Oleh: Daniel Mohammad Rosyid
Hidayatullah.com | MERENUNGKAN sikon umat Islam saat ini, para aktifis gerakan dan dakwah Islam sebaiknya mulai memikirkan untuk back to basics and fundamentals. Inna illahi wa inna ilayhi raaji’uun.
Yahudi radikal tidak lagi menggunakan Ksatria Templar Perang Salib untuk mengalahkan Islam, tapi menggunakan cara lain yang lebih canggih, yaitu kadzdzaba wa tawalla (96:13). Langkah pertama mereka adalah menciptakan body of knowledge islamisme dengan memasukkan kerangka epistemologi platonik untuk memahami al Qur’an.
Langkah ini disusupkan dalam kerangka pikir Ghazalian yang berkembang ke Timur. Ini disebut Al Qur’an sebagai proyek kadzdzaba (2:79) yaitu yaktubuun al kitaab bi aydiihim tsumma yaquluuna haadza min ‘indi Allah liyastaruu bihi tsamanan qaliilan.
Menulis teori buatan sendiri lalu mengatakannya sebagai berasal dari Allah sekedar untuk memperoleh uang recehan. Penyelewengan ini telah dikenali oleh Iqbal 90 tahun silam dalam The Reconstruction of Religious Thoughts in Islam (1930).
Langkah kedua adalah memperkenalkan kerangka epistemologi aristotelian untuk mencuri subtansi kandungan Al Qur’an sambil mengubur al-Qur’an dalam semua wacananya. Hal ini disusupkan ke dalam kerangka pikir Ibnu Rusydian yang dikembangkan di Barat melalui Roger Bacon yang menghadiri kuliah Ibnu Rusyd di Cordoba. Kedua agenda itu dinamakan Al-Qur’an sebagai proyek tawalla (2:42) yaitu talbisuunal haq bil baathil wa takmuunal haq wa antum ta’lamuun.
Kedua proyek itu menjungkirbalikkan pemahaman Al-Qur’an sekaligus memporakporandakan Rukun Iman dan sekaligus Rukun Islam (4:46). Ini disebut juga proyek menjauhkan Al-Qur’an dari kesadaran manusia yang telah dikhawatirkan Rasulullah ﷺ (25:30). Tidak menjauhkan mushaf al qur’an dari para pembelajar Al-Qur’an, tapi memutar balikkan maknanya.
Perlu diingat bahwa Yahudi radikal mengenal Muhammad Rasulullah ﷺ seperti mengenal anak mereka sendiri (2:146). Bagitulah addiin al Islam diartikan sebagai agama Islam dalam makna sekuler dimana politik dan ekonomi dibersihkan dari agama.
Pada saat iman dipahami hanya soal kepercayaan atau keyakinan tentang adanya Allah, malaikat, rasul, kitab suci, qiyamat dan taqdir, maka syahadah pun dimaknai sekedar mengucap dua kalimah syahadat, sholat sebagai sembahyang, shaum sebagai puasa, zakat sebagai pekerjaan kegiatan karitatif sementara hidup dalam riba, dan haji sebagai tamasya spiritual. Alam pikir inilah yang menyebabkan kenyataan pahit kehidupan ummat Islam hari ini yang banyak dalam jumlah, tapi sedikit dan terbelakang dalam peran. Bak buih di laut karena cinta dunia dan takut mati.
Padahal addin al Islam adalah rancangan sistem tatanan hidup dengan asy syahadah sebagai subsistem pembinaan pendidikan, ash sholat (dan nikah) sebagai subsistem pembinaan diri, dan keluarga muslim, ash shaum sebagai subsistem pembinaan pertahanan, az zakat sebagai subsistem pembinaa ekonomi, dan al haj sebagai subsistem pembinaan politik dan hubungan antar-bangsa. Pembinaan masyarakat muslim dipusatkan melalui institusi masjid, bukan petugas partai politik di istana, untuk membentuk sebuah madiinah yang masyarakatnya majemuk.
Perubahan dari sistem jahiliy ke sistem madiinaty memerlukan kepemimpinan, nilai, sumberdaya, mekanisme kerja dan struktur yang diorganisasikan dengan tujuan yang jelas dan dikelola oleh personil yang kompeten (jujur, peduli, cerdas dab amanah).
Sayyidina Ali mengatakan bahwa kebathilan yang diorganisasikan dapat mengalahkan kebenaran yang kocar-kacir. Jika Tjokroaminoto telah belajar dari Diponegoro tentang politik Islam, ada baiknya kita belajar lagi ke pangeran Yogya itu.*/Labuanbajo, 12/4/2021
Pendiri Rasyid Colllege of Art