Oleh: Ilham Kadir
TUMBANGNYA Orde Baru ditandai dengan rontoknya dinasti Presiden Soeharto yang berkuasa lebih dari tiga dasawarsa. Setelah itu muncul masa reformasi, ditandai dengan terbukanya secara lebar kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat, bahkan partai politik yang sebelumnya diatur secara ketat dan hanya diikuti oleh tiga partai gajah, kini lebih longgar dan dipermudah syarat dan rukun-rukunnya.
Maka partai-partai baru yang kemudian memunculkan tokoh-tokoh politik baik skala nasional maupun lokal. Harus diakui bahwa munculnya tokoh-tokoh nasional di Orde Reformasi karena peran partai atau sebaliknya, ketokohannya yang menjadikan sebuah partai terkatrol dan tetap eksis.
Para pelakon politik selalu muncul di tiap masa. Mereka adalah figur-figur yang menjadi panutan masyarakat luas. Bahkan lebih dari itu semua, tidak sedikit tokoh politik memiliki massa yang fanatik, sehingga apa pun yang dikatakan oleh sang figur seakan jadi kredo bagi pendukungnya, dan perbuatannya menjadi anutan para pengikutnya. Ada adagium, “Langit itu biru, tapi kalau tuan bilang langit itu hitam maka saya percaya kata tuan”. Pernah ada seorang pengikut tokoh yang mengambil air bekas cucian kaki panutannya untuk ia minum dan jadikan jampi.
Masalah kemudian muncul. Bahwa tidak sedikit aktor politik yang dengan mudah loncat partai sana sini, atau calon pemimpin yang selalu berganti-ganti pasangan sesuai kebutuhan dan kepentingan.
Kita saksikan, selama Orde Reformasi para calon presiden dan wakil presiden bongkar pasang. Diikuti oleh para kepala daerah, yang seenaknya kawin cerai dengan wakilnya. Bahkan ada pasangan kepala daerah yang terpilih bertahan tidak sampai seratus hari setelah menang. Setelah itu, mereka berdua sudah berhadapan sesama, dipertontonkan kepada khalayak umum.
Maka, terjadilah ketidak-stabilan pemerintahan. Sebab fungsi wakil sudah tidak berjalan, di lain pihak kepala daerah sudah kehilangan satu sayap, pembangunan amburadul dan kue kekuasaan dimakan tikus-tikus rakus.
Yang menyakitkan adalah lahirnya konflik horizontal antara sesama. Sebab fanatisme masyarakat terhadap tokoh politik tertentu mengalahkan fanatiknya terhadap agama. Tidak sedikit tokoh politik dan masyarakat telah menjadikan politik sebagai orientasi utama dalam hidupnya.
***
Agama dan politik bagaikan dua saudara kembar yang lahir dari satu ibu, begitu petuah Imam Al-Gazali (1059-1111). Bahkan, penulis “Kitab Ihya Ulumuddin” itu melihat bahwa manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa bantuan orang lain.
Posisi politik adalah perajut antar satu manusia dengan lainnya, mengatur tata cara hidup perorangan, berkomunitas hingga bernegara. Tapi, harus ada penegasan bahwa pembentukan pemerintahan tidak hanya berdasarkan pada pemenuhan kebutuhan praktis duniawi, melainkan harus menjadi jembatan bagi kehidupan setelah kematian, (Iqbal & Nasution, “Pemikiran Politik Islam” Jakarta, 2013: 28).
Bagi Al-Gazali, keberadaan seorang pemimpin atau politikus tidak hanya dipilih berdasarkan rasio dan pertimbangan keduniaan melainkan harus lebih dominan dari pertimbangan akhirat, sebab kesejahteraan dunia dan kebahagiaan akhirat tidak akan dicapai tanpa penghayatan dan pengamalan agama secara benar.
Di sini, Al-Gazali menilai bahwa politik (negara) menempati posisi yang sangat penting dan strategis, hanya berada setingkat di bawah kenabian.
Kecuali itu, para ulama dan cerdik pandai juga menjadi bagian penting dalam memajukan sebuah bangsa. Sebab, dari mereka penelitian yang melahirkan teori berasal, lalu teori-teori itu diaplikasikan oleh para politikus. Para ulama adalah penasihat para pemimpin, jika salah memberikan nasihat akan berakibat fatal bagi umat, dan pemimpin serta politisi harus menjadikan ulama sebagai pijakan dalam kebijakan.
Sesungguhnya kerusakan rakyat disebabkan oleh kerusakan pemimpinnya, dan kerusakan pemimpin disebabkan kerusakan para ulama. Kerusakan ulama disebabkan oleh cinta harta dan jabatan. Siapa yang dikuasai ambisi duniawi maka ia tidak mampu mengurus rakyat kecil, begitu pesan Al-Gazali dalam “Ihya’ Ulumuddin, II/381”.
Baca: Deislamisasi Politik
Posisi politikus memang mulia jika berada pada jalur yang benar, satu tingkat di bawah Nabi. Sebab, Nabi diutus untuk memberikan penjelasan kepada manusia tentang petunjuk Allah dan dalil-dalil beribadah. Ada kabar gembira (basyir) ada pula peringatan (nadzir), serta perintah mengenal Allah dan syariat agama. Ada pun politisi, bagi Al-Gazali golongan ini mulia karena mereka menjaga umat manusia dari sikap permusuhan antarsesama. Kemaslahatan umat manusia di bumi ini sangat tergantung dengan kebijakan dan sikap para politisi.
Terang, bahwa para politikus yang berambisi merebut dan atau sedang mempertahankan kekuasaan mereka jika benar-benar amanah, memerintah sesuai kehendak agama dan undang-undang adalah sarana untuk menduduki maqam yang mulia di sisi Allah, dunia dan akhirat.
Sebaliknya, jika jabatan diraih dengan cara yang salah, membuat kebijakan yang tidak bijak, merugikan umat dan rakyat. Bahkan lebih celaka lagi jika menjadi pemantik api permusuhan. Maka, cerdas berpolitik adalah solusi menggapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Wallahu A’lam!
Alumni Pondok Psesantren Darul-Huffadh Tuju-Tuju, Bone