Sambungan artikel PERTAMA
Oleh: Ilham Kadir
SEJUJURNYA, pelacuran telah terjadi hampir di seluruh bangsa dan negara yang lintas zaman. Misalnya, pada zaman India kuno, pelacur kelas bawahan disebut ‘Kumbhadasi.’ Dalam masyarakat itu, kaum wanita dari golongan rendah diberi dua pilihan, yaitu menikah atau menjadi ‘pelacur. Ada pun Yunani Kuno, pelacur jalanan disebut ‘Pornoi.’
Masyarakat Yunani Kuno telah mengenal ‘Pelacuran kuil’ sebuah institusi purba tempat para pelacur meyumbangkan uang hasil kerja untuk kuil Aphrodite demi mendapatkan anugerah dari para dewi. Bahkan mereka diberi gelar ‘Hierodouli.’
Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud dalam “Budaya Ilmu Satu; Penjelasan, 2007“, menulis bahwa Filsuf Yuani seperti Socrates walaupun meletakkan ilmu sebagai keutamaan tertinggi (arere) dan seluruh kejahatan berasal dari kebodohan. Bagi mereka, tanpa ilmu yang hakiki, perbuatan baik adalah mustahil: dengan ilmu yang benar, perbuatan baik menjadi sebuah keniscayaan.
Namun konsep ilmu orang Yunani tidak jitu dan holistik. Contohnya, walaupun pada tahap teori mereka mengaitkan ilmu dengan akhlak, seperti yang disebutkan di atas, namun dari segi praktiknya terdapat distorsi. Will Durant, mengulas masalah ini dengan berkata bahwa orang Atena pada abad kelima sebelum Masehi bukan merupakan contoh akhlak yang baik. Bahkan pembangunan akal mereka telah memberi peluang luas bagi mereka, serta menjadikan mereka hampir tidak bermoral.
Para lelaki, termasuk golongan cendekiawan, melakukan hubungan seks yang bebas, termasuk seks sesama jenis (homo dan lesbi).
Demonsthenes, ahli filsafat, mengabadikan prilaku mereka yang pintar tapi tidak bermoral, Kami memiliki rumah bordir kelas tinggi [coutesans] untuk bersenang-senang, gundik untuk kesehatan tubuh tiap hari, dan istri untuk melahirkan keturunan yang halal, dan untuk menjadi penjaga rumah terpercaya.
Setali tiga uang dengan Romawi, pelacur dikatakan sebagai penjahat dan pengganggu anak-anak. Selain diharuskan berpakaian tertentu untuk membedakan mereka dengan golongan bangsawan. Di Asysyiria, ditetapkan hukuman bagi pelacur membuka tutup kepalanya sebagai pembeda dengan golongan lain.
Pada zaman Babilonia, dikenal nama ‘Kizrete.’ Mereka disanjung sebagai golongan terhormat. Cerita-cerita tentang pelacur terhormat ini turut mewarnai kisah rakyat Mesir Kuno. Di Jepang, pelacur justru ditempatkan di tempat terhormat yang terkenal dengan istilah ‘Geisha.’ Bahkan salah satu istri Bung Karno adalah wanita geisha.
Di Italia, tercatat nama Veronica Franco yang berjaya membangun tempat pelacuran pada tahun 1577 Masehi. Di China lain lagi, pelacuran sengaja ditempatkan di rumah-rumah khusus. Pelacur dari golongan bawah diberi gelar ‘Wa She.’ Barulah pada dinasti Han, pelacur golongan ini ditempatkan bersama anggota kelompok pejahat, tahanan perang, dan budak.
Adapun pada masa Perang Dunia II, sekira 600 ribu wanita menjadi pelacur sebagai usaha sampingan mereka. Hasilnya, penyakit kelamin kian menyebar dan menular dikalangan tentara AS di Eropa setelah Perang Dunia II. Karena pada saat itu rumah pelacuranmenjadi sumber penyakit infeksi kelamin.
Tercatat sekira enam persen tentara AS mengidap penyakit kelamin berbahaya akibat berhubungan dengan pelacur profesional. 80 persen akibat berhubungan dengan pelacur amatir, dan 14 persen disebabkan oleh istri mereka. Akibat banyaknya penyakit ini, para tentara tak mampu maju ke medan tempur, sehingga memaksa petugas medis ketentaraan AS melakukan operasi ke rumah-rumah pelacuran itu.
Sejatinya, kasus Deudeuh dan pelacur cilik dari SMP Makassar, hanyalah fenomena gunung es, yang terlihat hanya ujungnya saja, sesungguhnya yang terjadi di lapangan jauh lebih parah dan lebih banyak.
Tentu saja masalah ini harus segera ditangani secepat halilintar, jika tidak, kerusakan yang akan terjadi minimal secara moral tidak kalah dengan Yaman, jika di sana bom dan rudal meledak, di sini bom seks yang meledak dan ‘rudal-rudal’ lelaki hidung belang tak terkendali karena nafsu syahwat sesaat. Negara harus menyelamatkan para Kartini generasi sosmed agar keluar dari kubang nista, di samping para ulama dan dai harus melakukan pencerahan supaya para ‘Kartono’ tidak terus menerus menista diri dengan merusak para Kartini.
Pilar-pilar peradaban Bugis harus diterapkan, seperti siri, sipakainge’, dan syara’, agar dihidupkan kembali. Bangsa ini hanya dikatakan beradab dan berkeadilan jika memiliki budaya dan harga diri, jika diri saja sudah dijual dengan uang recehan, maka sesungguhnya kita sudah terlalu murah dan tak pantas punya harga diri. Wallahu A’lam!
Penulis adalah peserta Kaderisasi Seribu Ulama (KSU), Kandidat Doktor Pendidikan Islam UIKA Bogor