Oleh: Ahmad Kholili Hasib
KESADARAN untuk melindungi agama dan umat beragama di negara ini terhitung masih lemah. Setidaknya indikasi itu dilihat dari belum adanya respon dari penegak hukum yang memuaskan dalam kasus penistaan Ahok terhadap al-Qur’an.
Hingga terjadilah aksi damai terbesar dalam sejarah Indonesia yang diikuti sekitar satu juta umat, Jumat 4 November 2016 lalu. Kasus ini terbilang lambat. Sebab, pelaporan dilakukan sudah lebih dari satu bulan lalu.
Lambatnya penanganan kasus satu ini tentu berbeda dengan kasus-kasus korupsi yang menjerat sejumlah pejabat tinggi negara dan pemimpin daerah. Seorang menteri dan mantan menteri pernah langsung ditangkap dan ditahan. Seorang Gubernur juga pernah langsung ditetapkan sebagai tersangka, meski masih diduga.
Kasus korupsi dan kejahatan agama tentu saja kasus yang sama penting untuk ditangani. Tetapi, para pejabat, penegak hukum dan Presiden mestinya tahu bahwa kejahatan yang terkait dengan agama sifatnya lebih sensitif. Mesti ada skala prioritas dalam hal ini.
Sebabnya, negara ini berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Negara ini bukan ateis. Makanya, komunisme juga resmi dilarang di negeri ini. Negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa itu tidak boleh ada blasphemy (pelecehan agama). Dalam undang-undang negara blasphemy adalah kejahatan atau kriminal.
Hukum negara telah mengatur melalui UU No. 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan Agama. Pasal 1 UU menerangkan tentang larangan melakukan pendodaan agama dalam bentuk apapun. Bunyi pasal tersebut adalah: Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.
Pelanggaran terhadap UU di atas diancam hukum lima tahun. Sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat 3: Maka orang, penganut, anggota dan/atau anggota Pengurus Organisasi yang bersangkutan dari aliran itu dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun.
Sementara KUHP pasal 156 juga menegaskan, pelaku penistaan agama diancam hukuman penjara lima tahun penjara. Pasal 156 a KUHP berbunyi: Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: (a) yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; (b) dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa.
Karena itu, penista agama itu tidak berjiwa Pancasila. Seharusnya yang bisa menjadi pejabat negara itu orang yang berjiwa Pancasila dan taat undang-undang. Tetapi persoalannya lagi-lagi ada pada etika politik yang buruk.
Perilaku politik para politikus masih seperti perdagangan atau jual beli. Ada tawar menawar, kesepakatan dan ‘daftar harga barang’. Dalam sistem yang demikian, Pancasila, undang-undang dan konstitusi tidak berfungsi dengan baik (off).
Politik dagang (trade politic) demikian sama sekali tidak konstitusional dan tidak beretika. Di sini kapitalisme berkuasa, bukan partai politik. Bahkan seorang pemimpin negara pun bisa tidak berkutik.
Apa sebab? Para kapitalis memainkan peran sebagai pemodal politikus. Tentu tujuannya adalah hegemoni ekonomi dan mengamankan kerajaan bisnisnya. Politikus diberi modal untuk membeli ‘kursi’ jabatan. Lihat saja fenomena pilkada. Siapa bermodal bersar, dia yang berpeluang besar menang. Seperti kata pepatah “tak ada fulus, mampus”.
Pun ada tawar menawar. Bila ada uang banyak, maka mudah untuk mendapatkan ‘barang’ yang berharga. Modal pas-pasan bisa mendapatkan kursi yang mahal, asalkan pintar dalam menawar.
Di sinilah terjadi kerja sama saling menguntungkan dalam menutup aib-aib politiknya. Sama-sama mengamankan posisi antara politikus dan pemodal kapitalis. Asalkan sama-sama aman, jalan terus.
Seorang politikus sering terpenjara oleh tawar-menawar ini. Bila keluar dari kesepakatan dengan pemodal, ia bisa dibuka aibnya. Resikonya, karirnya tumbang. Maka, mereka memilih menjadi orang jahat asalkan aman, daripada orang sholih tapi dihancurkan hidupnya. Penjahat bisa menjadi pejabat. Dan Pejabat bisa mendadak menjadi penjahat. Atau minimal menjadi pelindung penjahat. Jadi, ini memang sudah sedemikian rusaknya etika politik kita.
Tentu saja tidak semua berperilaku seperti itu. Masih banyak yang baik dan sholih. Berjiwa pejuang, Pancasilais dan taat agamanya. Namun, seberapa besar pengaruh politikus yang baik ini dalam menentukan kebijakan negara? Kita semua berdoa, semoga yang baik menang dan yang jahat kalah.
Seorang pejabat yang ‘terpenjara’ oleh trade politic itu tentu saja bisa lolos dari ancaman pemodal kapitalis bila didukung rakyat.
Dalam kasus penistaan al-Qur’an ini seyogyanya Presiden kembali kepada Pancasila dan konstitusi. Saat ini, jutaan rakyat tersakiti oleh pelaku penista agama. Sakitnya rakyat ini terobati bila Pancasila dan konstitusi ditegakkan. Tetapi, bila Presiden meremehkan rakyat yang mayoritas Muslim ini, maka resiko politik Presiden sangat besar. Seharusnya isu agama itu tidak bisa ditawar dengan kepentingan politik tertentu.
Andaikan para pejabat sadar dengan sejarah pendirian Indonesia. NKRI ini tegak dengan darah para ulama dan santri. Dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, peran ulama tidak bisa diabaikan. Konon, pada detik-detik menjelang pengumuman kemerdekaan, Bung Karno tak melupakan ulama untuk diminta nasihatnya.
Di Cianjur ia menemui dua ulama besar, yaitu KH. Abdul Mukti dari Muhammadiyah, dan KH. Hasyim Asy’ari dari NU untuk meminta masukan tentang kemerdekaan Indonesia.
Pada zaman perang kemerdekaan, KH. Hasyim Asy’ari meminta agar umat Islam Indonesia ikut serta berkontribusi untuk Indonesia. Sebagai komponen terbesar, Muslim Indonesia harus berada pada peran vital. Baginya, Indonesia harus dibangun oleh para cerdik pandai Muslim, bukan orang asing.
Pada tahun 1945, para kiai NU se-Jawa dan Madura berkumpul di Surabaya mengadakan pertemuan khusus yang dimpimpin oleh KH. Wahab Hasbullah. Dalam kesempatan itu, KH. Hasyim Asy’ari mengeluarkan tausiyah tentang kewajiban umat Islam dalam memperjuangkan kemerdekaan. Berpijak dari tausiyah itu, maka pertemuan tersebut mengeluarkan resolusi yang dikenal dengan ‘Resolusi Jihad’.
Hasyim Asy’ari adalah pejuang yang dikenal tidak pernah mau tunduk kepada penjajah Belanda dan Jepang. Ia sering dibujuk Belanda untuk tunduk, namun selalu ditolaknya. Akibat sikapnya yang non-kooperatif terhadap Belanda ini, pesantren Tebuireng pernah dihancurkan Belanda.
Kiai Hasyim pernah menyampaikan pidato tegas dalam acara pertemuan ulama seluruh Jawa Barat di Bandung. Ia mengatakan: “Kita seharusnya tidak lupa bahwa pemerintahan dan pemimpin mereka (Belanda) adalah Kristen dan Yahudi yang melawan Islam. Memang benar, mereka seringkali mengklaim bahwa mereka akan netral terhadap berbagai agama dan mereka tidak akan menganak emaskan satu agama, akan tetapi jika seseorang meneliti berbagai usaha mereka untuk mencegah perkembangan Islam pastilah tahu bahwa apa yang mereka katakana tidak sesuai dengan apa yang mereka praktekkan. Kita harus ingat bahwa Belanda berusaha agar anak-anak kita menjauhkan mereka dari ajaran-ajaran Islam dan mencekoki mereka dengan kebiasaan buruknya. Belanda telah merusak kehormatan Negara kita dan mengeruk kekayaan. Belanda telah mencoba memisahkan ulama dari umat. Dalam berbagai hal, Belanda telah merusak kepercayaan umat terhadap ulama dengan berbagai cara” (Soeara Masjoemi 15 Agustus 1944 dalam Samsul Ma’arif, Mutiara-Mutiara Dakwah KH. Hasyim Asy’ari, hal. 294).
Jendral A. H. Nasution dalam sebuah pidato peringatan 18 Tahun Piagam Jakarta 22 Juni 1963 di Jakarta mengatakan, bahwa rumusan dasar negara muncul di antaranya karena inisiatif para alim ulama yang mengirimkan surat berisi usulan tentang bentuk dan ketentuan-ketentuan yang digunakan bagi Indonesia merdeka. Surat yang dikirim dari berbagai alim ulama itu berjumlah 52 ribu surat yang terdaftar (Endang Saifuddin Anshari, Piagama Jakarta 22 Juni 1945, hal. 29-30).
Inilah cara para pendiri bangsa agar karakter bangsa tidak ditelan oleh imperialisme baru. Seperti ungkapan KH. Muhammad Isa Anshori, : “Pancasila harus hidup dengan teman-temannya sila yang lain, seribu satu sila yang tersebar dalam lembaran ajaran Islam. Bila Pancasila tidak dijaga dengan cara seperti itu, maka akan ditelan oleh imperialisme dan komunisme”.
Adanya Pancasila merupakan dasar konstitusional melindungi agama dan umat beragama. UU negara semuanya berdasarkan Pancasila ini. Tidak terkecuali undang-undang yang mengatur hubungan antar agama, penistaan agama dan lain-lain.
No. 1/PNPS/1965 tentang Penodaan Agama, merupakan produk undang-undang yang semestinya ditegakkan dengan tegas oleh para negarawan. Karena UU tersebut merupakan amanah pendiri bangsa, agar Indonesia tetap pada koridor Pancasila. Berarti, siapa yang menista agama, maka dia tidak Pancasilais.*
Penulis anggota Majelis Intelektual dan Ulama Muda (MIUMI) Jawa Timu