Sambungan artikel PERTAMA
Oleh: Jalal & Pitono Nugroho
Kedua, mencari state of the art ilmu pengetahuan terkait dengan berbagai permasalahan tersebut, kemudian melakukan analisis kesenjangan dengan apa yang diketahui di Indonesia. Hal ini kemudian dipergunakan untuk memberikan arah pencarian dan pengembangan ilmu pengetahuan yang benar-benar diperlukan di Indonesia. Ilmu pengetahuan yang kurang relevan dengan kebutuhan Indonesia di masa mendatang, atau bahkan yang menghalang-halangi masa depan Indonesia yang gemilang perlu untuk segera ditinggalkan. Peta jalan untuk membangun ilmu pengetahuan bagi Indonesia di masa mendatang perlu dibangun, lengkap dengan pembagian tugas serta sumberdaya yang diperlukan untuk itu.
Ketiga, menemukan ruang bagi sinergi antara cendekiawan muslim (ulama) dengan para intelektual lainnya, termasuk dan terutama bagaimana pendekatan transdiciplinary (bukan sekadar pemanfaatan beragam cabang ilmu pengetahuan untuk memecahkan masalah yang kompleks, melainkan juga bagaimana banyak pihak dengan beragam latar belakang—bukan sekadar kaum intelektual—bisa berkontribusi di dalamnya) dipergunakan oleh mereka. Untuk itu, kesediaan untuk saling berbagi ilmu pengetahuan antar-disiplin dan antar-pihak yang didasari oleh kemaslahatan umat dalam perspektif jangka panjang harus menjadi budaya. Di sinilah pertumbuhan ulama sebagai IP (ulama/IP) disemai.
Keempat, membangun mekanisme komunikasi untuk memastikan bahwa seluruh hal yang menjadi perhatian para ulama/IP bisa diketahui dan dipahami oleh masyarakat luas, termasuk dan terutama melalui pemanfaatan media massa tradisional dan sosial. Demikian juga, apa yang menjadi perhatian masyarakat luas bisa mendapatkan tempat dalam wacana para ulama/IP.
Kelima, membuat berbagai contoh dan model yang bisa menunjukkan bahwa kerjasama transdiciplinary antara cendekiawan muslim (ulama)/IP dengan masyarakat luas memang benar-benar bisa mendatangkan maslahat bagi masyarakat luas.
Keberlanjutan Tugas Cendekiawan Muslim
Uraian di atas sesungguhnya mempertegas posisi dan peran cendekiawan muslim, yang menghasilkan pemikiran dan implementasinya, akan diformulasikan dalam sebuah organisasi gerakan. Kalau organisasi adalah fungsi dari visi yang hendak dicapainya, pertanyaannya kemudian, apakah visi yang menentukan organisasi cendekiawan muslim (ulama/IP) di Indonesia?
Pembangunan berkelanjutan—yaitu pembangunan yang menjamin generasi sekarang untuk memenuhi kebutuhannya tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka—dipandang oleh banyak pakar sebagai visi yang melingkupi seluruh tujuan, sehingga bersifat paling komprehensif dibandingkan dengan visi lain. Di tahun 2012, bahkan disetujui apa yang dimaksud dengan The Future We Want, masa depan yang kita inginkan bersama, yang merupakan perwujudan dari logika keberlanjutan yang paling mutakhir.
Sesungguhnya untuk mencapai keberlanjutan, fungsi ekonomi harus dipandang sebagai bagian dari fungsi sosial (sistem produksi, distribusi, dan konsumsi adalah pelayan bagi tujuan sosial), sementaran fungsi sosial merupakan bagian dari fungsi lingkungan (dalam memerjuangkan kepentingan masyarakat siapapun tak boleh melampaui daya dukung lingkungan, melainkan harus menjaga dan memerbaikinya). Model mutakhir inilah yang perlu dijadikan visi besar tugas cendekiawan muslim (ulama)/IP) di Indonesia.
Model mutakhir dalam Evolusi Berkelanjutan kemudian diuraikan oleh kesepakatan global yang difasilitasi oleh Perserikatan Bangsa-bangsa ke dalam beragam tujuan pembangunan. Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals atau SDGs) telah disepakati sebagai kerangka universal pembangunan antara 2016-2030, dengan semakin menekankan pada kemitraan di antara negara-negara dan sektor-sektor untuk mencapainya. Sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 2, terdapat 17 tujuan dan diuraikan lebih lanjut ke dalam 169 target, yang kemudian bisa dimanfaatkan dengan kontekstualisasi di setiap negara yang hendak menerapkannya.
Proses penemuan model keberlanjutan dan ke-17 tujuannya adalah proses ilmiah yang melibatkan ribuan ilmuwan terkemuka dari seluruh dunia, sehingga kualitas pemikiran yang mendasarinya tak perlu diragukan lagi. Namun demikian, bagaimana hal tersebut dicapai oleh setiap negara, maupun satuan-satuan sub-negara, memang harus ditemukan lewat kontekstualisasi lokal.
Seperti yang telah dinyatakan pada bagian terdahulu, pertanyaan terpentingnya adalah isu-isu apa saja yang paling penting (material) untuk diselesaikan beserta peringkat materialitasnya.
Dengan sumberdaya yang terbatas, organisasi apapun yang hendak membantu tercapainya tujuan pembangunan berkelanjutan memang harus memilih isu-isu yang paling material dan mungkin diselesaikannya. Ke-17 tujuan dan 169 target SDGs bisa dijadikan sebagai panduan untuk melakukan uji materialitas isu tersebut, yaitu sebagai kumpulan seluruh isu yang kemudian ditapis dengan teknik-teknik tertentu.
Hingga kini terdapat beberapa pendapat pakar tentang jenis modal apa saja yang menjadi penting bagi pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan. Yang paling komprehensif menyatakan jumlahnya adalah tujuh, yaitu modal insani (human capital), modal ekonomi (economic capital), modal fisik (physical capital), modal sosial (social capital), modal budaya (cultural capital), modal politik (political capital), serta modal lingkungan (environmental capital). Tanpa kecukupan modal-modal itu, masyarakat tidak akan bisa berfungsi secara optimal dan tak bisa mencapai keberlanjutannya.
Hal yang sangat penting untuk diperhatikan adalah bahwa para cendekiawan muslim (ulama)/IP kemudian ditempatkan sesuai dengan minat dan/atau kepakarannya ke dalam empat bidang tersebut. Mereka yang berlatar belakang psikologi, kesehatan, pendidikan, ilmu agama akan tepat masuk ke bidang modal insani. Mereka yang menguasai ilmu akuntansi, ekonomi mikro dan makro, bisnis, arsitektur, teknik sipil bisa masuk ke bidang modal ekonomi. Mereka yang pakar dalam bidang sosiologi, antropologi, politik dan sebagainya bisa masuk ke bidang modal sosial. Sementara, mereka yang berlatar biologi, kimia lingkungan, teknik lingkungan, kehutanan konservasi, dan yang terkait bisa masuk ke dalam bidang modal lingkungan.
Namun demikian, pembidangan itu bukanlah pembatasan kerja, melainkan upaya untuk menentukan bagaimana masing-masing ilmu pengetahuan bisa menyumbang pada tujuan pembangunan berkelanjutan (dan meninggalkan arah perkembangan yang menghambatnya). Arah riset dan pengembangan, serta bagaimana wujud pendidikannya, harus ditujukan ke sana. Dan dalam eksekusinya harus tetap mengedepankan pendekatan transdisciplinary, agar sudut pandang menjadi komprehensif. *
Penulis, Jalal (Chair person of advisory board Social Investment Indonesia), Pitono Nugroho (Aktivis ICMI & Direktur Social Investment Indonesia)