Oleh: Abdullah al-Mustofa
Peringatan Hari Santri Nasional kali ini nampaknya lebih semarak dari pada tahun sebelumnya. Peringatan ini diadakan di seluruh Tanah Air hingga di pelosok-pelosok desa, bahkan di seluruh dunia yang diikuti oleh PCINU (Pengurus Cabang Istimewa Nahdhatul Ulama) di 24 negara. Lebih dari itu, juga diadakan pembacaan Sholawat Nariyah yang dibaca serentak oleh 1 Milyar orang dan Kirab Resolusi Jihad NU menempuh jarak 2000 km – keduanya telah berhasil memecahkan rekor dunia versi MURI -.
Sedangkan di Jakarta, peringatan ini diadakan di Monumen Nasional (Monas) dan diikuti lima puluh ribu santri dari seluruh Tanah Air. Dalam upacara itu para peserta upacara diingatkan betapa beratnya perjuangan para pahlawan yang berperang melawan kaum penjajah untuk meraih kemerdakaan.
Semangat berjihad
Penentuan tanggal Hari Santri Nasional tentu tidak sembarangan, dengan kata lain penuh pertimbangan dan perhitungan matang. Tanggal peringatan Hari Santri Nasional merupakan tanggal bersejarah bagi bangsa Indonesia terutama bagi para kyai dan santri karena pada tanggal ini pada tahun 1945 Resolusi Jihad dirilis oleh Roisul Akbar Nahdhatul Ulama, Hadratus Syekh Hasyim Asyari.
Resolusi Jihad tersebut adalah pembakar semangat bangsa Indonesia terutama kaum santri untuk mempertahankan kemerdekaan setelah tiga bulan diproklamasikan.
Dengan dipilihnya tanggal itu tentu sangat logis jika Hari Santri Nasional bukan sekadar untuk diperingati dan dimeriahkan. Jadi, di dalamnya tentu sarat dengan nilai-nilai filosofi. Nilai filosofi yang jauh lebih urgen – yang mesti ada di dalamnya – adalah meneladani semangat jihad dan sikap tegas tanpa kompromi kaum santri yang hidup di zaman dulu yang berjihad dengan jiwa dan harta dalam memerangi segala bentuk kedzoliman, kemunkaran, kemaksiatan dan kesyirikan yang dilakukan baik oleh kaum penjajah yang kafir maupun kaum bangsa sendiri.
Dengan demikian diharapkan Hari Santri Nasional menjadi pembangkit semangat jihad bagi kaum santri modern – dengan kata lain menjadi starting point untuk melahirkan kader-kader santri yang memiliki semangat jihad dan sikap tegas tanpa kompromi – melawan segala bentuk kedzoliman, kemunkaran, kemaksiatan dan kesyirikan yang ada di zaman ini yang dilakukan oleh siapapun dan pihak manapun juga, termasuk pejabat dan kalangan santri.
Peringatan Hari Santri Nasional kali ini bertepatan dengan hangatnya kasus penistaan terhadap Al-Quran dan ulama yang dilakukan seorang pejabat yang kafir, serta keras dan ramainya penentangan umat Islam Indonesia. Kasus penistaan tersebut telah menunjukkan mana santri yang benar-benar santri (yakni santri yang berhasil tertular “virus” Resolusi Jihad dalam arti sebenarnya) dan mana santri gadungan.
Terkait dengan kasus itu, kaum santri dari satu organisasi massa Islam terbesar di Tanah Air terbagi menjadi tiga pihak, Pihak kesatu, mereka yang kontra terhadap kemunkaran itu. Pihak kedua, mereka yang pro pada kemunkaran itu dan pelakunya, dan lebih dari itu kontra kepada para pejuang yang kontra kepada kemunkaran itu. Dan pihak ketiga, mereka yang abstain alias tidak menentukan sikap, dan berdiam diri.
وَدَافِعُوا عَنْ دِيْنِ اْلإِسْلاَمِ وَاجْتَهِدُوا فِي رَدِّ مَنْ يَطْعَنُ فِي الْقُرْآنِ وَصِفَاتِ الرَّحْمَنِ وَمَنْ يَدَّعِي الْعُلُومَ الْبَاطِلَةَ وَالْعَقَائِدَةَ الْفَاسِدَةَ وَالْجِهَادُ فِي هَؤُلاَءِ وَاجِبٌ (مواعظ للشيخ محمد هاشم أشعري، ص : 33)
“Pertahankanlah agama Islam, berusahalah sekuat tenaga memerangi orang yang menghina al-Quran, menghina sifat Allah dan tunjukkanlah kebenaran kepada para pengikut kebatilan dan penganut akidah sesat. Ketahuilah, usaha keras memerangi (pemikiran-pemikiran) tersebut adalah wajib.” (Hadhrotusy Syaikh Muhammad Hasyim Asyari, Mawaidz, hal. 33)”.
Harapan
Semoga Hari Santri Nasional dan setiap acara untuk memperingati dan memeriahkannya tidak mubazir karena tentu ada di sana ada pengorbanan waktu, tenaga, pikiran dan dana yang tidak sedikit. Tidak mubazir jika peringatan Hari Santri Nasional dibarengi dengan program serta upaya serius dan istiqomah kaderisasi untuk memunculkan – di seluruh pelosok Tanah Air dari kelompok manapun khususnya Nahdhatul Ulama sebagai pencetus Hari Santri Nasional – santri-santri yang tidak hanya semangat nyantri, mengaji dan mengkaji ilmu-ilmu agama, tapi juga mempunyai semangat untuk mengaplikasikan ilmu-ilmu agama yang telah dipelajari, yakni dengan menjadi mujahid yang mau dan mampu berjihad dengan mengorbankan segalanya dalam memerangi segala bentuk kemunkaran, kedzoliman, kemaksiatan dan kesyirikan yang akan selalu muncul hingga akhir zaman.
Semoga Hari Santri Nasional diwujudkan dalam bentuk perumusan dan realisasi langkah-langkah strategis dan komprehensif untuk mencetak kader-kader santri yang berjiwa mujahid yang tidak hanya siap membela NKRI dan menjaga keutuhannya, tapi juga membela kemuliaan agama dan umat Islam dan mewujudkan kejayaannya, bukannya ikut merusak kemuliaan agama dan umat Islam dan menghalangi terwujudnya kejayaannya. Wallahu alam.*
Penulis anggota MIUMI Jawa Timur