Oleh: Aktifanus Jawahir
GONJANG-GANJING; penilaian sinis, kritik tajam dan ketidak puasan terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) nampaknya akan tetap terus berlanjut dan tidak akan pernah berhenti.
Yang namanya manusia tidak akan pernah berhenti bicara, menilai dan mengemukakan pandangan dan persepsinya, apalagi ucapan dan tindakan Jokowi dinilai lamban dan lambat, sahingga menimbulkan masaalah, dan tanggapan yang berbagai juga datang dari berbagai pihak.
Mulai dari komentar soal jatuhnya pesawat Air Asia QZ 8501 Jokowi mengomentarinya dengan nada yang seolah-olah persoalan, bukan masalah serius dan tragedi yang berat serta menyedihkan.
Kemudian timbul pula tindakannya menaikkan harga minyak dan solar (Bahan Bakar Minyak-BBM), di tengah harga minyak dunia terus menjunam sampai hanya berharga USD 40 perbarel, kemudian diturunkan pula harganya.
Kini terjadi pula soal penunjukkan Jenderal Polisi Drs Budi Gunawan (BG), yang kemudian BG dinyatakan terlibat berbagai kasus korupsi oleh Komite Pemberantasan Korupsi (KPK). Tak lama setelah itu Wakil Ketua KPK Bambang Widjajanto (BW) ditangkap pula oleh polisi, kabarnya akan menyusul Ketua KPK Abraham Samad, dengan berbagai tuduhan dan dakwan lama, yang mulai diungkit ke permukaan.
Apakah penunjukkan BG ini atas kehendak Megawati Soekarnoputri yang juga Ketua Umum PDI-P dan mantan Presiden ke 5 ini ataupun tidak, di mana akhirnya BG dinyatakan tidak bersalah oleh Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Sarpin Rizaldi dalam penghakiman Praperadilan, dan kini yang pasti peristiwa dan kasus ini mencoreng arang di muka pemerintahan Jokowi-JK.
Konflik Tak Pernah Berakhir
Kenapa kisruh dan konflik politik semenjak Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945 tidak pernah berhenti dan berakhir?
Tahun 1945 umat Islam dikhianati dengan penghapusan tujuh kalimat dalam Piagam Jakarta “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi para pemeluknya”, setelah itu diadakan Pemilihan Umum yang pertama pada tahun 1955 yang dimenangi oleh Partai Islam Masyumi dan Partai Nasional Indonesia (PNI).
Kala itu, di belakangnya Partai Nahdhatul Ulama (NU) dan Partai Komunis Indonesia (PKI) di tempat keempat. Perdebatan dalam persidangan Konstituante di Bandung yang mengusulkan Islam, Sosialisme dan Pancasila masing-masing oleh Masyumi, Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan PNI sebagai dasar Negara, akhirnya digagalkan oleh Presiden Soekarno yang di belakangnya adalah Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Dengan dekrit mengembalikan Negara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, memang di dalamnya, di Muqaddimah UUD 1945 itu tujuh kata itu dimasukkan, termasuk di dalamnya “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, Maka tercapailah kemerdekaan Indonesia”.
Apakah kalimat itu dimasukkan betul-betul dengan kesadaran yang ikhlas atau hanya berpura-pura untuk mengelabui mata umat Islam yang waktu jumlahnya lebih 90% jika dibanding dengan keadaan sekarang yang sudah turun menjadi 88% atau malah boleh jadi semakin kurang?
Setelah itu apa yang terjadi Partai Islam Masyumi dan PSI yang dipaksa bubar oleh Soekarno, kala itu pemimpin dan rakyat di daerah memberontak karena Soekarno sudah berpelukan dengan PKI dan akhirnya mantan pemimpin dan tokoh Masyumi dan PSI serta sebagian kecil tokoh NU ditangkap oleh Soekarno, yang dikenal dengan Rezim Orde Lama.
Mereka dipenjarakan selama enam tahun, Buya Prof Dr Hamka yang agak singkat selama dua tahun, namun hikmahnya beliau berhasil menyelesaikan Tafsir Al Azhar 30 juz.
Orde Lama berubah menjadi Orde Baru, dari Soekarno ke Soeharto, dari Demokrasi Terpimpin yang condong kepada komunis, berubah menjadi ‘demokrasi diktator’ yang juga sama-sama zalim. Rezim ini kemudian disebut Orde Baru, namun yang jelas Pancasila tetap saja ditafsirkan sesuai selera penguasa.
Penafsirannya yang pasti banyak menguntungkan penguasa dan sesuai dengan kehendak rezim yang memerintah.
Padahal menurut almarhum Kiai Haji Muhammad Isa Anshari, yang menerima Pancasila itu adalah orang yang tidak siuman. Sebagaimana kita ketahui Isa Anshari adalah paman kandung kepada Dja’far Naim (DN) Aidit setelah menjadi Sekjen PKI namanya ditukar menjadi Dipo Nusantara (DN) Aidit.
Begitulah akhirnya Pancasila dijadikan azas tunggal bagi partai politik, serta Ormas Islam dan ormas lainnya pada tahun 1983. Tahun 1971 sampai tahun 1991 kalangan Kristen Protestan dan Katolik serta Nasionalisme sekular.
Begitu berkuasa, barulah semenjak dibentuknya Ikatan Cendikiawan Muslim Se-Indonesia (ICMI) tahun 1991, dimana Ketua Umumnya yang pertama adalah Prof Dr Ing Burhanuddin Jusuf Habibie pada masa itu beliau adalah Menteri Negara Riset dan Teknologi merangkap Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Melalui ICMI, kala itu mulai secara langsung atau tidak langsung memasukkan ruh dan semangat Islam dalam birokrasi dan kekuasaan.
Masa itulah Pak Harto nampaknya sudah mulai kembali berjinak-jinak dengan ummat Islam, namun budaya Korupsi, Kolusi dan Kronisme (KKN) sudah menggurita dalam keluarga dan orang-orang dekat dengan keluarga Soeharto.
Maka ketika Soeharto terpilih sebagai presiden untuk keenam kalinya dalam Sidang Umum Majlis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada Maret 1998, di mana wakilnya adalah BJ Habibie menggantikan Jenderal TNI (Purn) Tri Sutrisno, yang menjadi wapres dari Maret 1993 sampai Maret 1998.
Akhirnya karena ketidakpuasan dan kekecewaan rakyat sudah menjadi-jadi di mana-mana hampir di seluruh Indonesia, terjadilah demontrasi di berbagai kota. Soeharto akhirnya mundur menyerah kalah pada 21 Mei 1998 digantikan oleh BJ Habibie.* (bersambung)
Penulis aktivis gerakan Islam, keluarga besar Muhammadiyah dan keluarga Bulan Bintang. Kini tinggal di Malaysia