Adab dan etika, dua kata yang dinarasikan Anies itu, meski disampaikan “seolah” hal biasa saja, tapi punya muatan tajam. Adab dan etika itu pertanda, bahwa kita masih bagian dari manusia selayaknya
Oleh: Ady Amar
Hidayatullah.com | ANIES BASWEDAN, Gubernur DKI Jakarta, memang piawai menarasikan sesuatu yang tidak wajar dengan sentilan berkelas. Semacam sindiran halus.
Sentilannya itu lebih bersifat umum, tidak dimaksudkan hanya untuk kalangan terbatas, atau pada pribadi tertentu. Meski orang bisa melihat atau menerjemahkan bahwa sentilan itu respons atas perlakuan tidak sepatutnya dari pihak atau pribadi tertentu.
Anies coba ajarkan pada yang lain, bahwa ada cara elegan patut disampaikan. Meski tidak harus dengan kalimat kasar. Maka sentilan syantik jadi pilihannya. Mestinya sentilannya itu mudah dipahami, meski bagi mereka yang cuma dikit gunakan akal.
Tidak semua mampu menghadirkan sentilan berkelas jadi pilihan. Bagian dari respons atas perlakuan tidak wajar, yang dihadirkan tanpa pendekatan budaya sewajarnya.
Baca: Gubernur Anies Baswedan Beri Sertifikat 1.110 Juru Sembelih Halal
Pilihan merespons sesuatu dengan sentilan seolah tidak ada kaitan dengan sebuah peristiwa, itu bukan perkara mudah. Anies terbiasa dengan hal demikian. Sentilan seperti hook tanpa tenaga, tapi bisa buat tersungkur.
Tidak perlu harus berdebat menampakkan ketidaksukaan dengan narasi kasar apalagi marah-marah, menyangkut hal tak wajar yang diterimanya.
Sikap Anies jadi mengingatkan pada sosok H. Agus Salim, yang biasa merespons sesuatu dengan sikap elegan, terukur dan telak. Tidak dengan bersungut-sungut menampakkan kemarahan.
Saat rapat Syarikat Islam (SI), itu di tahun 1923, tengah H. Agus Salim berdiri di mimbar untuk memulai pidatonya. Terdengar di barisan belakang suara hadirin yang mengembek-embek, khas suara kambing.
Agus Salim memang memakai jenggot putih khas, yang diserupakan jenggot kambing. Suara itu ia dengarkan dengan tenang, tidak tampak kemarahan.
Baca: Raih 3 Penghargaan dari KPK, Anies Baswedan Tuai Pujian
Lalu, setelah mengucapkan salam sebagaimana layaknya mengawali sebuah pidato. Ia lalu memulai dengan nada bertanya.
“Saudara panitia… Apakah saudara dalam rapat ini, selain mengundang anggota SI, saudara juga mengundang pula gerombolan kambing? Saya mendengar suara mengembek-embek di barisan belakang itu…!”
Setelah itu, suara mengembek-embek tidak lagi terdengar. H. Agus Salim mampu merespons “penyerang” dengan media yang ada. Suara mengembek mustahil keluar dari mulut manusia.
Tidak banyak yang bisa demikian. Tidak cuma kemampuan intelektual yang dipunya, tapi kualitas emosi yang baik melatarbelakangi munculnya sikap demikian.
Membalas dengan narasi terukur itu akan dikenang sepanjang masa. Maka perdebatan bersahutan bagai burung beo tidak perlu jadi pilihan.
Anies Menghantar Simbol
Simbol, juga isyarat, bisa jadi media penghantar komunikasi efektif disampaikan. Bisa bersifat khusus maupun umum.
Anies entah disengaja atau justru di luar sadarnya, sering ditafsir menggunakan media simbol, dan narasi semacam isyarat dalam merespons sesuatu hal.
Apa yang diperlihatkan dan dinarasikan sebenarnya hal biasa saja. Tapi yang disampaikan itu, bentuk protes yang “seolah” ditempelkan pada simbol, atau isyarat. Menjadi berkelas.
Saat suasana seolah genting diperlihatkan Pak Dudung Abdurrahman, Pangdam Jaya, dengan operasi sikat habis baliho yang bergambar Habib Rizieq Shihab dan FPI (20/11/2020).
Muncul berseliweran protes atas hal itu. Bukankah baliho-baliho itu, jika mesti dicabut atau diturunkan, itu wilayah kerja Satpol PP Pemprov DKI Jakarta.
Anies tidak berkomentar dengan “ulah” Pangdam Jaya itu. Anies membiarkan saja itu terjadi, tidak protes atau bersuara. Anies memilih diam.
Setelah adegan pencopotan baliho itu, di Ahad pagi (22/11/2020), Anies mengunggah di Facebook dan Twitter, ia sedang santai membaca buku. Buku yang dibacanya tampak mencolok, How Democracies Die (Bagaimana Demokrasi Mati), karya Prof Steven Levitsky dan Prof Daniel Ziblatt.
Baca: Anies Baswedan Resmi Mencabut Izin Proyek Reklamasi 13 Pulau
Orang lalu menafsirkan, itu bahasa simbol. Itu bentuk protes Anies. Buku itu, bisa jadi, pesan tersirat yang dikirim Anies, bahwa masuknya militer ke panggung politik adalah sebuah tanda-tanda (akan) matinya demokrasi.
Juga dalam melihat dan menyikapi ulah Tri Rismaharini, biasa dipanggil Risma, selaku Menteri Sosial yang baru, yang blusukan memakai “panggung” DKI Jakarta yang tanpa kulo nuwun. Hal semestinya yang patut dilakukan seorang pejabat, Anies pun tidak langsung meresponsnya. Anies memilih diam.
Risma ke kali Ciliwung, menemui para pemulung. Terjadi dialog, dan menawarkan macam-macam fasilitas. Lalu menjadi berita viral.
Juga Risma yang lalu menemukan gelandangan di kawasan Sudirman-Thamrin, meski orang menyebut aneh di kawasan itu ada gelandangan. Terjadi dialog, dan lalu viral. Netizen menyebut itu aksi pansos Risma semata. (Lihat, “Risma Bagai Roti Dikerubuti Lalat“).
Selaku Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, memposting di Instagramnya, mengabarkan kunjungannya ke Rumah Sakit Fatmawati, di kawasan Cilandak, 7 Januari 2021.
Di akun Instagram @aniesbaswedan, Anies mengajarkan sikap seorang pejabat yang semestinya saling menghormati, dan tahu akan wilayah kerjanya.
Menjadi menarik, bukan pada foto yang diunggahnya, tapi narasi yang ditulisnya amat menggelitik. Anies tetiba menulis kata adab dan etika.
“Untuk menghormati adab dan etika, pagi ini berkabar terlebih dahulu kepada Menkes bahwa saya akan mengunjungi rumah sakit yang milik Kemenkes, bukan milik DKI.”
Adab dan etika, dua kata yang dinarasikan Anies itu, meski disampaikan “seolah” hal biasa saja, tapi punya muatan tajam. Adab dan etika itu pertanda, bahwa kita masih bagian dari manusia selayaknya.
Kata adab dan etika dipilih Anies, tentu hal tidak biasa. Lalu orang boleh mengaitkan dengan peristiwa tidak semestinya. Itu menyangkut aktivitas Risma, yang seolah masih sebagai wali kota Surabaya, yang sedang dialog dengan gelandangan di jalan Tunjungan dan jalan Darmo, dua kawasan elit di Surabaya.
Anies “seolah” mengirim pesan, mengajarkan adab dan etika selayaknya bagi seorang pejabat. Itu setidaknya yang ditangkap netizen, dan lalu komentar bermacam memujinya.
Tentu hanya Pak Anies sendiri yang tahu penggunaan kata itu dimaksudkan sebagai apa. Berhenti hanya pada keterangan foto yang ada, atau sebagai pesan pada Risma, sebagaimana yang ditangkap netizen. Rasanya, itu sebagai pesan syantik Anies…*
Kolumnis, tinggal di Surabaya