oleh: Imam Nawawi
BUKAN berita baru kalau media cetak abad ini sedang menghadapi badai krisis. Hadirnya teknologi internet dan digital, menjadikan oplah media cetak mengalami penurunan yang sangat drastis. Untuk pertama kali dalam 33 tahun, pada tahun 2007, oplag harian The Sun Inggris tercatat hanya di bawah 3 juta eksemplar per hari.
Disebutkan juga bahwa, The Sun, yang merupakan koran beroplah terbesar dan mahkota dari kerajaan media Rupert Murdoch, menurun meski telah menurunkan harga di London dan Skotlandia, menurut data dari Biro Audit Sirkulasi.
The Sun yang mencapai oplah 4,3 juta pada 1988 terus menerus kehilangan pembaca, meski merupakan harian terbaik karena membukukan keuntungan 100 juta poundsterling per tahun.
Berita terbaru, melansir perihal akan ditutupnya edisi cetak majalah mingguan Nesweek. Desember 2012 akan mejadi penutupan edisi cetak majalah mingguan yang telah beroperasi selama 80 tahun ini.
Jauh sebelum munculnya rencana penutupan majalah mingguan Newsweek, media di Amerika Serikat sudah banyak yang gulung tikar.
Mulai dari bangkrutnya Chicago Tribune, Los Angeles Time, sampai dengan ditutupnya The Rocky Mountain News, Seattle Post Intelegencier, Philladephia Inquiry, Baltimore Examiner, Kentucky Post, King Country Journal, Cincinnati Post, Union City Register Tribune, Halifax Daily News, Albuquerque Tribune, South Idaho Star, San Juan Star, dan masih banyak koran-koran besar di AS yang sedang menanti keputusan untuk ditutup. Sebagian dari koran-koran itu pindah ke media online.
Bahkan menurut M. Ridlo Eisy, Ketua Harian Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) Pusat, jika Anda mengetik kalimat “The end of Newspaper” atau “Newspaper Death Watch” dalam search engine internet, maka ratusan judul segera muncul. Semuanya mengisahkan sekaratul maut koran-koran di AS. Demikian tulisnya di www.reporter.lpds.or.id.
Bagaimana dengan Indonesia?
Paul Gillin, konsultan teknologi informasi dari Massachusetts menyatakan bahwa surat kabar terus menyampaikan berita-berita yang bernilai. “Namun model bisnis suratkabar tidak mungkin bertahan hidup lagi, perkembangan ekonomi sedang bergerak melawan bisnis koran,” kata Gillin.
Semua itu karena media cetak melibatkan banyak person, sehingga mengharuskan biaya yang tidak seringan media online. Apalagi, zaman sekarang, generasi muda lebih suka berinternet daripada membeli koran atau media cetak lainnya.
Direktur Marketing First Media, Dicky Moechtar, menyatakan pengguna internet di Indonesia meningkat 1.000% dalam 10 tahun terakhir ini. (Kompas, 31 Maret 2009). Sekarang ini pengguna internet mencapai 25 juta orang. Di tahun 2009 pengguna internet telah mencapai 33 juta orang, dan meningkat pesat pada tahun 2010 dengan angka mencapai 50 juta orang. Bisa dibayangkan tahun ini dan lima tahun mendatang!
Dalam release yang dikeluarkan Yahoo! & TNS tanggal 20 Maret 2009, bahwa 83% dari pengguna internet di Indonesia mengakses dari warung internet, dan hanya 16% yang mengakses dari rumah. Menurut Yahoo! & TNS, segmen penduduk usia 15-19 tahun di daerah perkotaan yang mengakses internet berjumlah 64%.
Dengan demikian, internet benar-benar telah menggeser pola konsumsi masyarakat terhadap berita. Tentu dalam hal ini media cetak yang paling pertama merasakan dampaknya.
Namun demikian, tidak berarti pegiat media di Indonesia satu kata dengan fakta di atas. Masih ada praktisi yang sangat optimis, surat kabar di Indonesia akan tetap bertahan hidup bahkan selama-lamanya. Asalkan produk surat kabar ditampilkan dengan menggunakan jurnalisme sastrawi.
Ada yang memperkirakan masih bisa bertahan sampai tahun 2050. Ada yang mengatakan masa hidup surat kabar di Indonesia tinggal 20 tahun lagi. Bahkan ada yang mengatakan ancaman media online akan datang lebih cepat lagi, jika tarif internet dan harga komputer terjun bebas, dan semua orang bisa menjangkau hingga ke tempat yang paling pelosok sekalipun.
Kapitalisme
Sebab paling utama dari banyaknya media cetak yang tutup usia, bukan semata-mata trend masyarakat, tetapi karena media cetak tidak menawarkan ruang yang lebih nyaman bagi industrialisasi.
Selain mahal juga terbatas. Sementara pada saat yang sama internet menawarkan apa yang tidak dimiliki media cetak. Akhirnya, media cetak sepi peminat, baik dari pengiklan, lebih-lebih dari pembaca. Inilah penyebab utama dari kolapsnya media cetak raksasa di beberapa negara maju. Sepinya iklan di sebuah media adalah perkara yang mematikan. Sebab media bisa eksis karena banyak iklan yang masuk. Jika iklan tidak ada, atau ada tetapi tidak mencukupi kebutuhan operasional media, bisa dipastikan akan terjadi kendala keuangan serius di sebuah perusahaan media.
Inilah satu-satunya alasan rasional yang dianggap paling tepat untuk diikuti oleh mayoritas pelaku bisnis dan masyarakat dunia secara umum. Jadi, tidak ada lagi yang namanya idealisme. Sejauh tidak memberi keuntungan, untuk apa dipertahankan, begitu kira-kira logikanya. Apalagi, media diciptakan memang untuk kepentingan uang belaka, maka jelas tidak ada alasan untuk bertahan.
Antara idealisme dan profesionalisme
Di sinilah umat Islam mendapat tantangan yang sangat serius. Padahal, jumlah media cetak Islam sangatlah sedikit. Untuk harian hanya ada Republika. Untuk majalah jumlahnya juga terbilang sedirkit. Majalah-majalah Islam sudah lama almarhmum. Sebut saja media legendaris seperti Panji Masyarakat, Amanah, Media Dakwah dan Al Muslimun. Majalah Ummat yang didanai cukup besar juga sudah lama tewas. Hadir juga media Madina yang mengaku dikelola lebih moderat (bahkan terang-terangan bergaya liberal) juga tak mampu meraih kepercayaan orang. Majalah Sabili yang pernah menembus oplah di atas 80 ribu kita sudah semakin menurun. Kini yang ada tinggal sedikit lagi. Sebut saja Majalah Suara Hidayatullah, Alia dan Ummi, yang tentusaja tidak sebanding dengan jumlah 200 juta umat Islam di Indonesia.
Jika kita benturkan dengan kenyataan media cetak di negara maju, akankah media cetak Islam itu akhirnya juga akan tutup usia?
Tentu kita tidak boleh tinggal diam. Umat Islam tidak semestinya bergaya hidup laksana penduduk dunia lainnya mengkonsumsi berita. Kehadiran media cetak masih sangat perlu dan diperlukan, sebab kita tidak saja butuh informasi, tetapi juga ilmu. Di internet, sajian ilmu bagaimanapun banyaknya tidak akan bisa tampil maksimal sebagaimana media cetak.
Kemudian, pegiat media Islam juga harus melakukan reformasi manajemen. Agar tidak sekedar menampilkan berita, apalagi kalau berita yang sifatnya umum, dimana internet bisa menyajikannya jauh lebih cepat, bahkan perdetik.
Media Islam harus bisa menghadirkan berita yang sifatnya edukatif, urgen, dan bukan sekedar peristiwa semata. Nampaknya media Islam harus bekerja keras di sini.
Idealisme harus tetap menjadi ruh para pegiat media Islam dalam bekerja, namun profesionalisme dalam penulisan dan pengelolaan (management) harus juga jadi landasan utama agar lebih maju. Bagaimanapun, meski saat ini eranya digital dan era internet, masih banyak juga sisi-siai keunggulan media cetak, yang tidak tergantikan internet.
Media Islam juga menawarkan sesuatu yang lebih dan berbeda dari apa yang telah disajikan media lain selama ini.
Tentu saja, bagi umat Islam, tanggung jawab kita adalah membeli media cetak Islam dengan suka hati. Jika melihat ada kekurangan pada media Islam, berikan masukan, jangan diam saja, karena tanpa media Islam, bisa jadi sebagian besar saudara Muslim lainnya akan terseret pada arus pemberitaan yang instant dan boleh jadi melemahkan akidah dan keimanan. Tanpa keterlibatan dan perhatian umat Islam, media-media Islam pasti juga akan mengalami nasib seperti Newsweek.
Dr. Adian Husaini dalam pengantarnya pada buku “Mewarnai Dunia dengan Menulis” karya M. Anwar Djaelani, mengatakan bahwa menulis adalah bagian dari amar ma’ruf nahi munkar. Terlebih di era kekinian, media memegang peranan yang sangat urgen dalam membentuk opini publik.
Karena bagaimanapun, pegiat media cetak Islam adalah para mujahid pena. Mereka tidak bisa eksis tanpa sinergisitas umat Islam seluruh negeri ini. Perlu dukungan seluruh elemen umat Islam untuk kejayaan media cetak Islam. Jadi, media Islam harus semakin tertantang untuk lebih eksis dalam dakwah bil-Qalam-nya.
Jika media cetak di Barat kolaps itu karena kapitalisme yang merupakan induk individualisme tidak menghendaki lagi.
Tetapi media cetak Islam di tanah air harus tetap berjaya, karena hal tersebut bagaimanapun adalah bagian dari tanggung jawab idealisme seluruh umat Islam; untuk menyebarkan dakwah Islam, bukan semata-mata keuntungan uang. Kita harus merapatkan barisan demi dakwah Islam dan jihad bil Qalam, sebagaimana firman Allah Subhanahu Wata’ala’;
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِهِ صَفّاً كَأَنَّهُم بُنيَانٌ مَّرْصُوصٌ
“Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.” (QS. As-Shaf [61]: 4). *
Penulis aktif di lembaga kajian Institute of Islamic Civilization and Development (Inisiasi)