“Seorang pakar hidup di tengah kalian”
Oleh: Muhammad Hanif Alatas
PADA suatu hari, sahabat Abu Musa al-Asy’ari ra ditanya oleh seorang suami yang menyusu dengan istrinya saat melakukan hubungan intim, beliau berkata “ istrimu menjadi mahram bagimu (kau diharamkan atasnya), ia menjadi ibu susumu karena engkau telah menyusu dengannya.”
Karena tidak puas dengan jawaban beliau, suami tadi pergi menuju sahabat Ibnu Mas’ud ra dan mengajukan pertanyaan yang sama, Ibnu Mas’ud ra menjawab, “Dia tidak menjadi mahram bagimu, karena seseorang bisa menjadi mahram dengan radha’ah (menyusui) jika berusia dibawah 2 tahun.” Mendengar jawaban Ibnu Mas’ud, sang suami bergegas kembali menuju sahabat Abu Musa al-Asy’ari dan mengabarkannya tentang fatwa yang dicetuskan oleh Ibnu Mas’ud ra, mendengar hal tersebut Abu Musa al-Asy’ari berkata, “(inilah hukum yang sesungguhnya) mengapa kalian bertanya kepadaku, padahal di tengah-tengah kalian ada seorang pakar?.”
Tanpa sosok Ali, Hancurlah Seorang Umar
Pada masa kepemimpinan Sayyidina Umar bin Khattab ra, seorang yang mabuk dibawa mengahadap Sang Khalifah, karena konsisntensi beliau yang begitu tinggi dalam menerapkan syari’ah, iqomatul had (hukuman cambuk bagi konsumen minuman keras) menjadi pilihan beliau dalam menuntaskan problem ini.
Menanggapi hal tersebut, Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra berkata kepada Aang Khalifah, “Lebih baik kau interogasi terlebih dahulu, mungkin ada syubhah yang menyebabkan ia tak perlu di hukum!” Rupanya petunjuk Sayyidina Ali dilaksanakan dan ternyata hasil interogasi membuktikan bahwa ada sebab yang menyebabkan ia tak berhak menerima hukuman sehingga Sayyidina Umar membebaskannya.
Sebagai rasa terima kasih dan salut beliau terhadap Imam Ali kw, lahirlah ungkapan populer yang diucapkan Sayyidina Umar ra, “Laula ‘Ali lahalaka ‘Umar (tanpa sosok Ali, Hancurlah seorang Umar)” Ridhwanullah ‘alaihim ajma’in.
Antara as-Syafi’i dan Sufyan bin ‘Uyaynah
Sebuah diskusi hebat seputar kesucian kulit bangkai (selain anjing dan babi ) yang disamak telah terjadi antara dua Imam besar, al-Imam Muhammad bin Idris as-Syafi’i dan Imam Sufyan bin ‘Uyaynah.
Imam As-Syafi’i berpendapat bahwa kulit bangkai tidak akan pernah suci walaupun dengan cara samak (dabgh). Beliau berdalil dengan surat Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wassallam untuk Juhainah yang berisi:
” إنّي كنت رخّصت لكم في جلود الميتة, فإذا جاءكم كتابي هذا فلا تنتفعوا من الميتة بإهاب ولا عصب ” رواه أبو داوود في سننه و أحمد في مسنده “
“Dahulu, aku memberikan dispensasi bagi kalian dalam menggunakan kulit bangkai, jika surat ini sampai kepada kalian, maka janganlah kalian memanfaatkan kulit bangkai atau uratnya.”( HR Abu Dawud dan Ahmad )
Sementara Ibn ‘Uyaynah berpendapat bahwa kulit bangkai (selain anjing dan babi) dapat disucikan dengan cara disamak, pendapat ini berdasarkan hadits Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wassallam:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَجَدَ شَاةً مَيْتَةً أُعْطِيَتْهَا مَوْلاَةٌ لِمَيْمُونَةَ مِنَ الصَّدَقَةِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « هَلاَّ انْتَفَعْتُمْ بِجِلْدِهَا ». قَالُوا إِنَّهَا مَيْتَةٌ فَقَالَ إِنَّمَا حَرُمَ أَكْلُه رواه مسلم« أَلاَّ أَخَذُوا إِهَابَهَا فَدَبَغُوهُ فَانْتَفَعُوا بِهِ »
Diriwayatkan dari Ibnu ‘abbas ra bahwa Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wassallam menemukan sebuah bangkai kambing yang telah disadaqahkan kepada seorang budak milik maimunah, kemudian Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wassallam bertanya, “mengapa kalian tidak memanfaatkan kulitnya?” Mereka menjawab, ”Kambing ini adalah bangkai.” Rasul bersabda, “Yang haram hanyalah memakannya” dan dalam sebuah riwayat, “Ambillah kulitnya! Kemudian mereka menyamak lalu manfaatkannya.“ (HR. Muslim)
Setelah keduanya mengemukakan dalil masing-masing, muncullah hasil diskusi yang mungkin tidak terbesit sedikitpun dibenak kita. Keduanya memandang bahwa argumentasi masing-masing rivalnya lebih kuat dan tepat. Dengan lapang dada, Ibin ‘Uyaynah seorang Imam besar, menarik fatwanya dan beralih kepada pendapat Imam as-Syafi’i yang mengatakan bahwa kulit bangkai tak akan bisa suci walau dengan cara samak dan sebaliknya, as-Syafi’i yang dikenal sebagai lautan ilmu, dengan bijak menarik pendapatnya dan beralih ke pendapat bin ‘Uyaynah yang menjadikan samak (dabgh) sebagai cara untuk mensucikan kulit bangkai.
Beda Orang, Beda Ide
Sebuah redaksi ayat, hadits atau ungkapan biasa sekalipun, terkadang memiliki penafsiran berbeda yang berimplikasi pada lahirnya perbedaan hukum, hal ini disebabkan karena keberagaman cara memahami sebuah redaksi yang memiliki banyak sudut pandang.
”Likulli ro’sin ro’yun” (beda orang, beda ide) sebuah perkataan bijak yang mengajak kita untuk selalu terbuka terhadap pendapat orang lain bahkan menjadikannya sebagai bahan perbandingan dan pertimbangan demi kesempurnaan sebuah wacana atau program.
Kisah-kisah di atas menjadi saksi bahwa lapang dada dalam menerima pendapat orang lain merupakan bukti kematangan dan kedewasaan.
Tidak mudah bagi seseorang, terlebih yang memiliki reputasi baik dimata masyarakat, lebih tua dari lawan bicara, menyandang jabatan lebih tinggi, status sosial lebih terhormat atau teman sebaya sekalipun untuk mengakui kebenaran pendapat rivalnya dalam bertukar pikiran, apalagi di hadapan umum.
Namun dengan kematangan dan keluasan ilmu mereka, hal tersebut menjadi sesuatu yang mudah dan sama sekali tidak mengurangi derajat mereka di mata manusia bahkan kebijakan tersebut membuat mereka semakin terhormat.
Dalam konteks agama, Islam sangat menjunjung tinggi perbedaan pendapat dan menyebut keberagaman yang ada sebagai rahmat, selama berada dalam koridor yang telah digariskan oleh Al-Qur’an dan Sunnah. Bahkan ummat Islam wajib toleransi terhadap khilafiyah dalam ranah furu’iyyah dengan batasan-batasan yang lazim (Baca: Khilafiyah, Inhiraaf dan Fitnah. >>https://goo.gl/SNBqmb ) dan sebaliknya untuk poin-poin mendasar bersifat ushuliyyah, Islam menutup rapat-rapat pintu toleransi bagi perbedaan pendapat di dalamnya.
Dalam kitab Ta’limul Muta’allim disebutkan bahwa lelaki terbagi menjadi tiga, 1, lelaki sejati, 2, setengah laki-laki, 3, sama sekali bukan laki-laki.
Lelaki sejati adalah mereka yang selalu cermat dalam berpendapat namun senantiasa meminta pertimbangan orang lain dalam mengambil tindakan, sedangkan setengah laki-laki alias banci adalah mereka yang punya pendapat cemerlang namun tidak pernah mendiskusikannya kepada orang lain begitu pula sebaliknya.
Adapun orang yang sama sekali tidak punya sifat kejantanan adalah mereka yang tidak punya ide sama sekali namun tidak pernah meminta pendapat dari orang lain.
Kelapangan dada seseorang untuk menerima pendapat atau pandangan orang lain, dan tidak memaksakan kehendak, adalah cermin kedewasaan dan kebijaksanaan. Seseorang yang sudah berpribadi matang, cenderung akan menghargai pendapat orang lain, dan orang yang belum dewasa akan cenderung memaksakan kekuatanya.
Jadi kenapa tidak, kita bergabung bersama untuk mendapat ide yang lebih baik, atau menghargai ide orang lain saat ide kita tidak diterima. Tetapi kita juga janganlah congkak ketika ide kita diterima.
Mari kita saling menghargai perbedaan pendapat diantara kita, Karena manusia terdiri dari banyak pemikiran. Dan mari kita buat keberagaman pendapat ini menjadi kekuatan yang membangun bukan kelemahan yg meruntuhkan.*
Penulis adalah Ketua Front Mahasiswa Islam ( FMI ) Yaman