Oleh: Imam Nawawi
UMAT Islam kembali dikejutkan pernyataan terbaru Gubernur DKI Jakarta (non aktif) Basuki Tjahja Purnama alias Ahok Ahok dalam sebuah wawancara dengan ABC News, Kamis 17 November 2016.
Dalam wawancara, Ahok juga mengatakan demonstrasi 4 November 2016 ditunggangi oknum politik. Dia berujar, motivasi aksi unjuk rasa itu pun sangat politis. “Tidak mudah menggerakkan seratus ribu orang. Kalau kamu nonton berita, katanya setiap orang dapat Rp 500 ribu,” ucap Ahok.
Yang mengherankan, pernyataan itu dikeluarkan dua hari pasca penetapannya sebagai tersangka dalam kasus dugaan penistaan agama oleh Bareskrim Polri di Mabes Polri Selasa (15/11/2016).
Sungguh, selain tak peka, tokoh ini boleh dikata pongah. Menuduh peserta Aksi Damai Bela Quran atau Aksi Damai 411 yang dilakukan umat Islam itu karena bayaran 500 ribu per orang, jelas tuduhan keji dan tidak berdasar.
Di Media Australia, Ahok Sebut Peserta Aksi Damai 411 Dapat Uang Rp 500 Ribu
Aksi Bela Qur’an pada Jumat 4 November 2016 (dikenal Aksi 411), meminjam istilah pemikir Muslim dari Pakistan, Muhammad Iqbal, sebagai kesadaran yang didasari oleh keadaan jiwa dan pikiran (state of mind) yang diliputi rasa mabuk kepayang dan antusiasme ketuhanan, sehingga seseorang menjadi berani menggapai sebuah cita-cita walaupun harus menempuh berbagai kesukaran serta menuntut pengorbanan diri.
Dengan kata lain, Al-Qur’an-lah yang menyatukan hati dari dua juta umat Islam yang memenuhi tanah ibu kota. Jika bukan Al-Qur’an tentu sangat mustahil jutaan orang bisa rapi dalam satu barisan. Dan, seperti diberitakan berbagai media, aksi itu benar-benar bermartabat, suci dan tidak menuntut kecuali hukum ditegakkan terhadap penista agama.
Dengan demikian segala tuduhan negatif terhadap aksi 411 bisa dipastikan hanya berasal dari hati dan cara berpikir materialis, dimana segala sesuatu memang dinilai dari uang, sehingga apapun, dalam logikanya yang masuk akal hanya apabila didasari dan digerakkan oleh uang. Mereka sama sekali tidak mengerti fenomena lain yang berada di luar pengalaman dan cara berpikir picik seperti itu.
Padahal, bagi orang beriman, aksi 411 hanyalah aksi biasa, dimana umat Islam belum dituntut untuk mengorbankan jiwanya. Dalam bahasa Jalaluddin Rumi, “Kebenaran meringankan hati, sebagaimana air menyejukkan dahaga.” Jadi, jika umat Islam diusik keimanannya, secepat kilat mereka akan menjadi kelompok manusia yang membuat siapapun akan keheranan.
Alumni IPB Laporkan Ahok Karena Fitnah Peserta Aksi Bela Islam II sebagai Aksi Bayaran
Nama baik Islam sebenarnya tidak bertambah mulia dengan aksi 411, catatan sejarah Islam juga begitu mengagumkan bagi orang-orang di luar Islam.
Hugh Kennedy dalam bukunya “The Great Arab Conquests How the Spread of Isam Changed the World We Live In” menjelaskan bahwa penduduk dimana Islam berhasil melakukan penaklukkan sama sekali tidak merasa kehilangan, tetapi justru merasa hidup mereka kian bermanfaat dan bermartabat.
Hal ini karena memang Islam dalam proses futuhat (penaklukkan) tidak berorientasi sumber daya alam dan kekayaan daerah yang ditaklukkan, tetapi lebih pada pembebasan eksistensi manusia dari bentuk penyembahan kepada selain Allah Ta’ala, sehingga ketika Islam ke Andalusia, peradaban ilmu tumbuh mengagumkan di sana. Termasuk ketika Islam datang melalui bangsa Arab, kebudayaan mereka menjadi sangat agung, ilmiah dan visioner.
Dengan demikian, tuduhan bahwa aksi 411 adalah aksi bayaran benar-benar tidak sesuai dengan fitrah Islam sebagai way of life dan sangat ahistoris.
Ironisnya, tuduhan semacam ini justru berasal dari seorang tersangka, yang semestinya lebih berhati-hati dalam mengeluarkan statement, terlebih dengan posisinya yang sudah banyak menimbulkan keresahan di tengah-tengah kehidupan bangsa Indonesia.Tidak heran, jika kemudian sebagian dari elemen bangsa berinisiatif untuk melaporkan kembali Ahok kepada kepolisian, lagi-lagi, karena lisannya yang tak dijaga.
Pengorbanan dari Bangka Belitung
Sekadar untuk memberi bukti, bahwa tuduhan itu tidak berdasar adalah apa yang saya temukan di lapangan, dimana ada satu dari jutaan massa Aksi Bela Islam atau Aksi Damai 411 yang jauh-jauh datang dari Bangka Belitung dengan semangat keimanan yang sangat luar biasa.
“Harus ada yang datang dari kelompok kita,” ucapnya mengisahkan. “Jika memang tidak ada dana, saya akan mencari bagaimana caranya ada di antara kita yang berangkat. Kalau semua tidak siap, izinkan saya untuk bisa ikut aksi bela Islam jilid II,” ucapnya.
Pemuda itu pun mengikuti rangkaian aksi hingga terjadi chaos di malam hari. Ia dijamu oleh sahabat-sahabat yang dikenalnya di lokasi aksi. Ia kembali dengan sisa uang yang dimiliki. Sama sekali tak ada yang memberinya uang saku, apalagi senilai 500 ribu.
Logikanya menjadi sangat tidak masuk akal, 500 ribu untuk beli tiket Bangka – Jakarta saja tidak bisa. Jadi, bagaimana mungkin 500 ribu menjadi motivasi kedatangan jutaan umat Islam ke ibu kota negara, sementara mereka berasal dari Aceh hingga Papua. Lagi pula, jika Ahok menuduh setiap orang mendapat 500 ribu, maka dengan jumlah massa yang datang lebih dari 1 juta orang, diperkirakan dana yang dikeluarkan sekitar 5 Trilyun, uang darimana dikumpulkan itu semua? Mari, jernih berpikir!
Seharusnya Negara tidak mempertahankan lisan satu orang yang dampaknya hanya membuat kegaduhan. “Nila setitik rusak susu sebelanga,” kata peribahasa. Hanya satu orang dibela, tapi rusaklah keharmonisan berbangsa dan bernegara.*
Penulis adalah sekretaris Pusat Kajian Kepemimpinan Indonesia atau Centre of Study for Indonesian Leadership (CSIL)