Oleh: Musthafa Luthfi
PEMANDANGAN yang tidak terlupakan beberapa saat setelah tumbangnya rejim Hosni Mubarak di Mesir adalah suasana gembira hampir seluruh rakyat negeri itu dengan berbagai teriakan yang direkam oleh media massa manca negara. Salah satu suara yang sempat terekam berasal teriakan bahagia seorang ibu yang sering diulang-ulang oleh TV Aljazeera adalah “mafisy khouf thani-mafisy khouf thani” (tidak ada lagi rasa takut – tidak ada lagi rasa takut).
Meskipun Tunisia yang lebih dahulu membukukan keberhasilan revolusi rakyat, namun Mesir kelihatannya lebih siap dengan agenda perubahan yang telah dicanangkan. Sementara sejumlah negara Arab lainnya, seperti Libya, Yaman, Suriah dan Yordania masih dilanda “badai” perubahan yang belum jelas kapan berhasil, bahkan sebagian terpaksa mengundang intervensi asing seperti yang terjadi di Libya. Belum lagi zionis Israel yang selalu memanfaatkan situasi di dunia Arab untuk membantai rakyat Palestina.
Untuk sementara waktu, kita tinggalkan dahulu hiruk pikuk tuntutan perubahan di sejumlah negara Arab lainnya untuk kita fokuskan dalam tulisan ringan ini hasil referendum di Mesir. Salah satu implementasi dari tidak ada lagi rasa takut seperti disebutkan diatas, adalah kebebasan menyatakan suara dalam referendum konstitusi yang telah diamendmen, yang pertama sejak tumbangnya rejim bahkan disebut sebagai yang paling jurdil dalam 50 tahun belakangan ini di negeri Piramida itu.
Seperti telah diduga sebelum referendum berlangsung, suara “Na`am” (ya tanda menyetujui) bakal menang dari suara “Laa” (tidak menyetujui), namun penulis sendiri tidak membayangkan bila kemenangan “na`am” pada referendum yang berlangsung Sabtu (19/3) itu demikian telak meskipun kubu yang menolak konstitusi tersebut demikian gencar berkampnye terutama dari kalangan kaum muda yang menjadi motor revolusi yang meletus 25 Januari 2011 sehingga dikenal setelahnya sebagai revolusi 25 Januari. Kubu yang menolak ini, juga didukung tokoh-tokoh liberal semacam Dr. Mohammed Albaradae disamping parpol-parpol liberal.
Sementara kubu “na`am” utamanya didukung oleh Ikhwanul Muslimun (IM) dan parpol-parpol Islamis kecil lainnya sehingga sebelum referendum dilaksanakan terkesan terjadi persaingan ketat antara kubu Islamis di satu pihak melawan kubu liberal dan sekuler di lain pihak. Saking panasnya persaingan tersebut sehingga referendum itu dianggap sebagai ma`rakah dusturiah (perang konstitusi) antara dua kubu yang bersaing ini.
Hasil akhir menunjukkan bahwa suara yang menyatakan “na`am” sebanyak 77 %, yang menyatakan “laa” 23 % yang selanjutnya Dewan Tinggi Militer Mesir mengumumkan pada Rabu (23/3) hasil referendum tersebut dan mengakuinya sebagai konstitusi sementara sampai pelaksanaan pemilihan legislatif dan presiden mendatang. Paling tidak beberapa alasan berikut ini (baik kubu na`am maupun laa) menjadi bahan pertimbangan para pemilih di negeri itu, sehingga suara menyetujui menang mutlak dari suara yang menolak.
Setidaknya ada lima alasan utama untuk memilih “na`am” yaitu” pertama, sebagai upaya untuk menghadang kemungkinan terjadi kontra revolusi dan mengakhiri kekacauan serta destabilitas nasional. Alasan kedua; adalah, amendmen konstitusi tersebut mengharuskan presiden terpilih dan parlemen mendatang membuat konstitusi baru dalam jangkan waktu enam bulan setelah pemilu.
Alasan ketiga, kubu “na`am” adalah, pembatalan pasal khusus tentang terorisme yang selama ini dijadikan dalih bagi amn daulah (keamanan nasional) menangkap dan menyiksa siapa saja yang dianggap membahayakan rejim. Alasan keempat adalah, rakyat yang akan menentukan pelaksanaan keadaan darurat, sementara alasan kelima yakni, konstitusi yang diamendmen ini mengharuskan Presiden terpilih menunjuk Wapres dan masa jabatannya hanya dua periode dan setiap periode empat tahun.
Sedangkan alasan kubu “laa” juga setidaknya ada lima, pertama, kejatuhan rejim yang tidak dibarengi pembatalan konstitusi lama (meskipun telah diamendmen) tidak ada gunanya karena rejim dan konstitusi bagian yang tak terpisahkan. Alasan kedua adalah, konstitusi berada di tangan presiden terpilih nantinya yang memiliki wewenang luas sehingga dikhawatirkan kondisnya kembali seperti rejim otoriter sebelumnya.
Adapun alasan ketiga kubu “laa” adalah, parpol-parpol yang siap bersaing dalam pemilu mendatang sangat sedikit, sebagian besar belum siap. Sementara alasan keempat yaitu, sebagian dari tokoh Mesir yang disebut-sebut menjadi Capres memiliki warga negara asing sehingga bila menyetujui konstitusi ini mereka bakal tidak bisa terpilih sebagai Capres. Sedangkan alasan kelima adalah, komisi pengawas pilpres tidak ada yang mengawasinya dan tidak ada badan banding untuk menyelesaikan pengaduan.
Paling tidak itulah pokok-pokok alasan utama dari masing-masing kubu yang setuju dan yang menentang konstitusi yang sejumlah pasalnya (9 pasal) yang selama ini dianggap sebagai alat penguasa untuk melakukan pemerintanan tangan besi telah dihapus. Meskipun kubu penentang didukung oleh sebagian besar parpol dan tokoh liberal disamping tokoh-tokoh kaum muda penggerak revolusi, namun akhirnya kalah juga.
Dari hasil debat dua kubu yang penulis ikuti menjelang referendum berlangsung, pada dasarnya kedua kubu menuntut konstitusi baru namun mereka berbeda pandangan cara memulainya. Kubu yang menyetujui konstitusi lama yang telah diubah, menginginkan pemilu terlebih dahulu sebelum membuat konstitusi baru sementara kubu penentang menginginkan konstitusi baru dahulu sebelum pemilu dilangsungkan.
Pemulihan stabilitas
Kemenangan kubu yang menyetujui tersebut oleh sebagian pihak dinilai sebagai kemenangan kubu Islam terutama Al Ikhwan al Muslimun yang selama ini sebagai opisisi utama rejim lama meskipun masuk parlemen atas nama calon-calon independen. Kemenangan tersebut sebagai barometer kepercayaan rakyat terhadap gerakan tersebut yang telah dilarang secara politis oleh penguasa sejak zaman Presiden Gamal Abdel Nasser pada 1954.
Sebagian pengamat lainnya menyebutkan hasil referendum tersebut dengan menyatakan “kaum muda penggerak revolusi akhirnya tidak bisa memetik keberhasilan revolusi mereka“. Sebagian lainnya menyebutkan bahwa “bulan madu“ antara kaum muda penggerak revolusi yang memilih “laa“ dengan Ikhwanul Muslimun yang memilih “na`am“ berakhir.
Ada juga pihak yang melihat kegigihan IM dan parpol-parpol pendukungnya untuk menyetujui konstitusi lama yang telah diubah itu, untuk menjamin tetapnya pasal 2 konstitusi tersebut yang menyebutkan Syariat Islam sebagai sumber dari segala sumber hukum negara. Berbagai dugaan tersebut boleh-boleh saja, namun yang terpenting dicatat menyangkut era perubahan di negeri Lembah Nil itu bahwa kedua kubu, sebelum referendum berlangsung, telah mendeklarasikan sikap menerima apapun hasilnya.
Sikap legowo masing-masing kubu tersebut yang dibuktikan pula setelah hasil akhir referendum diumumkan, menandakan bahwa para tokoh dan rakyat negeri itu memang sudah siap meninggalkan masa lalu dan membuka lembaran baru, terlepas dari kubu manapun yang lebih berpeluang memegang kendali kekuasaan dalam fase-fase pertama pasca rejim Mubarak, dalam empat tahun ke depan pasca pemilu legisltaif dan presiden mendatang yang direncanakan pada bulan September 2011.
Menyangkut berbagai dugaan terkait hasil referendum dimaksud, sebagian ada benarnya terutama yang terkait dengan pengaruh IM di Mesir yang tetap besar meskipun telah dipasung selama 57 tahun. Dalam beberapa tulisan sebelumnya, saya telah menyebutkan bahwa gerakan ini yang paling siap mengisi perubahan setelah rejim lama tumbang, karena disamping pengalaman sebagai oposisi terbesar selama ini, juga memiliki basis yang kuat dalam masyarakat Mesir dibanding kubu liberal dan sekuler.
Sebagai gerakan yang lebih dari setengah abad dizalimi penguasa dengan berbagai tuduhan namun tetap eksis dan memiliki basis kuat di tengah masyarakat disamping menjadi oposisi utama menghadapi pemerintahan tangan besi selama ini, maka sangat logis bila sikap IM mendapat dukungan lebih besar karena rakyat Mesir memahami bahwa gerakan inilah yang paling banyak “makan asam garam“ perpolitikan di negeri itu.
Seperti diketahui, alasan utama gerakan IM dan parpol-parpol pendukungnya yang berhaluan Islamis memilih “ya“, selain untuk mempercepat kembalinya angkatan bersenjata ke kamp mereka, juga sebagai jalan yang lebih cepat untuk segera menyusun konstitusi baru setelah pemilihan parlemen dan presiden hingga terbentuknya pemerintan sipil sebagaimana tuntutan revolusi. Bila memilih “tidak“ maka dikhawatirkan akan memperpanjang masa kekuasaan militer.
Dari berbagai dugaan dan alasan yang dikemukan diatas, penulis melihat bahwa kemenangan “na`am“ sejatinya sebagai bentuk dukungan rakyat terhadap percepatan pemulihan stabilitas sehingga perputaran roda kehidupan politik dan kembalinya kehidupan sehari-hari kembali normal lewat pemilu parlemen dan presiden yang lebih cepat. Bila dibandingkan dengan memilih “laa“ yang memperlamban pemulihan dimaksud karena paling tidak militer masih akan memegang kendali selama dua tahun.
Suara mayoritas “na`am“ juga membersitkan trauma rakyat terhadap pengalaman tahun 1954, yang saat itu banyak tokoh yang menolak dipercepatnya perubahan dengan alasan khawatir kembalinya parpol-parpol lama yang masih loyal terhadap Raja, sehingga kendali pemerintah tetap berada di tangan militer dan terus bertahan selama 57 tahun hingga jatuhnya rejim Mubarak 11 Februari lalu.
Rakyat tidak menginginkan pengalaman pahit yang membuat mereka terpasung kebebasannya selama lebih dari setengah abad itu terulang lagi meskipun dalam bentuk lain, gara-gara alasan khawatir fulul (sisa-sisa partai berkuasa yang telah keok) kembali mendapatkan tempat yang luas di era perubahan ini disamping dalih kekuatan politik lama yang lebih siap (dalam hal ini IM) saja nantinya yang diuntungkan.
Tidak mudah
Hasil referendum tersebut juga menunjukkan kemenangan aspirasi rakyat sesungguhnya yang untuk pertama kali melaksanakan haknya secara jurdil tanpa campur tangan amn daulah dan intervensi asing. Tentunya hal ini sebagai buah dari revolusi rakyat yang tidak diboncengi kepentingan asing dalam hal ini dunia Barat yang bersekutu dengan Israel.
Karenanya tidak mudak bagi Barat menancapkan pengaruhnya lewat tokoh-tokoh liberal yang mencuat namanya selama revolusi berlangsung seperti Mohammed Elbaradae, mantan Direktur Badan Energi Ataom Internasional (IAEA) atau Amr Moussa, Sekjen Liga Arab. Pengaruh kedua tokoh ini yang menyuarakan “tidak“ dalam referendum tersebut yang diduga sangat menentukan, ternyata tidak terbukti.
Yang perlu dicatat pula, hasil referendum itu makin mengkhawatirkan zionis Israel akan beralihnya kekuasaan pasca Mubarak ke tangan kelompok Islamis dalam hal ini IM. Respon hasil referendum tersebut misalnya dinyatakan oleh harian Maariv, Israel yang menyebutkan hasil tersebut sebagai keuntungan IM dan menilainya sebagai batu sandungan ke arah demokrasi yang benar.
Sikap negeri zionis seperti yang dinyatakan salah satu harian terkemukanya itu merupakan lagu lama yang membuktikan kekhawatiran mereka terhadap setiap kemungkinan rejim yang akan berkuasa tidak dapat dijadikan sekutu di kemudian hari untuk kepentingan kelanggengan hegemoninya di kawasan. Alih kekuasaan secara damai dan sedemokratis apapun dalam timbangan demokrasi mereka, namun bila yang muncul adalah kekuatan yang tidak bisa diajak bersekutu maka pastilah dituduh tidak demokratis dan berbagai cap lainnya.
Tidak terlalu penting respon dari luar, yang lebih utama adalah semua pihak di dalam negeri menghormati hasil tersebut sebagai sikap rakyat Mesir yang kebetulan mayoritas beragama Islam. Jangan sampai hasil ini dijadikan sarana oleh kelompok liberal dan sekuler untuk melakukan kampanye terorganisir menyudutkan gerakan Islam di negeri itu yang justeru dapat berakibat kontra produktif terhadap masa depan perubahan di negeri Al-Azhar itu. Wallahu A`lam.*/ Sana`a, 21 R. Thani 1432 H
Penulis kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Yaman