Oleh: Masykur
AWAL bulan Agustus 2015, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Anies Baswedan menyampaikan wacana agar aktifitas dan kreativitas guru dalam mendidik siswa hendaknya terhitung sebagai sebagai jam kerja atau jam mengajar pula. Hal ini disampaikan Anis dalam acara silaturahmi dengan guru Kesenian di kampus Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung, Jawa Barat, beberapa waktu silam.
Menurut Anis, seperti dikutip antaranews.com (06-08-2015), pemerintah ingin membuat aturan yang membuat waktu guru melakukan kegiatan kreatif semacam itu dihitung sebagai jam kerja. Adanya aturan jam kerja guru seperti itu, menurut Anis, merupakan upaya mendorong para guru lebih kreatif mendidik siswa. Anis menganggap, sebagian guru merasa terbebani dalam menggunakan cara-cara kreatif, sebab kegiatan tersebut tidak termasuk dalam hitungan jam kerja.
Meski belum menjadi kebijakan resmi pemerintah, setidaknya wacana di atas menjadi angin segar dalam dunia pendidikan di negeri ini. Sebab tak dipungkiri, hingga saat ini asumsi umum untuk seseorang yang berprofesi sebagai guru atau pendidik hanya berkutat dengan persoalan mengajar di kelas saja. Seorang guru seolah dibatasi ruang geraknya, sekedar datang mengajar lalu menyampaikan ilmu pengetahuan (transfer of knowledge) di kelas dan setelah itu pulang.
Akibatnya, sadar tanpa sadar, seorang guru terkadang merasa tak perlu memperhatikan pengembangan bakat dan keterampilan murid-muridnya. Termasuk di dalamnya, seorang guru wajib memantau perkembangan moral dan akhlak murid yang diajarinya. Fenomea semacam ini tak hanya menimpa para guru di sekolah dasar dan menengah, tapi juga berlaku merebak di lingkungan pendidikan tinggi atau di berbagai kampus.
Sejatinya wacana yang baru mengemuka ini sejalan dengan tujuan pendidikan nasional di Indonesia, sebagaimana tertuang dalam UU No. 20, Tahun 2003. Pasal 3 yang menyebutkan, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Bahwa pendidikan yang utuh adalah pendidikan yang tak hanya mementingkan nilai teoritis akademik (nilai kognitif) semata, tapi juga harus mengakomodir aspek pendidikan lainnya, yaitu afektif (sikap, nilai, adab, akhlak) dan psikomotorik (life skill dan keterampilan). Tentang ini ditegaskan kembali oleh Abdurrahman an-Nahlawi, seorang tokoh pendidikan Islam. Menurutnya, pendidikan (tarbiyah) terdiri dari empat unsur.
Pertama, menjaga dan memelihara fitrah anak. Kedua, mengembangkan seluruh potensi (kreativitas) dan kesiapan yang bermacam macam. Ketiga, mengarahkan seluruh fitrah dan potensi menuju kepada kebaikan dan kesempurnaan yang layak. Keempat, proses ini dilaksanakan secara bertahap dan sistematis.
Wacana yang dilontarkan oleh Mendikbud tersebut tentunya tak semudah membalik telapak tangan.
Sebab harus diakui sistem standarisasi kompetensi guru juga belum berjalan dengan baik secara merata di seluruh sekolah dan madrasah yang ada. Boleh dikata, dengan pengalaman dan wawasan ilmu yang berbeda, menjadikan pelatihan kreativitas guru menjadi sebuah keniscayaan dalam menjalankan kebijakan aturan kegiatan kreatifitas guru.
Pelatihan kreativitas ini juga dipandang perlu untuk mengarahkan kreativitas guru dan murid menjadi kreativitas yang terarah dan bermanfaat. Sebab ketika pintu kreativitas dibuka lebar-lebar tanpa diberi rambu-rambu nilai dan adab, kelak ia menjadi masalah tersendiri dalam dunia pendidikan.
Hari ini potret pendidikan di negeri ini mengalami dilema, sebab apalah arti pendidikan yang hanya mampu melahirkan anak berintelektual tinggi tetapi jauh dari karakter baik dan daya kreasi yang membangun.
Sebagaimana ide yang inovatif dan kreatif hendaknya juga tak boleh lepas dari nilai-nilai luhur agama sebagai tujuan utama pendidikan Islam, yaitu menghasilkan manusia yang beradab (to produce a good man).
Sebab tak sedikit perilaku menyimpang yang lahir dari dunia pendidikan berkedok atas nama seni dan kreativitas. Sebagai contoh misalnya, aksi coret-coret para lulusan sekolah seringkali dimaknai sebagai proses kreativitas siswa. Ironisnya lagi, apa yang kini diusung oleh orang-orang yang dijangkiti pemikiran liberal juga dinamai dengan kreativitas berfikir atau kreativitas intelektual, menurut mereka tentunya. Allahu musta’an.*
Penulis mahasiswa Magister Pendidikan Islam UIKA Bogor, peserta Kaderisasi Seribu Ulama Baznas