Oleh: Bambang Galih Setiawan
KEMERDEKAAN Indonesia yang jatuh pada tanggal 17 Agustus 1945 dan diperingati setiap tahunnya, patut untuk disyukuri dan diingat keberadaannya. Bukan untuk dirayakan dengan euforia, namun yang utama adalah perlunya masyarakat Indonesia untuk mengetahui dan menyadari akan hakikat kemerdekaannya.
Salah seorang founding father dan ulama besar Indonesia, yang pernah menduduki anggota majelis konstituante – Sebuah majelis yang berupaya merumuskan dasar-dasar negara pada masa awal kemerdekaan Indonesia—, yaitu Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA), menegaskan dalam pidatonya di depan majelis konstituante pada tahun 1957. Bahwa jiwa dan dasar kemerdekaan negara ini, merupakan hasil dari semangat dan perjuangan yang telah diisi oleh mayoritas para ulama, tokoh dan ummat Islam sejak ratusan tahun lamanya, yang kemudian dapat dipetik pada tahun 1945. Pekik kemerdekaan yang dahulu dikumandangkan oleh pahlawan dan masyarakat Indonesia, bersahutan dengan pekikan takbir, yang melatari semangat dan jiwa kemerdekaan Indonesia. HAMKA menyebutkan:
“Yang ada dalam Proklamasi hanya merdeka dan merdeka itu disambut oleh golongan umat Indonesia yang terbesar, yang 90% dengan dorongan Allahu Akbar. Baik dia Masyumi atau PNI. Bahkan mahasiswa pelajar Sekolah Tinggi yang terdidik berpikir secara barat, datang kepada seorang Kyai meminta tuah kebesaran Allahu Akbar ketika akan pergi ke medan perang.” (Debat Dasar Negara, Islam dan Pancasila, Konstituante 1957, Jakarta: Pustaka Panjimas, 2001, hlm.101)
HAMKA mengutip pernyataan seorang ahli hukum Indonesia, Prof. Dr. Hazairin S.H, yang telah terkenal dan dalam pengetahuannya tentang hukum di Indonesia, bahwasanya Piagam Jakarta yang disebut Presiden Soekarno menjiwai keseluruhan Undang-Undang Dasar 1945, adalah sebab utama dan hukum yang kuat bagi timbulnya Proklamasi 17 Agustus 1945. Ia laksana suatu kontrak sosial dari wakil-wakil tiga golongan Indonesia pada 22 Juni 1945, yaitu golongan Nasionalis yang diwakili oleh Soekarno, Hatta, Mohammad Yamin dan Soebardjo.
Golongan Islam yang diwakili oleh Haji Agus Salim, KH. Wahid Hasyim, Abikusno Cokrosuyoso dan Abdulkahar Muzakir. Serta golongan Kristen yang diwakili oleh A.A. Maramis. Yang kemudian membuka jalan diproklamasikannya kemerdekaan 54 hari setelahnya pada 17 Agustus 1945, dan salinan kalimatnya termuat pada Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945:
“Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaannya.”
Menurut HAMKA, inilah pokok dan dasar pertama dari berdirinya Negara Indonesia, sebagaimana yang tercantum dan dibunyikan dalam Piagam Jakarta dan Pembukaan undang-Undang Dasar 1945. Negara ini berdiri karena adanya pertemuan diantara keinginan luhur rakyat Indonesia dengan Berkat Rahmat Allah. Artinya bertemu diantara takdir Allah dengan ikhtiar manusia. Kalau tidak ada gabungan dari kedua itu, kemerdekaan tidak akan tercapai dan negara tidak akan berdiri. Sehingga kesadaran bagi mereka pada awal dirumuskannya Piagam Jakarta yang memasukkan kalimat “Dengan kewajiban menjalankan syari`at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Namun tujuh kata ini akhirnya diurungkan atau dihapuskan dengan berbagai propaganda dan janji-janji yang tidak pernah ditepati oleh segelintir penguasa kepada mayoritas umat Islam. Maka perjuangan kemerdekaan ini masih belum selesai dan harus dilanjutkan sampai ditegakkannya syariat Islam. HAMKA mengingatkan:
“Mari kita berpahit-pahit, kaum muslimin belum pernah merasa puas dalam kemerdekaan negeri ini kalau kewajiban menjalankan syariat Islam dalam kalangan pemeluknya seperti tercantum dalam pembukaan UUD 1945 belum menjadi kenyataan.” (Hamka, Mengapa Mereka Masih Ribut? dalam Hati ke Hati, Tentang Agama, Sosial Budaya, Politik. Jakarta: Pustaka Panjimas, 2002)
Sedangkan dalam dasar negara, yaitu falsafah Pancasila yang menjadi konsensus para ulama, tokoh, dan mayoritas ummat Islam di Indonesia, ditentukan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama. Hal ini telah ditafsirkan dan disepakati bersama, bermakna keimanan atau ketauhidan kepada Allah Subhanuwata`ala. Ia merupakan jalan tengah atau hak konstitusi bagi umat Islam yang mewakili mayoritas rakyat Indonesia.
HAMKA kemudian menekankan, Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan sila pokok yang tidak bisa ditafsirkan lain, dan tidak bisa diletakkan secara sejajar atau lebih tinggi dari empat sila lainnya, sebagaimana yang dipropagandakan atau ingin ditafsirkan oleh sebagian kalangan yang berusaha memisahkan negara dengan agama Islam, dan ingin menghapus makna dan kata “Allah” dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. HAMKA menyebutkan bahwa Ketuhanan yang Maha Esa merupakan konsekuensi logis dari keempat sila lainnya:
“Orang yang percaya kepada Tuhan pasti berperikemanusiaan. Orang yang percaya kepada Tuhan pasti mempertahankan persatuan Indonesia, pasti melakukan keadilan sosial, karena dia beriman kepada Tuhan. Sebab Persatuan Indonesia itu adalah janji kita sebagai bangsa yang sadar.” (Disampaikan HAMKA sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia, pada pertemuan dengan Wanhankammas tanggal 25 Agustus 1976, dalam Yayasan Nurul Islam, Kenang-kenangan 70 tahun Buya Hamka, Jakarta: Slipi Baru, 1978, hlm. 275-276.)
Ketuhanan Yang Maha Esa adalah urat tunggang atau akar tujuan dari Pancasila dan bangsa Indonesia, sedangkan keempat sila lainnya adalah akibat dari sila pertama. HAMKA misalnya menjelaskan, kemanusiaan adalah hasil yang timbul secara langsung dari keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa, sedangkan ia mengkritik berbagai teori tentang peri-kemanusiaan yang tidak dapat dijamin kejujurannya, selama tidak didasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebab kemanusiaan dalam pandangan ummat yang Berketuhanan Yang Maha Esa adalah ditentukan dari ketaqwaannya. Bukan karena kepentingan ras, suku, pangkat atau jabatannya.
HAMKA kemudian berkesimpulan dan menyarankan bahwa Pancasila sebagai Falsafah Negara Indonesia, akan hidup dengan subur dan terjamin, jika sekiranya kaum Muslimin sungguh-sungguh memahami agamanya, sehingga ia menjadi pandangan dan mempengaruhi seluruh langkah hidupnya. Dan tidaklah ada menurut HAMKA, suatu agama ataupun ideologi lain yang dapat menjamin kesuburan Pancasila di Indonesia, melainkan Islam.
Dikutip oleh HAMKA apa yang pernah diucapkan oleh Bung Karno pada saat pertemuan Pegawai-pegawai Kementerian Penerangan pada tanggal 28 Maret 1952, “Pancasila itu telah lama dimiliki oleh bangsa Indonesia, sejak lahirnya Sarikat Islam yang dipelopori oleh Almarhum H.O.S. Tjokroaminoto…” HAMKA lalu menambahkan:
“Pantjasila telah lama dimiliki oleh bangsa Indonesia, jaitu sedjak seruan Islam sampai ke Indonesia dan diterima oleh bangsa Indonesia. Kita tak usah kuatir Falsafat Pantjasila akan terganggu, selama urat tunggangnya masih tetap kita pupuk, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa.” (Hamka, Urat Tunggang Pantjasila, Djakarta: Pustaka Keluarga, 1951, hlm.14-15)
Awal mula dan pangkal perjuangan ini juga terletak pada satu sila pertama dalam Pancasila. HAMKA menyebutkan, perjuangan kemerdekaan Indonesia ini dipelopori oleh manusia-manusia besar yang senantiasa berkeyakinan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Sultan Hasanuddin, Pangeran Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, Teungku Tjik di Tiro, adalah orang-orang yang berjuang karena Ketuhanan Yang Maha Esa, sehingga membuat jiwa mereka hidup dan berkobar untuk berjuang bagi tanah airnya, sebagaimana terukir dalam sejarah. Bahkan HAMKA menyinggung akan sosok kepahlawanan ini, hadir dalam setiap sendi umat Islam:
“Rakyat djelata tampil kemuka dengan bambu runtjing, begitupun Kijai-kijai serta santrinja tampil kemuka. Pondok dan surau berobah mendjadi markaz perdjuangan gerilja. Tidak ada perhitungan, hanya satu sadja, Ketuhanan Jang Maha Esa. Tjobalah tanjai kepada Bung Karno, kepada Bung Hatta, bukanlah hanya itu sadja modal jang ada dalam hati mereka diwaktu itu?” (Hamka, Urat Tunggang Pantjasila, Djakarta: Pustaka Keluarga, 1951, hlm.14-15)
Ketuhanan Yang Maha Esa adalah satu-satunya tempat bagi para kyai, santri dan masyarakat bertawakkal, dan satu-satunya tempat bergantung Bung Karno dan Bung Hatta serta para pahlawan bangsa meletakkan takdir perjuangannya. Sehingga HAMKA mengingatkan, keyakinan bagi seorang atau kaum yang memperjuangkan Ketuhanan Yang Maha Esa, akan mendapatkan kekuatan, keteguhan dan derajat setinggi-tingginya, ketika mereka memegang tiga pokok dari hakikat kemerdekaan itu, yaitu:
- Merdeka iradah (kemauan), selama mereka masih berani menyuruh, menyarankan menganjurkan dan menciptakan perkara yang ma`aruf. Yaitu yang dikenal baik dan diterima baik oleh masyarakat. Itulah yang bernama “Al-amru bil maaruf” (mengajak pada yang baik).
- Merdeka fikiran, atau bebas menyatakan fikiran, yaitu melarang, menahan, mengkritik, mengaposisi yang mungkar. Artinya yang tidak dapat diterima oleh masyarakat. Inilah yang bernama “annahu `anil munkar” (mencegah dari yang mungkar). Tidak peduli dari siapa datangnya dan siapa yang membawanya. Karena kebenaran di atas dari segala manusia. Sebagaimana semboyan, “keadilan di atas dari segala kekuatan, kebenaran di atas dari kedudukan”.
- Kemerdekaan jiwa. Bebas dari ketakutan. Itulah kepercayaan atau keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa saja, dan berjuang untuk Tuhan Yang Maha Esa saja, sehingga jiwa menjadi kuat menentang segala tantangan dan kesulitan. Mencintai sesama manusia adalah karena kehendak Tuhan. Mencapai keadilan sosial adalah karena kehendak Tuhan. Kedaulatan rakyat adalah karena amanat Tuhan, dan karena memikul tanggung jawab sebagai khalifah Tuhan. Inilah “Wa tu`minuna billahi” (Dan beriman kepada Allah). Kalau pokok ini yang runtuh (kemerdekaan jiwa), inilah permulaan hilang kemerdekaan. Walaupun serdadu asing tidak ada di dalamnya lagi. Bahkan pemerintahannya itulah yang akan menjadi asing baginya.*
Penulis alumni Ma`had Aly Imam al Ghazali Solo