Oleh: Ady Amar
Hidayatullah.com | Dia lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia (FK-UKI), Jakarta, Angkatan ’96. Menurut rekan seangkatannya, ia memang pintar, menyenangkan dan orangnya asyik. Setidaknya itu kesan salah satu kawannya. Setelah dinyatakan lulus menjadi dokter, perjalanan hidup mengantar ia memilih tinggal di Kalimantan, dan praktek estetika.
Pengakuan temannya lagi, bahwa ada permasalahan menyangkut pribadinya. Coba dibantu semampu yang bisa dibantu, meski tidak berhasil “diselamatkan”, yang selanjutnya perjalanan hidup kurang nyaman mengenainya. Tidak disebut lantaran apa, ia lalu disebut sebagai orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). Teman-teman seangkatannya pun tetap semangat membantunya, meski lagi-lagi tidak berhasil.
Rekan seangkatannya ada yang merasa malu, dan tentu mengena juga pada almamaternya, meski tidak ada kaitan langsung dengannya. Tapi setidaknya nama almamater ikut disebut, meski tidak perlu harus diseret-seret atas perilaku alumninya itu. Mestinya setelah lulus dinyatakan sebagai dokter, ia punya jalannya sendiri, tidak lagi bersangkut paut dengan almamaternya.
Melihat perempuan satu ini mestinya dengan pendekatan pada personal yang bersangkutan. Menjadi bermasalah jika apa yang dilakukan sudah meresahkan publik, dan lalu penangkapan terhadapnya dilakukan . Itu berawal dari ungkapannya sebagai seorang dokter yang menyatakan bahwa Covid-19 itu tidak ada. Artinya, ia tidak mempercayai adanya Covid-19 itu.
Ia menyatakan, dalam sebuah talk show di televisi bahwa pasien yang dinyatakan terpapar Covid-19, itu karena kontraksi obat-obat yang diberikan. Saat dicecar, bagaimana dengan mereka yang lalu mendatangi rumah sakit-rumah sakit karena terpapar Covid-19, bukannya orang-orang itu belum bersentuhan dengan obat, ia menjawab bahwa mereka datang ke rumah sakit karena stres.
Jawaban yang diberikan memang menggelikan, bagaimana bisa stres massal itu muncul, bukan saja di negeri ini tapi di seluruh dunia. Jawabannya itu, lalu di viralkan dalam cuplikan video singkat, seolah dokter satu ini pendapatnya benar bahwa Covid-19 ini tidak ada, hanya diada-adakan. Pendapat yang layak ditertawakan, itu menjadi aneh jika dipercaya sebagian pihak. Bahkan dengan semangat video itu disebar menebar berita tidak bertanggung jawab.
Nama dokter perempuan itu menjadi populer dalam waktu singkat. Dari sebelumnya yang hanya dikenal terbatas menjadi menasional. Pendapatnya yang melawan pendapat yang sudah disepakati, itu memang kontroversi tingkat tinggi dan dengan tingkat absurditas yang tinggi pula. Dan memang itu bisa muncul dari siapa saja, termasuk dokter yang seharusnya bicara dengan data medis yang ada. Tidak asal bicara lalu mengundang respons luas. Itu mencari sensasi namanya.
Menjadi aneh jika pendapat ngaco, meski dari seorang dokter, lalu dipercaya seolah pendapatnya itu jujur karena berani beda dengan rekan sejawatnya sesama dokter. Mengapa publik yang mempercayainya, itu tidak mampu melihat bergelimpangan orang terpapar Covid-19 dan tidak sedikit yang meninggal karenanya. Apa mesti terpapar dulu, agar otak bisa terangsang bisa melihat hal sebenarnya.
Psikosis Akut, atau Apalah Namanya
Nama dokter perempuan itu Louis Owien. Pendapatnya yang menyangkal Covid-19, ini memang meneguhkan sikap publik yang memang dari awal memilih menolak vaksin. Menolak tanpa ada kejelasan mengapa mesti menolak. Dan itu dipicu oleh pemberitaan sebelumnya, bahwa dengan di vaksin akan menyebabkan hal-hal negatif. Rumor yang diterima begitu saja, yang mengalahkan anjuran para pakar perlunya vaksin.
Rumor yang tidak jelas, bahkan tidak bertanggung jawab itu justru dipercaya dan lalu mengajak bahkan mereka yang biasa berpikir rasional. Meyakin-sadarkan mereka yang sudah dicekoki pendapat tidak bertanggung jawab itu tidak mudah. Jauh lebih sulit memberikan obat pada anak-anak yang mesti diyakinkan dengan bujukan.
Maka pendapat Louis, itu langsung disambarnya dan dianggap pendapat yang benar, yang menguatkan keyakinannya yang sudah terbentuk sejak semula. Bahkan bisa jadi, kelompok ini tidak akan percaya bahwa Louis itu mengidap waham kebesaran, atau biasa disebut dengan megalomania. Atau bahkan ada yang menyebutnya mengidap psikosis akut.
Jika “pengikutnya” tidak mempercayai apa yang diidap Louis, itu pun tidak perlu menjadi heran. Jenis manusia yang mempercayai hal-hal absurd, itu memang tidak sedikit. Tentu tidak ada kaitan dengan tingkat pendidikan yang bersangkutan, tapi lebih kekeh untuk tidak sudi berubah pada pendapat kebanyakan yang masyhur. Jika kata satu ini dianggap tidak kasar, jenis manusia tadi pantaslah disebut bebal.
Disebut mengidap psikosis akut, tentu punya dasar yang melatarbelakangi pihak bersangkutan. Itu bisa dilihat dari pernyataan dan laku bersangkutan. Jejak digitalnya bisa dilihat dan lalu bisa diambil kesimpulan atasnya. Apalagi ada pernyataan dari sesama rekannya sesama almamater, bahwa Louis itu ODGJ. Menarik juga pernyataan dari dokter Mila Anasanti, “Louis ini kalau kita netral pun bisa melihat dari statusnya kalau yang bersangkutan ada kelainan,” cuitnya dalam Twitter.
Tambahnya, “Aneh sekali kenapa mereka tak percaya ilmuwan muslim dan ulama, tapi percaya orang yang STR-nya sudah expired, dan kakak kelasnya mengatakan bahwa ia terindikasi gangguan jiwa.”
Adalah paling awal dokter Tirta, yang “menghantam” dokter Louis, dan membocorkan bahwa dokter satu ini tidak terdaftar di IDI (Ikatan Dokter Indonesia), bahkan Surat Tanda Registrasi (STR) nya sudah mati sejak 2017. Artinya, ia tidak bisa berprofesi layaknya dokter, tidak bisa berpraktek.
IDI telah mengundang Louis, tapi jawabannya, bahwa IDI tidak penting dan waktunya itu sangat mahal. Ada kesombongan merasa paling pintar dibanding pihak lain, bahkan dibanding dengan epidemolog sekalipun. Sikapnya itu biasa disebut dengan megalomania, atau bahkan psikosis akut.
Itu semacam kondisi di mana penderitanya mengalami kesulitan membedakan kenyataan dan imajinasi. Delusi atau waham (megalomania), dan acap halu. Gejalanya tampak dari sikap-sikapnya itu. Dan mereka yang mempercayai waham kebesaran dan halu Louis, itu bukanlah orang bodoh, tapi lebih pada bebal sesungguhnya… Wallahu a’lam. (*)
Kolumnis, tinggal di Surabaya