Oleh: Agastya Harjunadhi
BEBERAPA hari ini, isu penyadapan menjadi masalah penting di dalam negeri ini. Menarik bahwa ada penyadapan yang dilakukan oleh Amerika Serikat (AS) dan Australia terhadap pejabat-pejabat di Indonesia sebagaimana disampaikan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Marciano Norman dilakukan sudah sangat lama. Bahkan Australia telah melakukan penyadapan percakapan telepon sejumlah pemimpin Indonesia dalam kurun waktu 2007-2009.
Alhasil, kasus yang terbongkar ini telah mengganggu hubungan diplomatik ke dua Negara yang berdaulat.
Seperti diketahui, konsep kedaulatan adalah sebuah privasi, kehormatan dan identitas. Buah dari kedaulatan adalah kehormatan dan penghormatan. Hormat, menghargai, menjaga privasi, jati diri dan indentitas adalah bentuk sosial hubungan baik antar kedaulatan.
Oleh karena itu, berkaitan dengan kasus penyadapan, jelas bahwa tindakan Australia ini adalah bentuk pelecehan kedaulatan terhadap suatu Negara. Sekali lagi, ini adalah bentuk pelecehan kedaulatan oleh Australia terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ini pasti menciderai hubungan diplomatik antar kedua negera.
Selaku pemuda Indonesia, kami berharap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bertindak tegad terhadap Amerika atau Australia. Dan Australia sebaiknya bersikap kesatria dengan secara resmi dan langsung meminta maaf kepada pemerintah Indonesia atas tindakan tidak sopan tersebut.
Pemerintah juga perlu melakukan kontra intelejen. Pemerintah harus berani dan tegas dengan mengambil keputusan-keputusan politik keamanan, politik ekonomi, maupun aspek lain yang menjadikan negara RI punya kedaulatan seutuhnya bukan lagi menjadi negara sahabat (manut wae, jawa) yang sejatinya adalah negara “satelit” mengorbit sesuai kepentingan negara kapitalis seperti Australia maupun sekutunya seperti Amerika.
Hikmah Penting
Di sisi lain, ada hikmah besar yang bisa kita ambil untuk bahan evaluasi pemerintah. Tindakan tidak sopan oleh Negara lain terhadap Negara kita juga tidak lepas dari kelakuan dan kesalahan kita sendiri.
Pertama, aneh, bahwa SBY marah kepada Australia. Padahal pelaku pembocoran data, Edward Snowden adalah mantan anggota CIA, yang notabene adalah tangan-tangan Amerika.
Kedua, kemarahan SBY adalah indikasi adanya hal sesnsitif selain menyinggung kedaulatan bangsa. Pandangan kritis saya, ada kemungkinan kekhawatiran terbongkarnya kasus-kasus penting yang melibatkan kroni-kroni penguasa. Sebut saja salah satunya adalah kasus mega korupsi Century. hal ini berkolerasi dengan data, daftar pejabat penting kabinet SBY yang disadap.
Ketiga, dari sudut pandang agama, menanggapi pernyataan SBY pertemanan Indonesia – Australia. Indonesia adalah Negara berpenduduk Islam terbesar di dunia. Secara kuantitas, tentu Muslim sebanyak 200 juta jiwa lebih ini sebuah potensi yang besar. Secara kualitas, Muslim yang besar ini akan menjadi ancaman bagi Negara Barat. Maka kita harus berhati-hati dalam bersosial dengan mereka.
Hugh White, seorang profesor studi strategis di Australian National University dan visiting fellow di Lowy Institute pernah menulis sebuah artikel di sebuah media berpengaruh di Australia, The Age, dengan judul Indonesia’s rise is the big story we’re missing: Can Australia handle having a stronger, richer neighbour?
Dalam tulisannya, White mengulas perkembangan Indonesia yang luput dari pantauan Australia. Bagi White, Australia jangan pernah berpikir bahwa Indonesia membutuhkan bantuan Australia dan Indonesia akan berterima kasih karena keadaan sudah berbalik.
Bahkan, kini orang Indonesia sudah jauh lebih banyak yang paham mengenai Australia, ketimbang orang Australia yang paham Indonesia. Itulah mengapa bahasa Indonesia akan dijadikan kurikulum di sekolah-sekolah di Australia. Tujuannya, agar Australia bisa memahami Indonesia secara lebih mendalam. Di sini, posisi Indonesia dijadikan sebagai “ancaman” Australia.
Yang bisa dijadikan pelajaran berharaga bagi kita adalah di manapun (khususnya bersahabat dengan orang Barat) selama tidak Muslim pasti ada ketidaktulusan di dalamnya. Baik kerjasama bidang apapun (dari ekonomi,politik, militer, pendidikan atau apapun namanya).
Adalah kesalahan kita jika melihat sesuatu seperti biasa-biasa saja. Jangan pula silau dengan pernyataan-pernyataan Amerika atau sebagaimana dicontohkan Perdana Menteri Australia Tony Abbott yang mengatakan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono sebagai sahabat terbaik yang dimiliki Australia.
Padahal Islam sudah pernah menyampaikan,
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaan orang-orang yang di luar kalanganmu.” [QS. Ali-Imran : 118]
Allah juga mengabarkan, jika sebagian kaum mukmin tidak menjadi penolong sebagian lainnya, sementara sebagian kaum kafir menjadi penolong sebagian lainnya, maka akan terjadi fitnah dan kerusakan yang besar di muka bumi. Maka seorang mukmin sama sekali tidak boleh mempercayai non Mukmin walaupun ia menampakkan kecintaan dan loyalitas. Tapi nampaknya inilah yang sering terjadi dalam hubungan kenegaraan kita.
Kasus yang masih bisa kita ingat adalah pidato SBY tentang Amerika pada 2003 yang dikutip International Herald Tribune (8/1/2003) dengan mengatakan “I Love the United States, With all its faults. I consider it my second country” (Saya mencintai Amerika dengan segala kesalahannya. Saya anggap Amerika adalah negeri kedua saya…).
Konsep hubungan diplomatik, adalah hubungan kerjasama yang tidak melibatkan hal prinsip dan akidah. Sikap sebagai mukmin tentu harus tetap adil kepada orang kafir sekalipun, tentu dengan batasan-batasan yang jelas.
“Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” (QS. Al-Maidah : 8)
“Maka selama mereka berlaku lurus terhadapmu, hendaklah kamu berlaku lurus (pula) terhadap mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa.” (QS. At-Taubah : 7)
Keempat, negera lain berani ‘tidak sopan’ dengan Negara kita membuktikan negara teesebut memandang remeh kita. Bisa jadi karena kita sendiri yang tidak bisa membangun identitas diri menjadi Negara yang diperhitungkan. Mereka tidak cukup segan atau takut kepada Negara kita karena tahu kita lemah.
Ini juga tak luput dengan perilaku-perilaku para pejabat Negara yang kurang berkualitas yang terbongkar dan tersebar luas di media. Perilaku korup, hambur-hambur uang rakyat dengan alasan studi banding tapi fakta jalan-jalan, tidak serius mengurus undang-undang, tidak serius dalam menangani kedaulatan dan urusan dalam sistem Negara. Wakil rakyat malah sibuk dengan urusan partai atau kelompoknya.
Sikap merampok negara sendiri dengan cenderung ‘manut wae’ atas kbijakan-kebijakan internasional, asal menguntungkan dirinya dan kelompoknya meski harus mengorbankan asset Negara dan rakyat.
Tidak serius dalam menangani kedaulatan dan urusan Negara, adalah bentuk tidak menghargai negara kita sendiri. Jika kita saja kurang bisa menghargai Negara kita, bagaimana dengan Negara lain?
Mudah-mudahan ini menjadi pelajaran berharga betapa rendahnya perwajahan Indonesia di mata negara lain akibat perilaku diri kita sendiri. Saatnya bangsa kita berbenah dan intropeksi serta memperbaiki semua sisi secara bersama.
Jika kita bisa bangga mengharumkan nama bangsa dengan kualitas dan capaian prestasi di mata dunia, maka seharusnya juga diiringi rasa malu dan hina apabila karena kebobrokan perilaku kita, membuat NKRI dilecehkan.*
Penulis adalah Sekjen YI-Lead (Young Islamic Leaders) dan Presiden/Ketua Umum APII (Aliansi Pemuda Islam Indonesia)