Sambungan artikel PERTAMA
Oleh: Andika Saputra
Cara pemasaran yang dilakukan merk dagang ‘Jilbab Halal’ tidak dapat dipahami sepenuhnya dengan mekanisme bujuk-rayu. Bujuk-rayu untuk menarik perhatian calon-konsumen dan memompa hasratnya hingga memunculkan keinginan untuk mengkonsumsi produk yang dipasarkan dilakukan dengan cara menampilkan kualitas-kualitas yang ‘baik’, menyenangkan dan menggoda. Sementara tagline dan iklan yang ditampilkan merk dagang ‘Jilbab Halal’ justru malah memancing kebingungan dan kemarahan sebagian umat Islam. Respon yang berkebalikan sebagaimana yang dikehendaki cara-cara bujuk-rayu.
Alih-alih melancarkan bujuk-rayu, merk dagang ‘Jilbab Halal’ justru menebar rasa takut. Begitu banyak jumlah umat Islam yang awam dari kalangan muda dan baru saja mulai belajar Islam dalam kondisi iman yang sedang naik. Kalangan ini memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap ajaran Islam yang seringkali dipahami baru sebatas halal dan haram. Halal dipahami pahala yang membawa ke surga, sementara haram dipahami dosa yang membawa ke neraka. Dengan menampilkan iklan yang memuat tulisan “Yakin hijab yang kita gunakan halal?”, secara psikologis memancing rasa takut kalangan ini sebab dipersepsikan jilbab yang digunakannya dalam status tidak pasti kehalalannya atau bahkan haram yang berarti adalah dosa, sehingga harus segera diganti dengan jilbab yang telah pasti status kehalalannya sesegera mungkin.
Di sinilah sertifikat halal MUI digunakan oleh merk dagang ‘Jilbab Halal’ untuk memberi kepastian status kehalalan yang tengah dicari kalangan ini.
Memang tidak lumrah memanfaatkan rasa takut calon-konsumen sebagai strategi pemasaran. Kalaulah benar merk dagang ‘Jilbab Halal’ menyasar kalangan umat Islam demikian, memanfaatkan rasa takut mendapatkan rasionalisasinya. Dalam fenomena ini, rasa takut calon-konsumen dimanfaatkan merk dagang ‘Jilbab Halal’ untuk mengkonsumsi produk yang dipasarkannya.
Baik cara bujuk-rayu maupun menebar rasa takut, keduanya didasari motif ekonomi untuk mendapatkan keuntungan materi. Keduanya mengandalkan kecemasan calon-konsumen untuk mengkonsumsi produk yang dipasarkan, hanya saja berbeda dalam mengkondisikan psikologis calon-konsumennya. Keduanya memanfaatkan rasa ingin memiliki terhadap sesuatu, hanya yang satu mendorong kemunculannya dengan memompa hasrat sementara yang satu lagi melalui sensitivitas terhadap ajaran agama.
***
Melalui teknologi komunikasi dan informasi yang digunakan sebagai media pemasaran, produk diiklankan melalui tampilan citra-citra yang sangat cepat dalam intensitas yang tinggi dan menembus batas geografi, sehingga daya jangkau dan daya godanya pun semakin tinggi dibandingkan teknologi pemasaran pada masa sebelumnya. Karena kemunculan nilai-tanda adalah efek dari digunakannya iklan untuk memasarkan produk, maka keberadaannya tidak dapat ditolak selagi iklan dibutuhkan. Begitupula tidak mungkin menolak keberadaan teknologi komunikasi dan informasi yang kini hampir-hampir dimanfaatkan manusia dalam seluruh aspek kehidupannya.
Untuk itu perlu kajian yang serius dan mendalam untuk menyibak fenomena cara-cara Kapitalisme-lanjut dipraktikkan dan bekerja di kalangan umat Islam dan begitupula dengan solusi yang layak ditempuh, sehingga semacam fenomena ‘Jilbab Halal’ dapat dipahami secara utuh hingga dasar agar strategi menghadapi dan cara-cara penanggulangan serta pencegahannya dapat dengan tepat dirumuskan.
Tentu fenomena ‘Jilbab Halal’ bukanlah yang terakhir dan akan masih terus muncul fenomena serupa semasih sistem budaya-ekonomi Kapitalisme-lanjut digdaya. Apalagi telah mengakar sangat dalam di kalangan umat Islam, sehingga menariknya membutuhkan daya upaya yang begitu besar dan waktu yang tidak sebentar. Paling tidak kita telah memiliki cara yang tepat untuk menghadapinya dan secara perlahan mengakhirinya agar tidak terus bingung dan mengumbar kemarahan jika nanti harus menghadapi fenomena yang serupa.*
Penulis bertempat di Yogyakarta