Oleh: Ady Amar
Hidayatullah.com | Pak Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta, sikapnya tenang, cool, sebagaimana seperti biasanya, meski ada gonjang-ganjing korupsi BUMD milik Pemprov. Itu berkenaan dengan pembelian lahan oleh Perumda Sarana Jaya.
Saat penyelidikan komisi antirasuah, KPK, menggaruk Direktur Utama Perumda Sarana Jaya, Yoori C. Pinontoan, ditetapkan sebagai tersangka atas pembelian lahan tanah, untuk pembangunan rumah DP Nol Persen. Anies Baswedan langsung menonaktifkan yang bersangkutan.
Anies Baswedan diam seribu bahasa. Tidak ingin ikut campur dalam kerja KPK, apalagi menebar opini. Anies melakukan apa yang harus dilakukan. Setelah ditetapkan sebagai tersangka, maka tidak berlarut langsung yang bersangkutan di non aktifkan.
Baca: Anies, Tito dan Negeri Prasangka
KPK menemukan kejanggalan atas pembelian lahan tersebut, dan menganggap terjadinya mark up. Maka KPK menelisik kemungkinan adanya hengki pengki pengaturan mark up itu, saat di pembahasan dengan Badan Anggaran (Banggar) DPRD Jakarta, yang kebetulan dijabat Ketua DPRD-nya, Prasetyo Edi Marsudi.
Karenanya, “sayup-sayup” disinyalir ada tangan Prasetyo Edi dalam memuluskan anggaran tersebut saat pembahasan dengan Banggar DPRD. Apakah Prasetyo Edi terlibat, belum pasti, dan kita nantikan lanjutan KPK meluaskan pemeriksaannya.
Tapi setidaknya menurut penelusuran Koran Tempo, Edisi 10 Maret, bahwa korupsi pembelian lahan DKI di Munjul-Pondok Ranggon, itu tak lepas dari proses penganggaran.
Masih menurut media yang sama, bahwa Ketua DPRD Jakarta, Prasetyo Edi Marsudi, disebut-sebut kerap menaikkan anggaran pembelian lahan. Bahkan, pembahasan anggaran kerap terjadi di luar forum pembahasan.
Baca: Anies Lagi-lagi Menyambar Lagi, Apa-apaan Ini
Menarik Pak Anies dalam Kasus Pembelian Lahan, Itu Terlalu Jauh
Harusnya Pak Prasetyo Edi, jika tidak terlibat sebaiknya bersikap tenang saja. Tidak perlu cemas bukan alang kepalang, dan lalu menarik-narik, bahwa Pak Anies Baswedan pasti terlibat. Jika merasa tidak terlibat dengan memuluskan ketok palu persetujuan mark up anggaran, sebagaimana disinyalir sebagai temuan KPK, kenapa mesti gelisah.
“Ketua Banggar hanya sekadar mengesahkan rancangan yang diajukan eksekutif,” kata Pak Prasetyo Edi. Tambahnya, “Saya gak ngerti. Fungsi saya hanya megang palu untuk mengesahkan anggaran yang dimintakan,” jelasnya.
Pak Prasetyo Edi mengatakan demikian, itu memang tidak salah. Tapi biarkan KPK yang bisa mengulik, apakah memuluskan anggaran Perumda Sarana Jaya, itu hal sewajarnya, atau atas “bantuannya”.
Soal kulik mengulik itu memang keahlian KPK, publik cuma diberi informasi yang sebenarnya dari temuan yang didapat. Dan dari temuan itu akan jelas keterlibatan para pihak atau sebaliknya.
Jadi sekali lagi, Pak Prasetyo Edi bersikaplah yang tenang, tidak perlu cemas dengan menebar opini seolah tidak terlibat, lalu menggeret Pak Anies Baswedan menjadi pihak yang terlibat.
Baca: Anies Lepas Saham Perusahaan Bir, Itu Bukan Kaleng-kaleng
Tidak mesti jika ada korupsi di BUMD lantas Gubernur dianggap pasti tahu. Apakah juga sama jika terjadi korupsi di BUMN, lalu pasti Menteri BUMN ikut terlibat? Tidak juga, kan.
Menarik Gubernur Anies Baswedan pada persoalan korupsi di Perumda Sarana Jaya, itu terlalu jauh. Di atas Direksi ada Komisaris. Dan di atas Komisaris ada BP BUMD, lalu Sekda, dan baru Gubernur.
Bahkan korupsi yang dimainkan oleh Direktur Utama Perumda Sarana Jaya, Yoori C. Pinontoan (non aktif), bisa jadi tidak diketahui pihak Komisaris apalagi pihak-pihak di atasnya.
Sekali lagi, saran buat Pak Prasetyo Edi Marsudi, bersikaplah yang tenang dan tidak mengumbar pernyataan yang tidak semestinya, apalagi menggeret-geret pihak eksekutif, itu jika memang sebagai Ketua Banggar DPRD tidak terlibat.
KPK tidak mungkin salah menetapkan tersangka, pastilah sedikitnya dua alat bukti dipunya. Dan jika nantinya KPK memeriksa Pak Anies Baswedan, itu pun hal biasa, tentu belum tentu yang bersangkutan terlibat. Bisa jadi untuk mengulik informasi lebih dalam lagi. Biarkan semuanya mengalir lewat temuan-temuan KPK, dan yang terlibat korupsi pastilah akan tertekuk. (*)
Kolumnis, tinggal di Surabaya