlu diulang-ulang terus di dalam negeri kita (Amerika), tidak hanya selama beberapa pekan ini. Saya yakin hal itu akan didengar jika saya juga mendapat kesempatan untuk diwawancarai media dalam 11 bulan lainnya di satu tahun.
Penulis adalah profesor bidang sosiologi dan kesehatan global di Duke University, pakar tentang Muslim Amerika dan masalah pilpres Amerika 2008. Tulisan ini dimuat di Philadelphia Inquirer