Oleh: Sapto Waluyo
BERITA terkait Daulah Islamiyah Iraq wa Syam (Daisy/ISIS/ISIL) semakin mencekam masyarakat Indonesia. Pada mulanya, 16 WNI dinyatakan hilang di Turki dan diduga pergi ke Suriah untuk bergabung dengan kelompok ektrem itu. Tapi, informasi itu masih kabur, bahkan sejumlah nama yang disebut masih berada di Indonesia.
Tak berapa lama kemudian, 16 WNI lain ditangkap aparat keamanan Turki karena mencoba masuk ke Suriah lewat jalur yang biasa dilalui pendukung ISIS. Sebagian WNI yang ditahan sudah dibebaskan dan dideportasi pulang. Mereka ternyata keluarga yang memiliki anak-anak, bahkan ada ibu hamil yang terpaksa harus tertahan sementara di Turki. Sementara itu, nasib 16 WNI yang hilang gelombang pertama masih tak jelas. Tak tercatat rekor kekerasan sebelumnya.
Media nasional memberitakan isu ISIS dengan gempita tanpa verifikasi memadai terhadap sumber dari berbagai pihak. Apalagi investigasi, menggali fakta lengkap dan informasi tangan pertama, tak sempat dilakukan. Sehingga korban persepsi dan opini publik sulit dihindari kepada WNI dan keluarganya yang mestinya mendapat perlindungan atau sekurangnya diketahui nasibnya.
Opini gencar diekspos aparat keamanan dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bahwa pendukung ISIS sudah menyebar di beberapa wilayah di Indonesia, daerah Poso dan Solo disebut sebagai hotzone.
Penangkapan juga dilakukan Densus 88 terhadap terduga pendukung ISIS di pinggiran Jakarta. Bahkan, ada seorang tokoh lokal di Jawa Barat yang blak-blakan menyatakan sudah mengirimkan ratusan pemuda ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS. Bila semua jejak itu sudah terbuka, maka penindakan hukum bisa dilakukan tanpa gembar-gembor, bahkan pencegahan dini segera diterapkan.
Ironisnya, masyarakat melihat glorifikasi kelompok radikal via media sosial. Para pelaku yang mudah dikenali melontarkan ancaman terbuka kepada aparat keamanan melalui video yang diunggah ke Youtube.
Puncaknya, ada SMS ancaman terhadap Presiden RI dan petinggi keamanan. Reaksi pemerintah pun terkesan berlebihan, sehingga berencana mengeluarkan sebuah Perppu untuk menangkal WNI yang bergabung ke ISIS. Padahal, sudah ada UU Antiterorisme dan KUHP yang mengatur tindakan WNI yang membela kelompok bersenjata di negara lain.
Kita pernah menyaksikan Panglima TNI mendapati seorang WNI yang ikut latihan militer dari negara jiran (Singapura). Ada rencana untuk menarik paspor WNI tersebut, tapi setelah klarifikasi dan pendekatan pribadi tampaknya bisa diselesaikan.
Sebelumnya, kita dengar WNI di perbatasan Malaysia bergabung dengan pasukan sukarela keamanan negeri seberang. Persoalannya, ternyata bukan beralihnya komitmen kebangsaan, namun tawaran honor yang menggiurkan.
Kita perlu membahas isu ISIS secara obyektif dan komprehensif. Tujuannya, mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah, bukan membuat masalah baru. Apalagi sekadar mengikuti propaganda asing, seperti ditengarai Ketua Komisi I DPR, harus dihindari. Perkara pertama yang perlu diperjelas adalah definisi tentang ancaman nasional.
Batasan formal, ancaman adalah upaya yang bertujuan mengubah kebijakan nasional secara konsepsional, kriminal dan politik. Sedangkan, tantangan adalah upaya atau kondisi yang justru menggugah kemampuan dan potensi bangsa. Sementara, hambatan ialah upaya untuk melemahkan atau menghalangi kebijakan nasional secara tidak konsepsional dan berasal dari dalam. Gangguan adalah hambatan yang berasal dari faktor eksternal.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Konsep ATHG itu dikaji di Lemhanas oleh para policy makers atau mahasiswa di kampus. Diajarkan pula di sekolah sebagai pendidikan kewarganegaraan. Tak cukup membaca ulang definisi ancaman, kita juga perlu mengingat konsep Ketahanan Nasional yang cenderung dilupakan. Yakni, “kondisi dinamis yang mencerminkan kemampuan bangsa Indonesia menghadapi ATHG demi menjaga identitas, integritas, kelangsungan hidup bangsa, serta perjuangan mengejar tujuan nasional.”
Betapa jelas ditekankan, dinamika dalam mengelola potensi bangsa dan orientasi untuk mencapai tujuan nasional; disamping identitas, integritas dan kontinuitas bangsa yang harus dijaga.
Berbekal konsep dasar itu, kita timbang apakah ISIS benar-benar ancaman nasional Indonesia yang nyata? (Bersambung)
Penulis adalah dosen STT Nurul Fikri, alumni S. Rajaratnam School of International Study, Singapura dan penulis buku “Kontra Terorisme, Kebijakan Indonesia di Masa Transisi” (2009)