Oleh: Musthafa Luthfi
TULISAN sederhana di bawah ini saya persembahkan kepada saudara-saudaraku alumni Pondok Modern Gontor 1985 yang melangsungkan Reuni Nasional di Pondok Gontor dari Jumat-Ahad (18-20 Januari 2013) ini.
Seperti salah satu ungkapan singkat yang sering kita dengar bila banyak bergaul dengan orang Arab yakni “shaa al-qodr” (demikianlah takdir Allah). Agaknya itulah gambaran yang tepat yang mungkin pantas saya catat tentang sebahagian dari samudera kehidupan yang sempat saya alami menjelang kelulusan dari Pondok Modern Gontor (PMG) pada 1985 dan menjelang kembali ke tanah air pasca “Arab Spring” sekitar 27 tahun kemudian.
Takdir Allah yang dimaksud adalah perubahan zaman yang mustahil ditolak umat manusia karena sudah menjadi sunnatullah dan takdir Yang Maha Kuasa. Setiap peristiwa tidak ada yang terjadi secara kebetulan namun semuanya sebagai kehendak (iradah) dan rekayasa (takdir) Allah Yang Maha Mengetahui.
وَعِندَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لاَ يَعْلَمُهَا إِلاَّ هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِن وَرَقَةٍ إِلاَّ يَعْلَمُهَا وَلاَ حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الأَرْضِ وَلاَ رَطْبٍ وَلاَ يَابِسٍ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مُّبِينٍ
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya, dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata.” (QS: al-An’am [6]: 59).
Demikian pula dengan jalan hidup-ku yang “shaa al-qodr” bertemu dengan dua zaman menjelang perpindahan dari satu fase pengalaman hidup ke pengalaman hidup berikutnya. Pengalaman pertama adalah menjelang tamat di PMG pada 1985 ketika sunnatullah yang tidak mungkin ditolak itu terjadi dengan kepergian pendiri terakhir dari tiga pendiri PMG yang dikenal dengan istilah Trimurti.
Dengan dipanggilnya KH. Imam Zarkasyi Allahu yarham oleh Yang Maha Kekal beberapa bulan sebelum marhalah (angkatan) tahun 1985 menyelesaikan pendidikan di kampung damai (Darussalam), demikian sebutan lainnya PMG, tongkat estapet beralih ke generasi berikutnya. Badan Wakaf melimpahkan amanah kepada generasi Trimurti berikutnya yakni tiga pimpinan sebagaimana sunnah pimpinan pendiri PMG.
Tongkat estapet kepemimpinan PMG pasca Trimurti generasi pertama itu diemban dengan baik oleh Trimurti berikutnya yakni KH. Soiman Luqmanul Hakim, KH. Abdullah Syukri Zarkasyi dan KH. Hasan Abdullah Sahal. Demikianlah seterusnya, ketika salah seorang dari Trimurti dipanggil menghadap Yang Maha Kuasa, maka diganti dengan salah seorang alumni lainnya sehingga selalu berjumlah tiga pimpinan kolektif.
Demikianlah seterusnya mengingat PMG mungkin tidak seperti ponpes-ponpes lainnya di Indonesia, sebab PMG bukan lagi milik kiyai dan keturunannya tapi sudah menjadi wakaf bagi kaum Muslimin sehingga Badan Wakaf PMG adalah badan tertinggi. Badan inilah yang melakukan musyawarah untuk memilih alumni dari kader terbaik dan mumpuni PMG, baik yang masih keturunan kiyai/pendiri maupun dari alumni bukan keturunan kiai.
Kembali ke istilah dua zaman yang dicuatkan oleh rekan-rekan alumni 1985, cerita singkatnya adalah, ketika para santri telah berhasil mencapai kelas terakhir (kelas VI), itulah prestasi yang tidak mudah untuk diraih. Apabila naik kelas lancar, maka kelas enam ditempuh antara empat hingga enam tahun, empat tahun bagi kelas intensif (bagi yang masuk pondok tamatan SLTP) dan enam tahun bagi kelas biasa (tamatan SD).
Kalo boleh saya tamsilkan santri kelas enam, ibarat bahan tambang emas, setelah melalui proses penyaringan bahan-bahan mentah maka hasilnya adalah emas murni (kelas enam) yang siap dipasarkan ke publik. Saat di kelas enam inilah kita benar-benar merasakan kasih sayang Pak Kiyai bukan sekedar dalam kapasitas sebagai kiyai dan guru tapi juga terasa bagaikan orang tua bahkan lebih dari orang tua karena mungkin banyak santri yang merasakan kurangnya perhatian orang tua, terutama bagi orang tua mereka yang sibuk dengan rutinitas kerja, pergi ke tempat tugas pagi-pagi buta karena khawatir macet dan balik malam hari saat anak-anak sudah tidur pulas.
Kasih sayang diungkapkan dalam bentuk pembekalan dan pencerahan, sehingga yang paling sering mendapat kehormatan bertemu kiyai untuk mendapat pembekalan tersebut adalah kelas enam yang akan segera menyebar keluar pondok sebagai duta-duta yang akan mengharumkan nama almamater dalam berbagai profesi yang mereka emban. Ibarat anak sulung, perhatian ini logis sebab sukses mereka akan jadi teladan adik-adik kelas mereka berikutnya.
Setelah mereka menyebar di berbagai pelosok tanah air dan sebagian di luar negeri, pimpinan pondok selalu berdoa bagi kebaikan mereka, tidak merasa lelah untuk terus memberikan pembekalan dan pencerahan serta tetap diusahakan untuk tidak putus kontak. Guna memudahkan kontak dan pemupukan jiwa ukhuwah diniyah sesama satu almamater itulah dibentuk sarana organisasi bernama IKPM (Ikatan Keluarga Pondok Modern) yang tersebar di tanah air dan luar negeri.
Bagi alumni 1985, mereka menyebutnya sebagai alumni dua zaman karena pada tahun inilah berlangsung masa transisi kepemimpinan di PMG setelah KH. Zarkasyi sebagai Trimurti pendiri terakhir dipanggil Sang Pencipta. Ketika duduk di kelas enam, alumni 1985 disambut oleh KH. Zarkasyi dan sempat beberapa bulan diasuh, kemudian menjelang kelulusan beliau wafat sehingga pada saat pelepasan dilakukan oleh KH. Abdullah Syukri Zarkasyi sebagai salah satu pimpinan generasi Trimurti berikutnya.
Fondasi kokoh
Masa transisi di PMG pada 1985 berlangsung mulus dan lancar sehingga kurang dari tiga dekade sudah menunjukkan kemajuan yang dapat dikatakan luar biasa dengan berdirinya cabang-cabang di berbagai daerah disamping puluhan pondok alumni. Demikian pula halnya dengan pengembangan perguruan tinggi yang dikelola pondok serta jalinan kerjasama dengan sejumlah perguruan tinggi terkemuka di tanah air dan manca negara.
Alih nakhoda kepemimpinan ini mulus dan lancar karena memang para pendiri telah meletakkan fondasi yang kokoh bagi kelanjutan dan kemajuan pondok di masa mendatang sehingga suatu saat kelak akan tercapai cita-cita untuk menjadikannya sebagai salah satu perguruan Islam terkemuka dunia seperti halnya Al-Azhar Al-Sharif di Mesir.
Merupakan tugas mulia meskipun cukup berat untuk mewujudkan cita-cita tersebut agar PMG mencapai level Universitas Al-Azhar Kairo Mesir, yang memiliki wakaf yang sangat luas sehingga mampu mengutus para ulama ke seluruh penjuru dunia, dan memberikan beasiswa bagi ribuan pelajar dari berbagai belahan dunia. Sebagaimana diketahui Al-Azhar adalah salah satu dari empat sintesa PMG.
Bagi para alumni sendiri juga telah diberikan bekal agar tidak merasa khawatir menjalani kehidupan pasca kelulusan mereka dari pondok dalam berbagai profesi yang mereka emban. Spirit pondok yang telah tertanam dalam setiap santri selama menimba ilmu di almamater ibarat al-thawaabit (hal-hal permanen dan kokoh) sebagai bekal tak ternilai dalam mengarungi samudera kehidupan setelah lulus.
Di antara spirit pondok yang paling membekas dalam diri penulis mungkin juga bagi para alumni pada umumnya adalah apa yang dikenal dengan istilah Panca Jiwa Pondok Modern. Panca jiwa ini adalah nilai-nilai yang mendasari kehidupan PMG yang juga dapat sebagai bekal bermanfaat bagi para santri setelah mereka menjadi alumni.
Pertama adalah, jiwa keikhlasan, yakni berbuat sesuatu bukan karena didorong oleh keinginan untuk mendapatkan keuntungan semata. Segala perbuatan dilakukan dengan niat semata-mata untuk ibadah, lillah, kyai ikhlas medidik dan para pembantu kyai ikhlas dalam membantu menjalankan proses pendidikan serta para santri ikhlas dididik sehingga tercipta suasana kehidupan pondok yang harmonis antara kyai yang disegani dan santri yang taat, cinta dan penuh hormat. Jiwa ini menjadikan santri senantiasa siap berjuang di jalan Allah, di manapun dan kapanpun.
Yang kedua adalah, jiwa kesederhanaan, yakni nilai-nilai kekuatan, kesanggupan, ketabahan dan penguasaan diri dalam menghadapi perjuangan hidup di alam fana ini. Sederhana tidak berarti pasif, harus miskin dan melarat justru di balik kesederhanaan ini terpancar jiwa besar, berani maju dan pantang mundur dalam segala keadaan sehingga dapat hidup dan tumbuh mental dan karakter yang kuat, yang menjadi syarat bagi perjuangan dalam segala segi kehidupan.
Sedangkan yang ketiga adalah, jiwa berdikari, yakni kesanggupan menolong diri sendiri merupakan senjata ampuh yang dibekalkan pesantren kepada para santrinya. Berdikari tidak saja berarti santri sanggup belajar dan berlatih mengurus segala kepentingannya sendiri, tetapi pondok pesantren itu sendiri sebagai lembaga pendidikan juga harus sanggup berdikari sehingga tidak pernah menyandarkan kehidupannya kepada bantuan atau belas kasihan pihak lain. Meskipun demikian, nilai berdikari ini tidaklah bersifat kaku, sehingga menolak bantuan orang lain.
Adapun yang keempat adalah, jiwa ukhuwwah diniyyah, yaitu suasana persaudaraan yang akrab, sehingga segala suka dan duka dirasakan bersama dalam jalinan ukhuwwah diniyyah. Ukhuwah ini bukan saja selama mereka di Pondok, tetapi juga berlanjut setelah mereka lulus sehingga mempengaruhi ke arah persatuan ummat dalam masyarakat setelah mereka terjun di masyarakat.
Sementara yang kelima adalah, jiwa bebas, yaitu bebas dalam berpikir dan berbuat, bebas dalam menentukan masa depan, bebas dalam memilih jalan hidup, dan bahkan bebas dari berbagai pengaruh negatif dari luar. Jiwa bebas ini akan menjadikan santri berjiwa besar dan optimis dalam menghadapi segala kesulitan.
Namun perlu dicatat bahwa kebebasan dimaksud bukanlah kebebasan mutlak yang sering mengandung unsur-unsur negatif, terutama apabila kebebasan itu disalahgunakan, sehingga terlalu bebas (liberal), berakibat hilangnya arah dan tujuan atau prinsip. Sebaliknya, bukan pula kebebasan untuk tidak mau dipengaruhi hal-hal positif, hanya berpegang teguh kepada tradisi yang dianggap paling tepat pada zamannya, sehingga enggan menoleh ke zaman yang telah berubah yang akhirnya bukan lagi bebas tapi terbelenggu karena mengikatkan diri pada sesuatu yang diketahui saja.
Maka kebebasan ini harus dikembalikan ke aslinya, yaitu bebas di dalam garis-garis yang tidak bertentangan dengan syariat dan dalam garis-garis yang positif, dengan penuh tanggungjawab. Lima nilai yang meliputi suasana kehidupan Pondok Pesantren itulah yang dibawa oleh santri sebagai salah satu bekal utama di dalam kehidupannya di masyarakat.*/bersambung
Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Yaman